SQUARE, Opini Mas Dalipin Hanya kepada-Mu Aku Berlindung

Hanya kepada-Mu Aku Berlindung

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
16 Maret 2020 10:32 WIB
comment
15
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi oleh Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi oleh Indra Fauzi/kumparan
Karena merasa badan agak tidak enak, saya dan istri menimbang untuk memeriksakan diri ke rumah sakit.
Kami agak khawatir karena anak kami yang tinggal di London pulang via Hong Kong dan di rumah selama hampir seminggu.
Ia sehat-sehat saja. Tapi London, Hong Kong, dan virus corona adalah paduan suara yang tidak enak di telinga kami.
Badan terasa tidak enak tiga hari setelah anak pulang kembali ke London.
Kami cek ada dua rumah sakit rujukan tak jauh dari rumah kami di Jakarta Selatan. Bukan rumah sakit yang biasa kami kunjungi untuk persoalan kesehatan sebetulnya. Tetapi karena disebut sebagai rumah sakit rujukan maka kami memutuskan untuk ke salah-satunya.
"Aku kok merasa ini hanya perasaan kita saja ya," kata istri ketika kami sedang makan pagi sebelum bersiap berangkat.
"Maksudmu badan kita baik-baik saja sebenarnya?" tanya saya.
"Iya. Sugesti kebanyakan baca berita corona nih kita," kata istri meyakinkan diri.
Badan kami berdua punya kebiasaan aneh. Entah ini terjadi pada orang lain atau tidak. Setiap kali mau ke dokter karena sakit tertentu, semakin dekat jarak dan waktu untuk ke dokter, semakin hilang sepertinya sakit yang kami derita. Dan sepertinya itu terjadi lagi.
"Emang kamu masih merasa nggak enak badan?" ini tentu saja pertanyaan istri karena ia paham betul dengan kebiasaan itu.
"Enggak," jawabku lalu tertawa karena mengerti arah pertanyaan istri tadi. "Tapi ya biar tahu saja. Badan kita ini bener-bener sehat atau enggak."
"Kamu saja kalau begitu. Aku enggak usah. Tertular beneran malah nanti aku sama yang lain kalau ke rumah sakit," kata istri.
Ya sudah. Malas membujuk saya pun akhirnya berangkat sendiri. Saya pergi ke rumah sakit rujukan yang letaknya tak terlalu jauh dari sebuah stasiun MRT.
Tiba di lobi rumah sakit saya menanyakan tempat khusus pemeriksaan untuk mereka yang terduga atau khawatir tertular virus corona.
"Masuk ke pintu IGD, Pak. Nanti ada meja penerima," satpam yang saya tanya menunjuk ke arah mana saya harus pergi.
Rasa ragu mulai menghinggapi ketika saya masuk ruang penerima IGD dan tidak melihat siapa pun. Tidak ada orang yang langsung mengukur suhu begitu masuk ke rumah sakit seperti yang saya lihat di rumah sakit-rumah sakit lain atau di tempat-tempat keramaian seperti mal. Tidak ada pula botol hand sanitizer.
Ada satu meja di sebelah kanan pintu masuk. Dua kursi bersampingan di satu sisi meja dan satu kursi lain berseberangan meja. Sebelah meja ada alat pengukur tensi. Tapi tak ada yang menunggu.
Satu meja lagi berhadapan langsung dengan pintu masuk bersebelahan dengan ruangan yang tertutup tirai. Juga tak ada yang menunggu. Tidak juga ada kursi.
"Pasti lagi sibuk menangani pasien yang baru masuk," saya bergumam sendiri. Dari balik tirai saya mendengar seorang—saya berasumsi pastilah seorang dokter (perempuan)—sedang menasehati pasien. Saya sebisa mungkin mengabaikan. Bukan urusan saya apa yang mereka bicarakan.
Karena tak kunjung melihat siapa pun, kecuali beberapa orang yang sepertinya keluarga atau kerabat pasien, saya melangkah ke ruangan sebelah. Sepertinya meja penerima pasien baru. Ada beberapa pegawai di ruangan itu.
"Untuk pasien pengecekan gejala virus corona di mana ya?" tanya saya kepada mereka.
"Sudah betul di tempat Bapak menunggu tadi," jawab salah satu dari mereka. Rupanya mereka juga memperhatikan saya.
Pas saya berbalik untuk menuju ke tempat semua, seorang suster keluar dari balik tirai.
"Benar kan, Mbak, ini tempat pengecekan gejala virus corona?" walau agak tidak yakin segera saja saya bertanya.
"Benar," kata suster itu. Dan sebelum saya sempat berucap apapun ia sudah melanjutkan, "Bapak ada keluhan demam, suhu badan naik, gejala flu dan semacamnya?"
"Saya merasa agak tidak enak badan ……………."
Langsung saja suster tadi menyambar ucapan saya yang belum selesai, "Kalau masih belum yakin langsung ke RSPI (Sulianti Saroso) saja, Pak. Kalau harus diperiksa di sini sample bapak juga masih harus kami kirim ke sana. Nunggunya lama. Atau pulang saja dulu, istirahat, kalau memburuk baru nanti periksakan diri."
"Sebentar, ini kan rumah sakit rujukan?" saya bertanya karena kaget mendengar jawaban tadi.
"Iya ini rumah sakit rujukan. Kami ada ruang isolasi. Tetapi kami tidak ada tenaga maupun ahlinya untuk menangani. Laboratorium dan peralatannya juga tidak ada," jawabnya seperti agak buru-buru entah untuk apa.
"Terus saya harus bagaimana? Kalau ada orang hendak memeriksakan diri seperti saya bagaimana? Ini rumah sakit rujukan lho," masih dengan kekagetan yang belum hilang saya bertanya.
"Ya sekadar rujukan saja," katanya.
"Maksudnya sekadar rujukan?" kekagetan saya sudah pada tingkat akut sekarang.
Ia tidak menjawab. Memandang heran seolah pertanyaan saya adalah pertanyaan aneh bin ajaib.
Karena sepertinya ia tak akan bisa menjawab, saya alihkan pertanyaan, "Jadi ini mengapa saya ke sini saja tidak ditanya? Mengapa saya khawatir? Tidak bertemu dengan dokter? Tidak ada pencatatan sama sekali?"
Saya bisa mendengar suara saya sendiri yang semakin melemah. Saya tahu, itu pertanda saya sedang mengalami rasa tidak percaya yang amat sangat. Kehilangan keinginan untuk berurusan sama sekali. Dan lebih baik saya tidak meneruskan percakapan.
"Enggak, Bapak. Bapak ke RSPI saja," kata suster dengan sorot mata tidak lagi ke arah saya tetapi ke mana-mana. Saya tahu artinya itu apa.
"Terima kasih," ucap saya pendek lalu meninggalkan ruang IGD.
Sepanjang perjalanan pulang saya betul-betul murung. Kalau standar pelayanan di rumah sakit rujukan bisa menjadi rujukan penanganan virus corona, kita hanya bisa berdoa: Semoga tuhan berbelas kasih dan ada keajaiban di negeri ini.
Pesimistis? Anda semua tahu maksud saya.
Ilustrasi oleh Indra Fauzi/kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten