Kepada SEO Kita Takluk

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
3 Agustus 2020 10:21 WIB
comment
30
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di kantor ada anak bernama Erwin Petas. Jabatannya: SEO (Search Engine Optimization) Manager.
ADVERTISEMENT
Pinternya setengah mati anak ini. Tapi jenis kepinteran yang membuat saya jengkel.
Ia orang yang membuat saya mengerti, betapa tulisan yang buruk secara organik tetap bisa populer di platform digital selama kita tahu logika algoritma yang berlaku. Bahkan berlipat-lipat lebih populer dari tulisan yang bagus.
"Prinsipnya sederhana, Pak. Temukan kata kunci artikel—apa yang mau kita ceritakan—taruh di judul, ringkasan artikel, paragraf pertama, dan konsisten muncul di sepanjang artikel," katanya suatu saat menjelaskan.
"Mesin pencari (Google) akan mengerti, semakin sering kata-kata tertentu itu muncul, semakin berarti itu penting. Ketika ada orang mencari kata itu maka mesin akan menempatkan di posisi tertinggi di laman pencarian," katanya yakin.
"Bahkan ketika tulisan itu buruk?" tanya saya.
ADVERTISEMENT
"Bahkan ketika tulisan itu buruk," ia menjawab dengan mengulang kalimat tanya saya hanya saja kali ini ia ubah menjadi pernyataan.
"Kalau ada tulisan yang lebih bagus tapi tidak mengikuti apa yang kamu katakan tadi bagaimana?" kembali saya bertanya.
"Ya akan kalah dengan tulisan yang buruk tetapi mengikuti apa yang saya jelaskan tadi, Pak," jawabnya.
"Memanipulasi mesin dong?" tanya saya tak yakin.
"Seperti itu," katanya tak membantah. "Tapi juga bisa dimaknai paham medium. Kan yang harus dilakukan hanyalah bagaimana caranya menulis sesuai dengan kaidah-kaidah platform digital agar kemungkinan tingkat keterbacaannya tinggi."
Penjelasan yang sama sekali tidak baru sesungguhnya.
Sejak platform digital muncul akhir tahun 1990-an dan kemudian menjadi medium yang mendominasi, cara dan gaya penyampaian tulisan terus didera-paksa dengan untuk ikut berubah dan menyesuaikan diri.
ADVERTISEMENT
Cara menulis berita yang tidak lagi disiplin lengkap mengikuti kaidah 5W+1H seperti sudah diterima begitu saja. Kelengkapan bisa disusulkan kemudian karena teknologi penyampaiannya memungkinkan.
Dulu di awal-awal masih banyak yang mempertanyakan dan tak nyaman. Tetapi generasi sekarang seperti tak melihat ada yang salah dengan penulisan yang menurut generasi sebelum digital tidak lengkap itu.
Menulis juga tidak bisa berpanjang-panjang. Bukan hanya untuk urusan berita tetapi juga yang lainnya.
Bagaimana mau berpanjang-panjang kalau dalam sehari ada beratus juta konten/informasi/berita berebutan meminta perhatian.
Dengan telepon pintar menjadi gawai andalan untuk mengakses konten, cara dan gaya menulis ikut menyesuaikan diri. Menimbang kenyamanan pembaca dalam mengkonsumsi tulisan—sebetulnya sejak zaman cetak dan awal digital sudah demikian—menjadi penting.
ADVERTISEMENT
Kalimat-kalimat menjadi semakin pendek. Cenderung seperti stakato—pendek-pendek dan meloncat-loncat—yang penting menjelaskan keseluruhan maksud. Teknik (stakato) yang dulunya hanya digunakan untuk ringkasan di media cetak, menjadi tulisan itu sendiri.
Paragraf juga menjadi semakin pendek. Kalau sebelumnya yang lazim minimal dua kalimat, satu kalimat dirasa sudah cukup.
Bahkan demi kenyamanan membaca di telepon pintar, salah satu media ternama di dunia memberi aturan untuk hanya tiga baris saja per paragraf. Sulit dilakukan secara konsisten tetapi ditetapkan. Dan harus diakui, ternyata memang lebih enak membacanya ketika itu terjadi.
Tentu saja semua perubahan itu membawa persoalan pada urusan tata bahasa (grammar).
Tetapi saya bukan seorang ahli bahasa karenanya enggan untuk membahasnya lebih lanjut.
Saya hanya berpegang bahwa tata bahasa adalah persoalan kesepakatan dan logika berkomunikasi. Ia tidak bisa statis tetapi selalu ikut berubah ketika kesepakatan dan logika berkomunikasinya berubah.
ADVERTISEMENT
Kesadaran akan ini diperkuat ketika berkali-kali saya terlibat perdebatan tentang penulisan kata yang baik dan benar. Sebisa mungkin saya berpegang pada KBBI sebagai acuan, tetapi berulangkali kalah karena kesepakatan umum dan mesin pencari mengatakan yang berbeda.
Perangkat keras—sadar atau tidak—memang selalu mempengaruhi cara kita menyampaikan pesan dan karenanya bahasa dan logika bahasa yang kita gunakan.
Tetapi penjelasan Erwin soal SEO membuat saya sadar, perangkat lunak dalam perkomputeran dan perinternetan ikut pula bermain. Mungkin lebih halus dan tidak segera disadari khalayak luas. Tetapi saya menduga justru akan lebih kuat dan menentukan ke depannya.
Menyoal SEO itu kepada Erwin saya katakan, "Makasih Win atas penjelasanmu. Tapi saya tak akan mengikutinya. Tidak pula akan melawannya."
ADVERTISEMENT
Saya lahir dan tumbuh dari generasi yang mungkin dalam waktu tak sampai 10 tahun lagi sudah tidak relevan. Dan karenanya akan tetap berpegang pada yang saya tahu dan punya saja. Hingga kemudian tersingkir pelan-pelan.
Tulisan ini—seperti juga tulisan-tulisan saya yang lain—tentu saja tidak SEO dan digital platform friendly.
Kalau dengan itu kemudian tidak banyak dibaca/terbaca oleh banyak orang tidak apa-apa. Tidak penting-penting amat juga tulisan-tulisan saya.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan