Meritokrasi

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
23 November 2020 8:19 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
Di tahun 1958 Michael Dunlop Young menerbitkan buku berjudul The Rise of Meritocracy. Alur cerita di buku itu—walau fiksional, semi ramalan, dan mengambil latar imajiner revolusi sosial di tahun 2034—jelas mengambil inspirasi dari perubahan sosial yang terjadi di Inggris pasca-revolusi industri: Ketika pertanian berubah menjadi industrial; ketika aristokrasi-monarki berubah menjadi demokrasi; ketika orang tidak dipandang dari faktor keturunan tetapi pencapaian individual; ketika kasta sosial berubah menjadi kelas sosial.
ADVERTISEMENT
Young tidak memuji meritokrasi di buku itu, tetapi sebaliknya. Meritokrasi menurutnya tak berbeda dengan aristokrasi, monarki, oligarki, dan beberapa sistem lain yang memunculkan kelas elite sosial, tak lebih dari sebuah upaya justifikasi akan adanya kesenjangan sosial.
Meritokrasi—sistem yang memberi kesempatan kepada seseorang untuk menjadi figur penting berdasar kemampuan dan prestasi, bukan karena faktor kekayaan, keturunan, senioritas, koneksi, suku, ras, agama, dan semacamnya—sepertinya relatif adil. Pun demikian ia tidak mampu mencegah terjadinya elitisme dan tak mampu menciptakan sebuah kehidupan yang egaliter.
Karena "Every selection of one is rejection of many," kata Young. Selalu saja ada penyingkiran dalam prosesnya. Sama saja dengan sistem sosial lain.
Lalu mereka-mereka yang terpilih ini berjejaring untuk menjadi kelas terpilih. Menjadi kekuatan dan penentu arah perubahan. Sementara mereka yang "tersingkir" menjadi buih.
ADVERTISEMENT
Salah satu penyebab utamanya menurut Young adalah karena lembaga pendidikan yang semestinya menjadi levelling fieldpemerata kesempatan bagi semua—tidak berfungsi dengan semestinya.
Alih-alih mendidik agar semua orang mempunyai kesempatan yang sama atau membantu orang untuk mengasah kemampuan sesuai talenta individu, ia malah menjadi lembaga penyaring pertama untuk memisahkan mereka yang mampu dan tidak mampu. Saringan awal untuk memilah yang akan menjadi elite dan yang menjadi massa.
Lembaga pendidikan menurut Young dalam batas tertentu mengabaikan persoalan ras, keturunan, kekayaan, koneksi, dan agama, tetapi pada saat bersamaan membuat batasan baru: Intelegensia. Ia digunakan untuk menyingkirkan mereka yang "bodoh" dan yang "pintar". Dengan asumsi yang bodoh memang layak untuk tersingkir atau disingkirkan. Padahal parameter yang digunakan untuk menentukan intelegensia hanya menggunakan satu parameter saja, kepentingan industri.
ADVERTISEMENT
Pendekatan yang mono-dimensional ini menyebabkan mereka yang pintar tetapi tidak berguna dari sisi industrial ikut disingkirkan.
Persoalan-persoalan yang berfondasi pada kehalusan rasa seperti kesenian dan etos semacam kebersamaan menjadi nomor kesekian dalam kehidupan.
Bahkan seperti yang diramalkan oleh buku itu, akan tiba saatnya ketika orang tua seperti memilih untuk hanya memberi perhatian ke bayi atau anak yang pintar.
Sebuah ramalan akan dunia yang sungguh suram.
Untuk alasan-alasan yang demikian Young menjadi skeptis dan menilai buruk meritokrasi.
Tetapi saya tidak terlalu yakin meritokrasi akan membuat dunia sesuram yang dibayangkan Young.
Memang saat ini kita bisa melihat beberapa kekhawatiran yang diramalkan oleh Young gejalanya telah terjadi.
Orang tua berlomba memintarkan anak sebelum waktunya. Berapapun ongkos uang dan sosialnya.
ADVERTISEMENT
Sekolah (mungkin) bisa dianggap tidak mendidik dengan pengetahuan dan adab, tetapi menyiapkan mesin untuk bisa selamat mengikuti jenjang sekolah hingga akhir yang berujung pada semata memenuhi kebutuhan industri.
Dunia industri menyetir kehidupan dan melahap bakat dengan kredo every selection of one is rejection of many tanpa pertimbangan lain. Meninggalkan residu ketersingkiran dan keterasingan sosial.
Elite meritokrasi berjejaring menjadi penguasa politik dan perekonomian. Menyebabkan adanya kesenjangan sosial.
Tetapi di sisi lain sistem meritokrasi (dengan jenjang pendidikan yang ada) memungkinkan mobilitas sosial yang fantastis.
Seseorang yang miskin, bukan keturunan orang berada, tak punya darah biru, bernasab entah-berantah, dari pelosok, bisa menjadi apa saja ketika ia bisa membuktikan layak.
Seseorang tak perlu menepuk dada ia seorang bangsawan, pangeran, anak turun orang berada, habib, gus, dan lain semacamnya untuk diakui.
ADVERTISEMENT
Di sebuah meritokrasi keberhasilan hidup itu diraih bukan diberikan, bukan turunan—earned not given, not hereditary.
Kalau benar meritokrasi seperti diramalkan oleh Young pada akhirnya akan berujung suram, kita pikirkan nanti ketika waktunya tiba. Tetapi sekali lagi, saya tak yakin itu.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.