Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Komisi Pemberantasan Korupsi
10 Mei 2021 8:27 WIB
ADVERTISEMENT
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lahir dari sekian banyak sebab dan karena.
ADVERTISEMENT
Kita tahu, ia anak kandung optimisme reformasi politik 1999. KPK sebagai sebuah antitesa atas 30 tahun masa pemerintahan sebelumnya yang dinilai korup dan kebal hukum.
Kita juga tahu, ia bentuk keputusasaan yang melawan.
Putus asa melihat ketumpulan kinerja polisi sebagai penyidik-penyelidik dan kejaksaan sebagai penuntut untuk persoalan korupsi besar. Alih-alih melaksanakan fungsi mereka, kepolisian dan kejaksaan—setidaknya orang besarnya—seperti bebas mengail keuntungan untuk diri mereka sendiri tanpa menyelesaikan kasus-kasus korupsi besar itu dengan semestinya.
Melawan dengan menyatukan fungsi penyelidik, penyidik, dan penuntutan dalam satu lembaga yang independen dan non-struktural sekaligus mem-bypass kepolisian dan kejaksaan dalam bekerjanya.
Kita pun paham KPK kadang tak melulu sebuah kepraktisan. Keberadaannya diperlukan di tingkat keimanan paling rendah dalam hal pencegahan tindak korupsi. Ia semacam hantu yang diciptakan untuk menakut-nakuti. Deterrent (pencegah-penangkal) psikologis bagi siapapun yang hendak melakukan tindak korupsi, bahwa ada sebuah lembaga super kuat yang bisa mencokok mereka kapan saja tanpa bisa dilawan.
ADVERTISEMENT
Tetapi di atas semua itu KPK adalah simbol sebuah harapan—cita-cita—akan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Hanya saja kita pun tahu, sejak awal mula—katakanlah tahun 1999 ketika mulai digagas dan tahun 2002 ketika dimaklumatkan dengan undang-undang—di tengah euphoria semangat keberadaannya, secara bersamaan juga dihujani upaya untuk tak membuatnya terlalu kuat. Pelemahan bahkan.
Rakyat selalu ingat akan adanya permintaan dari kalangan DPR agar KPK dibubarkan saja setelah Ketua KPK saat itu Antasari Azhar dinyatakan bersalah merancang pembunuhan seorang pengusaha bernama Nasrudin Zulkarnaen di tahun 2009.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengkritik KPK yang dianggap sebagai lembaga super dan tidak bisa dibiarkan semaunya beroperasi tanpa yang ia anggap pertanggungjawaban.
ADVERTISEMENT
Kepolisian juga tak begitu saja rela peran mereka diambil alih oleh KPK. Setidaknya dua kali konflik terjadi.
Pertama ketika KPK dituduh melakukan penyadapan telepon genggam Kabareskrim Komjen Susno Duadji terkait penanganan kasus Bank Century. KPK tidak membantah dan menyebut tindakannya sesuai hukum. Susno Duadji mengecilkan KPK dengan kalimat terkenalnya, "Cicak (KPK) kok mau melawan buaya (Kepolisian)."
Kedua ketika KPK menetapkan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka gratifikasi saat masih menjabat Kabiro Binkar SDM Polri tahun 2006. Kepolisian membalasnya dengan mentersangkakan dua pimpinan KPK. Ketua KPK Abraham Samad ditersangkakan karena kasus pemalsuan dokumen. Dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditersangkakan karena pemalsuan kesaksian di MK semasa menjadi advokat. Dengan ujung perkara baik Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dinonaktifkan oleh Presiden Joko Widodo.
ADVERTISEMENT
Lebih parah lagi Budi Gunawan kemudian membuat preseden dengan mempraperadilkan kasusnya dengan KPK dan memenangkannya.
Tetapi itu semua tak separah revisi UU KPK tahun 2019. Dengan menjadikan pegawai KPK sebagai pegawai negeri—aparatur sipil negara (ASN), seperti tercantum dalam revisi UU, sama saja dengan menanggalkan independensi KPK. Padahal independensi adalah salah satu alasan utama keberadaan KPK.
Semakin tidak independen ketika KPK harus mengkoordinasikan geraknya dengan lembaga-lembaga lain terkait, yang parahnya tidak terjelaskan lembaga terkait yang dimaksud itu yang mana dan bagaimana sifat koordinasinya.
Bahkan wewenang penyidikan dan penuntutan umum yang selama ini melekat pada pimpinan KPK—salah satu alasan mengapa KPK didirikan sebagai jawaban atas kemandulan kepolisian dan kejaksaan—tidak lagi ada.
Ini terlepas dari adanya kontroversi belakangan tentang ketidaklolosan sekitar 75 orang pegawai KPK yang selama ini justru dianggap mampu menjaga marwah KPK. Terlepas pula dari apakah apakah soal-soal tes kelulusan itu dianggap tidak masuk akal, mengada-ada, dan tidak relevan.
ADVERTISEMENT
Revisi UU KPK itu layak disebut sebuah kooptasi untuk menjinakkan. Menjadikan KPK sekadar sebuah etalase antikorupsi tanpa ada isinya. Prasyarat ompong saja.
Ibarat pulau sudah lenyap, daratan sudah tenggelam.
KPK pernah suatu saat sebuah pulau harapan. Kini ia sekadar daratan tenggelam pelan-pelan. Tenggelam bersama seluruh optimisme, cita-cita, harapan akan sebuah negara yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dan kita semua tahu, harapan yang hilang pelan-pelan tanpa kita mampu mencegahnya itu lebih menyakitkan dari sebuah kehilangan yang tiba-tiba.