Kebersahajaan Alam Semesta

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
8 Juni 2020 8:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Sains—pengetahuan dan pemahaman akan bagaimana (hukum) alam semesta dan seluruh isinya bekerja—pada dasarnya adalah catatan survival (upaya untuk bertahan hidup) manusia dari titik nol hingga entah ke suatu saat nanti.
ADVERTISEMENT
Tanpa sains manusia akan tertatih-tatih hidupnya. Bahkan mungkin sudah lama musnah ditelan bencana alam, bencana biologis, bencana kesehatan, atau bencana kebodohan.
Sains bertumbuh, menyempurna, dan akumulatif sifatnya. Disebabkan oleh spekulasi, inovasi, eksplorasi atau bahkan ketidaksengajaan, kecelakaan, dan tindak kebetulan.
Pantik memantik dan dinamis dalam artian pengetahuan dan pemahaman di satu bidang bisa menyebabkan perkembangan di bidang itu sendiri atau bidang lain, atau perkembangan di berbagai bidang menyatu menimbulkan pengetahuan dan pemahaman baru.
Pun sains berkembang terus karenanya, sesungguhnya hukum alam semesta ini berjumlah tetap tetapi tak terhingga. Seperti buku tak berbatas jumlah halaman yang tak akan habis dibaca.
Ketetapan (hukum) alam semesta bersifat mengikat. Tak peduli manusia menemukan ketetapan itu, memahami, salah memahami, mempelajari, mengacuhkan, tak mampu atau belum mampu menggapai, ia tetap berlaku universal tanpa pandang bulu.
ADVERTISEMENT
Yang sederhana saja misalnya: Air akan menguap atau membeku di suhu tertentu; api itu panas; siklus kehidupan manusia itu dari bayi menuju tua.
Kalaupun ketetapan yang dipahami itu ternyata salah, yang salah bukan ketetapannya tetapi ilmu pengetahuannya—pemahaman manusia akan ketetapan itu yang salah atau belum selesai. Karenanya para ilmuwan menerima kenyataan bahwa apa yang mereka sampaikan selalu terbuka untuk diperbaiki dan dikoreksi.
Tidak perlu diperuwet dengan pertanyaan "Kalau begitu selalu ada kemungkinan ketidakpastian dan ketidakbenaran?" Karena jawabannya, "tentu saja". Sebuah upaya selalu demikian. Kemungkinan tidak pasti dan tidak benar ada pada pemahaman manusia, bukan pada ketetapannya.
Para pemikir berdebat tentang epistimologi (theory of knowledge) untuk mencapainya. Banyak sekali. Rasionalisme, rasionalisme-kritis, empirisme, positivisme, idealisme, fenomenologi, dan entah apa lagi. Dialog dan dialektika yang terjadi dari sekian banyak perspektif/paradigma untuk mengurai ketetapan alam ini mungkin mencerahkan. Tetapi sekali lagi ketetapan alam semesta ini tidak akan berubah hanya karena kita menggunakan perspektif/paradigma tertentu.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak hal sama juga ketika membicarakan tentang sains dan agama. Keduanya bukan sesuatu yang harus dipertentangkan atau dijodoh-jodohkan. Sains berbicara tentang ketetapan alam semesta dan isinya. Apapun agama yang dianut manusia—juga yang tak beragama tetapi percaya tuhan maupun yang ateis—ketetapan itu tak membedakannya.
Apakah hukum gravitasi hanya berlaku untuk umat agama tertentu dan tidak untuk yang lainnya? Apakah api tiba-tiba kehilangan sifat panasnya menghadapi mereka yang beragama tertentu? Apakah mobil—yang merupakan teknologi hasil perpaduan pemahaman sekian banyak ketetapan alam—akan mogok ketika manusia mengaku ateis? Apakah handphone—yang seperti mobil juga teknologi gabungan dari sekian banyak ketetapan alam—tiba-tiba mati kalau digunakan penganut agama tertentu?
Bagi umat beragama, dan semestinya secara otomatis percaya bahwa alam semesta beserta isinya adalah ciptaan dan karenanya wujud dari hal yang ditetapkan tuhan, maka secara otomatis pula ia akan berkhidmad pada sains. Kalau ada yang dianggap bertentangan, semestinya mudah saja: Bukankah sains membuka diri tentang kemungkinan belum tentu pasti dan belum tentu benar? Bukankah ketetapan alam semesta yang sempurna bukan sainsnya?
ADVERTISEMENT
Tetapi dengan ketidaksempurnaanya, sains adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditiadakan. Ia sebuah necessity. Seperti terkemuka di awal, pada dasarnya catatan upaya bertahan hidup dengan cara memahami ketetapan alam semesta dan isinya.
Dan setiap kali bencana terjadi manusia, apapun penyebabnya, manusia selalu diingatkan akan hal ini.
Ke mana sekarang manusia akan berpaling ketika epidemi COVID-19 terjadi? Sementara COVID-19 ini hanya khidmad pada ketetapan alam semesta dan manusia hanya bisa menjangkau ketetapan alam semesta lewat sains.
Alam semesta ini begitu bersahaja. Manusia hanya harus memahaminya. Demi keberlangsungan hidup manusia sendiri.
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan