Logika Konteks

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
13 Juli 2020 18:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
"Saya lakukan untuk kepentingan bangsa. Jadi saya harus percaya," kata Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengenai mengapa ia mengenakan kalung antivirus corona.
ADVERTISEMENT
Heroik, penuh pengorbanan, dan mengayomi. Layak keluar dari seorang menteri yang sepertinya sedang sungguh-sungguh memikirkan dan melakukan tindakan nyata untuk menangkal virus corona.
Tetapi bila kita perhatikan dengan seksama, pernyataan itu problematik, kacau konteks, dan menyesatkan malah.
Hanya dengan sapuan dua kalimat, sang menteri pertanian mengeliminir logika keilmuan-ilmiah yang semestinya digunakan untuk menghadapi virus corona.
Anda tahu, virus corona tidak punya urusan dengan kepentingan bangsa. Virus corona juga tidak punya urusan dengan Syahrul Yasin Limpo percaya atau tidak kalung antivirus corona itu mampu menangkalnya.
Virus corona bukan semacam pasukan tempur yang dengan sengaja dan tujuan tertentu menyerang sekelompok manusia tertentu pula.
Pun virus corona tidak mengerti dengan niat baik-niat buruk, akibat baik-akibat buruk, atau kalau keberadaannya bisa mengancam kehidupan manusia.
ADVERTISEMENT
Virus corona hanya menjalani yang dititahkan alam kepadanya: Berkembang biak dan bertahan hidup. Lewat penularan ketika memungkinkan dan bermutasi ketika ada penghalang.
Mengenakan kalung antivirus corona demi kepentingan bangsa dan percaya bahwa kalung itu mampu menghentikan virus corona tak akan banyak guna kalau pada kenyataannya tak demikian.
Ladang pertempurannya bukan pada retorika. Ladang pertempurannya adalah ketika hukum alam yang berlaku agar virus bisa survive dilawan dengan hukum alam yang berlaku untuk mematikan/mengendalikan virus.
Ranah virus corona adalah di ilmu pengetahuan (alam). Membawanya keluar dari ranah itu—sebelum kaidah-kaidah keilmuan terpenuhi—hanya akan menyesatkan.
Dengan konteks dan skala yang berbeda kejadian semacam pernah terjadi pula. Semangatnya masih sama, demi kepentingan bangsa dan karenanya harus percaya pula.
ADVERTISEMENT
Ingatkah tahun 2007 saat konferensi internasional Global Warming dilaksanakan di Bali, Indonesia sempat membuat terkejut dunia?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu dengan hebatnya memamerkan proyek bertajuk Blue Energy. Sebuah proyek untuk mengembangkan bahan bakar nonfosil berbahan dasar air. SBY bahkan sudah memberi nama bahan bakar itu, Minyak Indonesia Bersatu.
Masih mending kalung antivirus corona yang konon menurut Syahrul Yasin Limpo merupakan hasil dari penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Penemu Blue Energy ini adalah seorang individu bernama Joko Suprapto. Seseorang yang tak sekadar tak punya latar belakang sebagai ilmuwan, tetapi bahkan catatan kegiatan keilmuan dan penelitian pun ia tidak punya. Tiba-tiba saja namanya menyeruak entah bagaimana.
Joko Suprapto bahkan pernah diundang ke kediaman SBY untuk memberi penjelasan tentang temuannya. Sedemikian memikat penjelasannya, SBY lalu memerintahkan pembangunan infrastruktur produksi Minyak Indonesia Bersatu tak jauh dari kediamannya.
ADVERTISEMENT
Belakangan diketahui bahwa Joko Suprapto tak lebih seorang yang pandai bicara. Penjelasannya sesungguhnya tak memenuhi kaidah keilmuan. Apalagi pembuktiannya. Dan runtuh kaidah keilmuannya, runtuh pula seluruh bangunan realitanya.
Pelan tapi pasti proyek Blue Energy dan Minyak Indonesia Bersatu meredup dari pembicaraan. Untuk kemudian hilang sama sekali tak ketahuan rimbanya. Meninggalkan amarah dan malu.
Alam semesta dengan hukumnya sebetulnya bersahaja tetapi sekaligus kejam (baca: Kebersahajaan Alam Semesta).
Ia mempunyai ketetapan yang baku dan berlaku universal. Tak peduli manusia menemukan ketetapan itu, memahami, salah memahami, mempelajari, mengacuhkan, tak mampu atau belum mampu menggapai.
Tetapi ia selalu juga bisa disiasati. Hanya saja satu-satunya cara untuk menyiasati juga harus berdasar pada ketetapan yang baku dan berlaku universal pula. Tak bisa keluar dari konteks itu.
ADVERTISEMENT
Sialnya—coba perhatikan saja selama masa pandemi atau tarik mundur 20 tahun saja—pejabat Indonesia suka sekali mengabaikan hal ini. Entah alasannya.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan