Invictus

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
12 Maret 2018 21:22 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Konpers Egy Maulana Vikri - Lechia Gdansk. (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Konpers Egy Maulana Vikri - Lechia Gdansk. (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pagi menjelang siang sehari sebelum berangkat ke Polandia, Egy Maulana Vikri datang dan diwawancarai di halaman kantor kumparan.
ADVERTISEMENT
Saya enggan mendekat. Tak ingin mengganggu. Tak ingin menambah keramaian. Hanya memperhatikan gerak gerik Egy dari balik lebar jendela kantor.
Ia banyak senyum. Tampak belum terlalu nyaman menjadi pusat perhatian. Tetapi setidaknya tidak canggung.
Selintas ada rasa iba menjurus melankolis. Tidak bisa tidak.
Anak ini masih terlalu muda untuk menjadi tumpuan harapan masa depan sepak bola Indonesia. Menjadi wajah sepak bola Indonesia.
Saya pernah membaca dan mendengar, berpuluh tahun silam ada pemain-pemain Indonesia ditawari bermain di Eropa, tetapi itu pada akhirnya tidak pernah terwujud.
Saya juga tahu ada beberapa pemain Indonesia pernah berkiprah di Eropa tetapi bukan sebagai pemain utama. Lebih sebagai titipan. Lebih di tim kedua (reserve).
Egy pergi ke Eropa bukan sebagai pemain titipan. Bukan sebagai pemain pinjaman. Tetapi dikontrak sebagai pemain profesional di klub liga utama Polandia, Lechia Gdansk. Akan bermain di tim utama. Bukan akademi ataupun tim kedua
ADVERTISEMENT
Orang boleh mencibir: Cuma Lechia Gdansk dan Polandia. Bukan klub super besar. Bukan pula negara semacam Spanyol, Inggris, Italia, atau Jerman.
Tetapi, Roma tidak dibangun dalam satu hari, tutur sebuah pepatah. Tetapi, perjalanan seberapa panjang dan berat dimulai dari satu langkah pertama, tutur pepatah lain.
Dan tugas membangun serta langkah pertama itu diserahkan kepada Egy yang sorot matanya masih sebuah keakraban tanpa jarak. Sepintas naïf, sepintas gampang kagum. Sifat kanak-kanak yang belum betul pudar.
Betapa berat. Betapa tidak adil. Bahu yang baru mulai kokoh menginjak usia 18 tahun itu entah akan kuat atau tidak untuk menanggungnya.
Orang boleh juga mencibir, Eggy bukanlah pesepak bola muda pertama dari luar Eropa yang akan bertaruh nasib di benua biru itu. Ada banyak yang lebih muda –bahkan kanak-kanak yang tentu saja belum dalam kapasitas profesional-- yang telah melakukannya.
ADVERTISEMENT
Tidak untuk menafikkan perjuangan dan pengorbanan. Tetapi mereka datang ketika pintu sudah terbuka lebar. Jalan telah dibangun dan tinggal ditapak. Hubungan sudah dibangun dan tinggal dijaga. Sejarah sudah ditulis dan tinggal dilestarikan.
Sementara Egy orang pertama dari negaranya. Apa hendak dikata, orang pertama terpaksa harus melakukan ketiganya: Membuka pintu untuk dimasuki mereka yang punya niat, membangun jalan untuk ditapak mereka yang berani mengikuti, dan menulis sejarah untuk diteruskan oleh mereka yang mempunyai tekad.
Lebar sempit pintu, mulus terjal jalan, dan indah suram sejarah kiprah pesepak bola Indonesia di Eropa akan banyak dipengaruhi sukses tidaknya Egy tampil di Eropa.
********
ADVERTISEMENT
Di halaman kantor, wawancara dengan Egy sudah selesai. Kerumunan makin besar. Ada yang ingin berfoto bersama. Ia sabar memenuhi permintaan. Ada yang ingin sekadar mengucapkan selamat. Ia membalas (sepertinya) dengan ucapan terima kasih.
Diambilnya topi yang sempat ia taruh saat wawancara. Dikenakan agak turun, sedikit menutup muka atas. Seperti hendak sedikit menyembunyikan kerjapan matanya. Lalu ia pamit.
Selintas rasa iba ini makin kuat. Khawatir.
Egy tak sungkan mengaku betapa sering ia dilanda rindu kepada orang tuanya, masakan ibunya, dan mendengarkan titih petuah mereka. Bukan hal yang buruk tentunya.
Tetapi ia akan pergi sendirian di musim kompetisi depan. Di sebuah negara asing, bahasa yang asing, budaya yang asing, jauh dari keluarga, dan jauh dari teman. Sebuah keterasingan. Bila tak mampu menaklukkan, sebuah kesepian yang sangat.
ADVERTISEMENT
Kalau semua berjalan lancar, bermain apik, jauh dari cedera, lapangan bola dan tempat latihan akan meringankan. Bila sebaliknya, kesepian akan berlipat-lipat. Keterasingan itu akan makin buruk.
Lapangan bola dan sepak bola selalu sama saja, namun kehidupan mempunyai tantangannya tersendiri. Banyak pesepak bola ternama, hebat, dan mapan gagal mempertemukan keduanya. Merajai di negeri sendiri, raib hilang di negeri orang.
Namun keterasingan juga membangkitkan inspirasi dan kematangan. Tempaan yang mengentalkan arti kehidupan.
Syahdan suatu saat William Earnest Henley –bukan pesepak bola tetapi penyair Inggris abad 19— harus diasingkan karena penyakit TBC yang dideritanya sejak kecil.
Mengira hidup sudah diujung, dari tempat tidur ia menulis Invictus (Tak Tertaklukkan). Puisinya yang paling terkenal.
Ia bercerita tentang nasib buruk yang harus dijalani karena penyakitnya. Tak pernah mengeluh, tak pernah menyesali nasib, ia tidak sekadar menantang kematian, tetapi berkelahi melawannya. Ia akui tubuhnya remuk redam tapi jiwanya merdeka tak tertaklukkan.
ADVERTISEMENT
Penutupnya adalah sebuah ketegaran. Keteguhan melawan apa saja (nasib buruk dan pemberi nasib buruk) tanpa akhir.
It matters not how strait the gate,
(Tak peduli sesempit apapun gerbangnya,)
How charged with punishments the scroll,
(Penuh dengan janji hukuman seperti tertera di kitab suci)
I am the master of my fate,
(Aku tentukan sendiri nasibku,)
I am the captain of my soul.
(Aku sendiri nahkoda dari jiwa ini.)
Egy tak bernasib buruk. Ia bernasib baik. Semoga tegar ia. Semoga Invictus ia.