
Entah sudah berapa kali saya membaca dan mendengar ulang cerita klasik Umar bin Khatab memanggul sendiri bahan makanan ke sebuah keluarga yang kelaparan. Dikatakan, ketika khalifah kedua Islam diam-diam melakukan blusukan malam seperti yang rutin ia lakukan di Madinah, mendapati seorang janda yang terpaksa berpura-pura memasak untuk menghentikan rengekan anak-anaknya yang kelaparan. Umar pun malam itu juga membuka gudang makanan, memanggul sendiri bahan makanan sebagai bentuk pertanggungjawaban, dan menangis meminta maaf atas kelalaiannya hingga ada warga yang luput dari jaring perhatiannya atau jaring perhatian pemerintahannya.
Cerita itu, dari sejak kecil saya pertama kali mendengarnya hingga sekarang, selalu dijabarkan dan ditekankan sebagai tauladan tentang kepribadian seorang pemimpin yang bertanggung jawab memegang amanah, rendah hati, sederhana, tulus, dan mementingkan kesejahteraan rakyat dan menihilkan kepentingan pribadi di atas segalanya. Salah satu contoh dalam khazanah suri ketauladanan kepribadian pemimpin (yang baik).
Mungkin karena kebanyakan saya mendengarnya dari mereka yang berlatar belakang agama—dari guru agama maupun bacaan yang menyoal agama—penekanan penting dari apa yang dilakukan oleh Umar adalah refleksi kesalehan dan pemaknaan akan tanggung jawab vertikal kepada Tuhan. Tidak ada yang salah sama sekali dengan penekanan ini. Memang demikian adanya Umar.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814