Liverpool dalam Tiga Babak

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
6 Juli 2020 18:48 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
(Catatan) sejarah adalah persoalan keabadian. Mengabadikan perjalanan hidup manusia.
ADVERTISEMENT
Tetapi sesempurna-sempurnanya keinginan sejarah mencatat semua kejadian, tak mungkin itu dilakukan.
Tidak semua orang mempunyai akses ke penulisan sejarah. Dan yang memiliki akses selalu melakukan pilih-pilah mana yang layak disejarahkan dan mana yang tidak. Dus pernyataan "Sejarah selalu ditulis oleh pemenang". Karena siapa lagi yang bisa memilah dan memilih kalau bukan mereka yang menang.
Bahkan dalam perjalanannya, sejarah hanya relevan untuk rentang waktu tertentu. Semakin panjang bentangan waktunya, semakin tipis relevansinya. Ia akan abadi, tetapi lama-kelamaan hanya menjadi noktah kecil saja dalam perjalanan hidup umat manusia.
Karenanya sejarah sebenarnya lebih tepat kalau disebut sebagai sebuah ilusi akan keabadian.
Tetapi apalah hidup ketika tidak ada catatan yang bisa ditinggalkan untuk anak cucu?
ADVERTISEMENT
Apalah hidup ketika tidak ada cerita yang bisa berajut-lanjut untuk generasi berikut walau pada saatnya ia akan kehilangan relevansi dan sekadar menjadi noktah kecil saja?
"Hidup kehilangan arti begitu manusia kehilangan ilusi untuk menjadi abadi," kata filsuf Prancis, Jean Paul Sartre.
**
14 April 2016 perempat final Liga Europa. Liverpool lawan Borussia Dortmund. Separuh main. Bermain di Anfield, Liverpool ketinggalan 0-2. Agregat pertandingan 1-3 setelah seminggu sebelumnya pertandingan antar dua klub itu seri 1-1 di Dortmund.
Masuk ke ruang ganti pemain, konon menurut cerita, tidak ada kegugupan di wajah sang manajer Juergen Klopp. Betul posisi Liverpool kritis. Tetapi ia melihat permainan Liverpool—kecuali kenyataan ketinggalan dua gol—jauh-jauh lebih baik.
Klopp yang baru enam bulan menjabat sebagai manajer Liverpool dengan tenang menjelaskan kepada pemainnya, ia tak terlalu risau dengan ketinggalan dua gol. Setiap tim pada suatu saat pasti akan kebobolan. Setiap tim pada suatu saat pasti akan kalah.
ADVERTISEMENT
Tetapi ia kemudian mengatakan hal klise yang sudah berulang kali dikatakan oleh manajer lain—baik di Liverpool maupun klub lain, "Malam ini ciptakan sebuah cerita yang layak kalian ceritakan ke anak cucu kalian. Ciptakan sejarah."
Ia tak sekadar berkata klise tentu saja. Ia sangat yakin. "Permainan kalian lebih superior sepanjang pertandingan. Dan ingat akan ‘malam itu di Istanbul’," katanya.
Banyak jantung yang berdegup kencang di ruang ganti pemain malam itu. Mereka tahu, manajer yang satu ini berbeda dengan yang lain.
Liverpool menang 4-3 di pertandingan itu. Lalu mengalahkan Villarreal di semi-final. Walau kemudian kalah 1-3 dari Sevilla di pertandingan terakhir.
Liverpool memang tak memenangi piala apa pun musim 2015/2016. Tak juga mereka memenangi apa pun di musim berikutnya. Pun musim sesudahnya.
ADVERTISEMENT
Tetapi malam itu tanggal 14 April 2016, di pertandingan melawan Borussia Dortmund itu, Klopp menyalakan kembali ilusi untuk menjadi abadi di Liverpool.
***
Sebuah iklan bir Guinness muncul di televisi Inggris tahun 1999. Menggambarkan penantian, kesabaran, dan kelegaan selama 119 detik waktu yang diperlukan untuk sempurna mengisi satu gelas besar (pint) dengan bir Guinnes.
Awalnya tak ada suara. Hanya sebuah wajah tegang muncul di layar.
Pelan-pelan degup jantung dalam irama genderang terdengar. Wajah itu mengeras. Mengantisipasi.
Kita kemudian mengerti, ia bagian dari sekelompok peselancar menunggu ombak sempurna, berdeburan menderu-deru saling berpukulan berlomba menuju pantai.
Narasi petikan dari novel Moby Dick karangan Herman Melville pun terdengar.
"He waits….. That's what he does…. And I tell you what; Tick followed tock followed tick followed tock followed tick."
ADVERTISEMENT
Suara degup jantung dan genderang semakin mengeras. Para peselancar berebutan mencebur ke laut menyongsongnya. Kegembiraan dan ketegangan campur baur susah dibedakan.
"Ahab says I don’t care who you are, here’s to your dream!"
Mereka berpacu dengan jendela waktu terbatas yang tersedia. Sebelum ombak hilang tenaga untuk dititi. Kuda liar mereka.
"The old sailors return to the bar, here is to you Ahab."
Dari semua, hanya satu yang berhasil meniti ombak. Yang lain berjatuhan disergap-empas kekalahan.
"And the fat drama hit the beat with all his heart."
Emosi, antisipasi, usaha, persaudaraan, persaingan, pengakuan, tumplek bleg sulit lagi dibedakan. Menunggu satu moment yang abadi.
"Good things come to those who wait."
ADVERTISEMENT
Bukan 119 detik seperti Guinness, Liverpool harus menunggu 30 tahun untuk kembali menciptakan oksimoron: Keabadian yang sesaat, kembali menjadi juara liga kasta tertinggi Inggris.
Berapa ombak yang mereka salah baca.
Berapa tick dan berapa tock yang harus mereka lalui.
Berapa degupan jantung dan pukulan genderang yang harus mati tiba-tiba.
Berapa kali mimpi mereka diombang-ambingkan dan terempas.
Pada akhirnya ucapan selamat harus diberikan untuk Liverpool, Juergen Klopp, dan seluruh pendukungnya. Merekalah sebagian dari orang-orang yang enggan kehilangan ilusi untuk menjadi abadi.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan