Mendefinisikan Maradona dan Messi

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
1 Juli 2018 9:14 WIB
comment
28
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penyerang Timnas Argenntina, Lionel Messi. (Foto: Dylan Martinez/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Penyerang Timnas Argenntina, Lionel Messi. (Foto: Dylan Martinez/Reuters)
ADVERTISEMENT
Di Piala Dunia 1986 Maradona mencetak dua gol ke gawang Inggris yang menggambarkan kejeniusannya.
ADVERTISEMENT
Yang pertama gol seorang bajingan dan semestinya—kalau wasit awas—tidak sah.
Berebut bola liar melambung melawan kiper Peter Shilton yang lebih tinggi 20 centimeter, Maradona mestinya kalah. Bahkan jika Maradona melompat, raihan tangan Shilton akan bisa menggapai bola dengan mudah ketimbang kepala Maradona.
Tapi Maradona dengan sangat cepat berpikir. Kalau tangan ia tekuk dan diposisikan sedikit lebih tinggi dari sejajar dengan kepalanya, melompat sepersekian detik lebih cepat dari Shilton, ia akan bisa menggapai bola lebih dulu dan memukul dengan tangan ke arah gawang dengan menyamarkan seolah-olah sebuah sundulan kepala. Bukan semata-mata memukul bola menggunakan tangan.
Sesudahnya, yang diperlukan, adalah lagak kegirangan untuk meyakinkan wasit, penonton, dan siapapun yang bisa dikelabui bahwa ia baru saja mencetak sebuah gol lewat sundulan kepala. Kalaupun semua pemain lawan tahu apa yang sesungguhnya terjadi, itu bukan urusannya.
ADVERTISEMENT
Bukan gol bajingan bagi Maradona. Ia menyebutnya Gol Tangan Tuhan.
Yang kedua terpilih sebagai gol terbaik Piala Dunia di abad 20. Puisi yang mewujud dalam gerak, kata mereka yang memilih. Gol yang hanya bisa dicetak malaikat, kata mereka yang memujanya.
Menerima bola sedikit di dalam separuh lapangannya sendiri, ia menggiring bola sejauh 60 meter sendirian dengan sebelas sentuhan, berjingkat lincah seperti kijang dan berkelit licin seperti belut melewati lima pemain, di muka gawang masih sempat ia memberi tipuan seolah hendak menembak dan mengecoh Peter Shilton yang telanjur menjatuhkan diri, lalu dengan bergegas menyontek bola ke dalam gawang persis sebelum lawan melakukan tackle dari belakang. Sebelas detik saja untuk semuanya.
Kedua gol yang hanya terpisah empat menit itu adalah sebuah keterpaduan antara imajinasi, perhitungan, keterampilan, dan eksekusi yang sempurna. Tak terpikirkan, apalagi dieksekusi, oleh orang normal. Hanya mereka yang jenius yang bisa melakukan.
ADVERTISEMENT
Atribusi jenius sendiri adalah pengakuan akan superioritas. Pengakuan akan keberadaan realm (alam-dunia) yang berbeda dari orang kebanyakan. Seorang jenius—apapun bidangnya—karenanya hampir selalu berperilaku/berpikir berbeda dengan orang kebanyakan.
Itu sebab (tak mengherankan) kalau kalau orang jenius seringkali menetapkan kaidah-kaidah mereka sendiri. Memberontak terhadap sebuah kenormalan. Menolak konformitas. Law unto him/herself.
Dan karena selalu berbeda dengan orang kebanyakan, para jenius ini menggoncang kemapanan, membuka cakrawala imajinasi, kemungkinan-kemungkinan baru, dan kemudian memaksakan tatanan hidup yang berbeda.
Pada awalnya mereka sendirian. Selalu sendirian. Lalu lahir epigon, pemuja, pengikut. Lalu mengembang dan menguat menjadi sebuah gerakan perubahan. Merekalah dalam sejarah kemudian menjadi peniup terompet perkembangan peradaban.
Sepak bola setelah Maradona—terutama untuk generasi seumuran saya yang tumbuh bersama Maradona—tak pernah lagi sama. Per definisi sepak bola telah selesai. Terumuskan.
ADVERTISEMENT
Sepak bola menjadi hanya sebuah penantian: semoga gol bajingan atau (terutama) gol malaikat akan tercipta lagi. Sepak bola menjadi ingatan akan ekstase empat menit—atau sebelas detik bagi mereka yang enggan menganggap gol pertama adalah gol jenius juga—yang kemungkinan tak akan terulang lagi. Sepak bola menjadi upaya mencipta kembali (recreate) apa yang dilakukan Maradona—secara individual ataupun kolektif.
Banyak orang mengkategorikan Lionel Messi juga seorang jenius. Ia mempunyai cakrawala imajinasi, perhitungan, keterampilan, dan kemampuan mengeksekusi sebanding dengan Maradona.
Messi bahkan pernah mencetak gol yang hampir mirip dengan baik gol bajingan—lawan Espanyol—maupun gol malaikat—lawan Getafe—Maradona itu. Keduanya ia lakukan bersama Barcelona.
