Media Sosial, Monyet, Penggunjing

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
9 November 2017 20:03 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Media Sosial (Foto: Geralt)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Media Sosial (Foto: Geralt)
ADVERTISEMENT
Jumlah pengguna Twitter dan Facebook di Indonesia hingga tahun 2017 menurut kedua perusahaan itu tercatat 24,5 juta untuk Twitter dan 126 juta untuk Facebook.
ADVERTISEMENT
Dua-duanya berada di peringkat lima besar pengguna di dunia.
Entah untuk jenis media sosial lain. Tetapi tak akan mengejutkan kalau penggunanya di Indonesia juga akan masuk jajaran pengguna tertinggi.
Para penggagas aplikasi media sosial pastilah sedang memikirkan Indonesia ketika sedang mengangankannya. Tak ada kesimpulan lain.
Pertimbangan jumlah penduduk yang besar itu sudah pasti.
Lalu, narsistik dan suka bergunjing. Salah dua kualitas yang akan membuat aplikasi media sosial bisa tumbuh subur cukup berlimpah di Indonesia.
Toh unintended consequences (konsekuensi yang tidak dimaksudkan-tidak sengaja) dari media sosial ternyata adalah menjadi platform narsisme kolektif dan cakap-cakap kosong. Dan malah itu yang kemudian menjadi lebih kuat dan disenangi pengguna dibanding unsur lain.
Panggung gratis untuk (kalau beruntung) mendulang popularitas. Apapun itu arti dan gunanya.
ADVERTISEMENT
Sementara khusus untuk soal bergunjing Indonesia sungguh juara. Apapun digunjingkan. Selalu saja ada celah yang bisa digunjingkan dari sebuah peristiwa. Dari sosial hingga politik. Dari individu hingga kelompok. Dari yang remeh temeh hingga yang penting. Dari yang nyaris tak berarti hingga yang suci.
Seperti memindah percakapan warung kopi atau arisan ke sebuah sphere (wilayah) yang lebih luas dan tentu saja lebih intense (kuat).
Misal Presiden Joko Widodo mengawinkan anak: banyak yang perlu membahas mewah tidaknya pesta, mengapa ibunya Jokowi terlihat muda dan seperti tak jauh beda umur dengan anaknya, sudah dua kali Jokowi mengawinkan anaknya saat menjadi presiden, dll.
Ada yang sinis dan ada yang membela. Tetapi sedemikian pentingkah hingga harus menjadi percakapan yang ramai? Untuk apa? Mengapa sangat sulit untuk melihat sebuah peristiwa tanpa harus bersuara, menyebar pendapat, ataupun melakukan penilaian.
ADVERTISEMENT
Dari rakyat jelata hingga elitnya. Dari artis hingga akademisinya. Bahkan orang biasa yang dalam keseharian (dunia riil) pendiam, bisa buas bergunjing tak terkira ketika beredar di dunia media sosial.
Seorang ilmuwan biologi Inggris dari abad 19, Thomas Henry Huxley berteori: jika seekor monyet dibiarkan dalam waktu tak terbatas untuk menggunakan mesin ketik, hampir dipastikan ia akan bisa menghasilkan karya sebanding dengan karya Shakespeare.
Sebetulnya (setidaknya menurut banyak ilmuwan) ia sedang mengajukan sebuah preposisi akan sebuah probabilitas lewat sebuah metafor. Jadi tidak benar-benar persoalan monyetnya.
Huxley membayangkan bahwa jika ada sebuah mesin yang mampu memproduksi secara acak sekuen (huruf) kata-kata dan simbol dalam waktu tak terhingga, maka ada kemungkinan akan menghasilkan sebuah karya yang sebanding dengan karya Shakespeare.
ADVERTISEMENT
Pendukung teorinya menyebut bahwa Huxley sedang membayangkan komputer dan internet, hanya saja perbendaharaan kelilmuan saat itu belum sampai ke sana.
Pada tahun 1996 seorang pakar komputer dengan spesialisasi kecerdasan buatan (artificial intelligence-AI) dari Berkeley, Robert Wilensky mengatakan, ‘’Kita pernah mendengar kalau sejuta monyet diberi sejuta mesin ketik akan pada akhirnya mampu menghasilkan karya sehebat Shakespeare; sekarang dengan adanya internet kita tahu, itu omong kosong.’’
Saya berandai-andai, di tahun ketika Wilensky mengeluarkan pernyataannya, ia sedang membaca buku tentang masyarakat Indonesia, atau sedang berkunjung ke Indonesia, atau sedang berbicara dengan orang Indonesia. Kemudian ia membayangkan orang Indonesia menggunakan internet; hanya sampah dan pergunjingan tidak penting tingkat dewa yang ia lihat.