Partai Tanpa Tulang Belakang

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
8 Februari 2021 9:43 WIB
comment
32
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
Pemilu masih jauh. Tahun 2024. Tapi setidaknya mulai dari sekarang saya sudah terbantukan untuk mulai menentukan pilihan: tidak akan memberikan suara untuk Partai Demokrat.
ADVERTISEMENT
Bukan berarti tahun-tahun sebelumnya saya memberikan suara untuk partai ini juga.
Tetapi saya termasuk pemilih yang menjatuhkan pilihan tidak berdasar ideologi apalagi kesetiaan kepartaian. Sia-sia juga kalau mendasarkan pada kedua hal ini.
Seperti kebanyakan partai politik di Indonesia era reformasi, Partai Demokrat ini tidak mempunyai tulang belakang ideologi. Tidak didirikan berdasar sebuah pemikiran (besar) lengkap dengan turunan-turunan kebijakan yang bisa menjadi pegangan bagi para pemilih untuk menentukan pilihan.
Partai Demokrat didirikan sebagai kendaraan politik bagi Susilo Bambang Yudhoyono untuk naik menjadi presiden. Dibentuk untuk melayani kepentingan-kepentingan tokohnya bukan sebaliknya. Dalam kategori jenis partai politik—karena miripnya dengan bagaimana sebuah bisnis dijalankan dan pada akhirnya memanfaatkan posisi dalam negara untuk mendapatkan akses politik-bisnis—para pakar menyebutnya sebagai partai entrepreneur.
ADVERTISEMENT
Benar bahwa Partai Demokrat mengusung apa yang disebut sebagai ideologi Nasionalisme Religius. Tetapi turunan nilai ini ke persoalan sistemik praktis tidaklah jelas. Menjadi gincu untuk dipoleskan saja.
Dalam perjalanan kehidupannya, partai semacam ini biasanya kemudian menjadi monokratik atau paling lebar menjadi hereditary-oligarchy.
Boleh-boleh saja. Selama ada yang mau terlibat di dalamnya, selama ada yang mau memilih mereka, ia tentu saja berhak hidup.
Apalagi seperti di Indonesia, kalau mau membandingkan dengan partai yang punya ideologi jelas semacam PDI-P misalnya, kita kesulitan untuk membedakan dampak kebijakan yang diambil ketika masing-masing berkuasa.
PDI-P jelas mempunyai Marhaenisme dengan nilai ideal memperjuangkan hajat hidup rakyat kecil. Tetapi ketika mereka berkuasa (setidaknya memenangkan pemilu), adakah yang membedakan secara fundamental dengan ketika Partai Demokrat berkuasa?
ADVERTISEMENT
Kalau misalnya ada, maka saya saja yang tidak mengerti dan merasakan. Sepertinya semua sama saja. Turunan kebijakan memperjuangkan hajat hidup rakyat banyak itu kabur.
Bahkan bukan hanya dalam persoalan kebijakan ketika berkuasa. Bagaimana partai menjalankan kehidupannya juga seperti sama, berujung pada hereditary-oligarchy. Ideologi kepartaian seperti hanya bisa terpersonifikasikan lewat tokoh. Pada akhirnya partai menghamba kepada tokoh.
Partai yang mempunyai ideologi jelas dan lebih spesifik lagi lahir karena berdasar pada keprihatinan tertentu seperti Islam dan penciptaan keadilan semacam PKB dan PK(S) juga terjebak pada persoalan yang sama. Mereka berhasil mempengaruhi kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan, tetapi selebihnya nyaris terendam tanpa suara. Lebur dalam mesin penggiling daging bernama kekuasaan dan oportunisme.
Kalau kata teman saya yang pengamat politik Indonesia asal UGM, Dodi Ambardi, menyebut lunturnya komitmen ideologi partai politik karena salah satunya terjadi kartelisasi partai politik untuk mendapat akses ke keuangan negara. Partai-partai bertarung dan kemudian menemukan keseimbangan kekuasaan untuk berbagi akses ke keuangan negara. Akses itu kemudian digunakan untuk menghidupi partai.
ADVERTISEMENT
Tak heran kalau pimpinan Partai Demokrat kebakaran jenggot mendapati diri mereka dalam pusaran kemungkinan ‘kudeta’. Partai apapun dalam posisi yang tidak menguntungkan ketika jaringan (partai-partai lain dalam satu klub pemegang akses) ingin mendepak mereka. Setidaknya mendepak para pemimpinnya.
Dan karenanya kita kembali ke persoalan Partai Demokrat.
Kita tahu seminggu lalu pemimpin partai, Agus Harimurti Yudhoyono, mengundang wartawan dan bercerita tentang adanya gerakan untuk mengkudeta dirinya. Bahwa gerakan itu melibatkan lingkar orang di seputar Presiden Jokowi.
Ia juga mengaku sudah mengirim surat ke presiden untuk meminta konfirmasinya dan mengeluhkan tindakan itu kalau memang benar demikian.
Kalau saya mengatakan tidak akan memilih partai demokrat, salah satunya adalah karena tidak tahan dengan gaya semacam ini: gembeng dan kolokan. Sudah tidak bertulang belakang (ideologi) gampang mengeluh lagi.
ADVERTISEMENT
Buat apa mengadu ke presiden soal akan ada yang mencoba mengkudeta kecuali mengakui bahwa kartel partai politik benar adanya dan Partai Demokrat ada di dalamnya? Buat apa mengeluhkan adanya orang luar turut campur urusan internal partai? Buat apa coba—pada saat hampir bersamaan—tokoh panutannya merasa perlu melepas cuitan tentang the good, the bad, and the ugly dalam berpolitik?
Lawan saja kalau memang ada. Tunjukkan kalau yang melakukan tidak beradab seperti yang disimpulkan. Tunjukkan kalau internal partai solid dan kuat untuk menanggulangi. Itu lebih menimbulkan simpati dan keyakinan calon pemilih. Jangan malah merasa yang paling teraniaya di dunia. Berpolitik kok lembek amat.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.