Mungkin demikian ia. Seorang jenius.
Namun—kalaupun pengkategorian ini ada—ia, Messi, termasuk jenis jenius yang berbeda dengan Maradona. Messi adalah sebuah oxymoron: jenius yang konformis.
ADVERTISEMENT
Ia tak cukup berani untuk sendirian memberontak kenormalan dan menetapkan kaidah yang berbeda. Ia tidak cukup berani untuk menjadi law unto himself.
Ia harus berada di sebuah lingkungan sesama jenius untuk menunjukkan kejeniusannya. Ia bahkan bisa menjadi bintang para jenius tetapi para jenius itu harus ada di pihaknya.
Messi dengan mudah menjadi bagian dari sebuah pemberontakan kemapanan. Tetapi kesulitan untuk menjadi pengobar pemberontakan kemapanan.
Kisah suksesnya bersama Barcelona memberi ilustrasi tersebut. Ia meraih segalanya bersama Barcelona. Berulang-ulang malah.
Tetapi harus diingat, Barcelona bisa disebut entitas jenius yang sedang memberontak terhadap kemapanan persepakbolaan. Sebuah upaya kolektif untuk memberontak terhadap kaidah-kaidah permainan sepak bola yang baku. Menciptakan law unto themselves (Barcelona), bukan law unto himself (Messi).
ADVERTISEMENT
Banyak orang berteori Messi menjadi konformis karena ia tumbuh besar dalam sebuah lingkungan yang nyaman sejak kecil. Sebuah konspirasi kejadian yang menguntungkan.
Begitu bakatnya terendus ia dilindungi dengan ditarik keluar dari lingkungannya yang keras, diawasi dengan ketat kesehariannya agar tidak melenceng hidupnya, dan diistimewakan agar bakat sepak bolanya bisa berkembang maksimal.
Sangat beruntung ia kemudian tumbuh bersama generasi Barcelona yang sepadan kejeniusannya. Sangat beruntung ketika ia bertemu dengan Pep Guardiola yang mempertanyakan gaya bermain baku sepak bola dan memperkenalkan evolusi-revolusi Tiki Takanya (sebuah kejeniusan tersendiri).
Semua orang tahu bagaimana ia harus mendapat pengawasan kesehatan yang ketat, termasuk suntikan hormon penumbuh badan, agar fisiknya bisa berkembang normal.
Ia hidup dalam sebuah dunia yang nyaris seperti ruang hampa. Hidupnya dari usia dini adalah sebuah konformitas. Hanya untuk sepak bola.
ADVERTISEMENT
Maradona di sisi lain adalah anak jalanan yang bengal. Ia mengerti arti sesungguhnya dari kerasnya kehidupan karena harus menjalaninya.
Ia tak pernah mendapat keistimewaan seperti yang didapat Messi. Baik di dalam maupun di luar lapangan.
Tebasan kaki lawan di lapangan, sama kerasnya dengan tebasan para preman yang mengincar uang dan potensi dirinya. Maradona harus selalu merumuskan apa yang terbaik untuk dirinya secara terus menerus. Imajinasi jalanan sering masuk dalam imajinasi permainannya.
Ia tak mengalami kesulitan-kesulitan hormon pertumbuhan seperti Messi. Tapi toh tinggi badannya yang hanya 165 sentimeter tetap lima sentimeter lebih pendek dari Messi. Ia harus berjuang dengan apa yang ia punya.
Tak mengherankan Messi kesulitan untuk membawa Argentina—tim yang sesungguhnya tidak jelek-jelek amat mengingat beberapa bintang yang ada di dalamnya—bersinar di level internasional. Di situasi keputusasaan, Messi tidak bisa menawarkan apa-apa. Tak mampu menawarkan jalan keluar.
ADVERTISEMENT
Maradona sementara itu, dengan komposisi pemain yang mungkin sedikit lebih buruk dari tim Argentina yang sekarang, mampu membawa Argentina menjadi juara Piala Dunia 1986 dan meraih gelar pemain terbaik. Ia tak mengerti arti keputusasaan. Dunia harus menuruti dirinya, bukan sebaliknya. Apapun caranya.
Karenanya bisa diajukan sebuah pertanyaan hipotesis: apakah Messi akan sesukses di Barcelona kalau ia bermain di klub yang medioker? Saya tidak terlalu yakin. Seperti juga Messi tak mampu mengangkat Argentina.
Maradona berbeda. Bagaimana ia mengangkat Napoli, sebuah tim medioker Italia Selatan, meraih dua kali juara Seri A, sekali Coppa Italia, sekali Piala UEFA, dan sekali Piala Super menjadi cerita legenda. Ia pengobar pemberontakan Napoli atas kemapanan sepak bola Italia yang hampir selalu dikuasai oleh tim dari kawasan Italia Utara (Juventus, AC Milan, dan Inter Milan) yang lebih kaya.
ADVERTISEMENT
Messi adalah bintang Barcelona, sementara Maradona adalah Napoli. Messi adalah bintang Argentina, sementara Maradona adalah Argentina. Messi adalah jenius yang konformis, sementara Maradona adalah jenius (titik).