Kutukan 'No Win Situation'

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
19 Oktober 2020 10:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Menjadi pemimpin sesungguhnya adalah sebuah kutukan no win situation. Tak peduli sehebat apapun seorang pemimpin, selalu ada celah untuk dicela. Tak peduli sepopuler apapun seorang pemimpin, selalu ada yang tak suka. Tak peduli sesukses apapun seorang pemimpin, selalu ada kekurangan yang bisa digali.
ADVERTISEMENT
Lebih terkutuk lagi karena kutukan itu dipertontonkan secara terbuka dan dicatat sejarah.
Tak terkecuali—atau bahkan karenanya membuktikan kutukan itu benar adanya—berlaku juga bagi sistem politik demokrasi yang sejauh ini dianggap paling adil.
Seorang pemimpin yang terpilih secara demokratis punya tanggung jawab moral untuk sekuat tenaga menciptakan kebijakan kemaslahatan seinklusif mungkin. Tetapi dari awal sistem ini sudah menciptakan bom waktu: kalangan yang tak memilih yang bersangkutan.
Premisnya kemudian kalangan ini yang akan menjadi pengontrol apakah pemimpin terpilih menjalankan apa yang ia janjikan dan memastikan kemaslahatan inklusif terjaga. Tetapi dalam kenyataan sangat sulit untuk membedakan fungsi kontrol dan upaya untuk menjatuhkan.
Secara instingtif manusia sadar akan hal ini. Wajar kalau manusia selalu kemudian memilih pemimpin dari kalangan atau lingkungan mereka sendiri. Setidaknya yang memiliki common denominator terbesar.
ADVERTISEMENT
Logikanya kira-kira kalau pemimpin itu datang dari kalangan sendiri atau mempunyai common denominator, maka ia akan mengerti kepentingan kalangan yang memilihnya.
Untuk lingkungan yang sangat kecil bisa jadi. Tetapi extrapolasikan ke tingkat negara, maka akan ditemui persoalan. Prinsip common denominator tetap penting tetapi semakin mengecil seiring membesarnya jumlah manusia dan ragam kepentingannya. Artinya porsi yang tidak akan terpenuhi kepentingannya secara proporsional akan membesar.
Seinklusif mungkin kebijakan yang diambil seorang pemimpin, bahkan untuk pendukungnya sendiri, selalu saja akan ada yang tertinggal, terasingkan, terkecewakan, atau dirugikan malah. Tak mungkin seorang pemimpin bisa menampung semua kepentingan dalam satu kebijakan.
Ini sebab saya katakan menjadi pemimpin adalah sebuah kutukan no win situation. Sebuah teka-teki—conundrum, pelik— tanpa jawaban: diperlukan tapi pasti akan dijengkangkan atau terjengkangkan.
ADVERTISEMENT
Karenanya saya selalu terkesima setiap kali ada yang mengajukan diri untuk menjadi pemimpin apapun alasannya. Lebih terkesima lagi, ketika sejarah berulang kali memberitahukan kepada kita, insting pertama dari mereka yang menjadi pemimpin adalah mempertahankan posisinya.
Saya paling sepakat dengan pemikiran kaum libertarian-anarko yang percaya bahwa masyarakat akan bisa menemukan keharmonisannya sendiri ketika campur tangan pemimpin (pemerintah) itu minimal. Walau dengan mengatakan sepakat, saya juga kebingungan di tingkat praktisnya lalu harus seperti apa.
Filosof Lao Tse—yang dianggap sebagai salah satu pemikir awal libertarian-anarko—sekian ratus tahun sebelum Masehi di Cina mengeluarkan kebijakan tentang kepemimpinan dalam tiga kategori.
Sebaik-baiknya pemimpin adalah ketika apa yang ia tuju selesai, ketika pekerjaan terselesaikan, rakyat yang dipimpinnya mengatakan, "kami melakukan ini semua sendiri".
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain ia ada tetapi tidak mendominasi, lebur seolah tidak ada. Ia mampu meminimalisir peran pribadi dengan saat bersamaan mengarahkan rakyat untuk bebas spontan menemukan harmoni sosial dan ekonomi.
Di bawahnya adalah pemimpin yang diakui dan dipatuhi. Ia menjadi pusat. Ia mungkin dipuja tetapi—atau karenanya—ia mendominasi. Baik buruk yang dipimpin tergantung kepadanya. Rakyat tak lebih dari bidak budak saja.
Sementara seburuk-buruknya pemimpin adalah yang dibenci, ditunggu kehancurannya, atau bahkan dirongrong untuk ditumbangkan.
Dari kebijakan Lao Tse tersirat bahwa ia tidak hanya berbicara tentang pemimpin saja. Ia juga berbicara tentang rakyat. Mendorong rakyat untuk menemukan harmoninya sendiri. Karena menggantungkan itu semata pada pemimpin adalah sebuah kesia-siaan.
Membicarakan pemimpin tanpa membicarakan rakyat akan membuat telinga pekak diejek oleh The Who lewat Wont Get Fooled Again. Selalu ada rakyat yang merasa tertipu.
ADVERTISEMENT
Yeaaahhhhhhhh!!!! Meet the new boss Same as the old boss
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan