Puasa, Fitrah, dan Ziarah

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
21 Juni 2017 23:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Alquran (Foto: Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Alquran (Foto: Pexels)
ADVERTISEMENT
Lupakan tentang pemahaman puasa yang mengajarkan hikmah empati, sabar, tabah, kesederhanaan, syukur dan semacamnya.
ADVERTISEMENT
"Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya," sabda Allah. Kalimat itu berimplikasi, puasa adalah (mungkin) kesemua hikmah itu dan lebih, tetapi jelas utamanya bukan tentang persoalan hikmah itu.
Puasa adalah persoalan ketaklukan tanpa syarat. Di bulan puasa kita diminta untuk memalingkan muka dari urusan-urusan duniawi.
Perhatikan bagaimana selama bulan puasa semua rangkaian peribadatan kita adalah sesungguhnya konfirmasi dan afirmasi ketaklukan tanpa syarat itu.
Setelah (sesiangan) mematikan nafsu (duniawi), menambah sedekah, menambah waktu untuk membaca al Quran (tadarus), tarawih, bertafakur, itiqaf, di hening sepertiga malam kita masih dituntun untuk mengulang-ulang:
Kalimat peneguh status kehambaan, "aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang disembah melainkan Tuhan (Allah)" -- Asyhadu alla ilaha ila Allah--.
ADVERTISEMENT
Kalimat ketertaklukan, "aku mohon ampun kepada Allah" –Astaghfirullah--.
Kalimat kepasrahan, "wahai Tuhanku, sesungguhnya aku memohon surga kepadaMu dan aku berlindung kepadaMu dari siksa neraka" – Allahumma inna as alukal jannata wa a’udzubika minan naar--.
Ditutup dengan kalimat harapan, "ya Allah sesungguhnya Engkau maha pemaaf yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah hambaMu ini" –Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni--.
Pendeknya di bulan puasa kita diminta untuk seirama dengan alam semesta (makhluk lain), hanya mengagung-agungkan zat yang maha perkasa.
Ilustrasi melaksakan ibadah salat. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi melaksakan ibadah salat. (Foto: Pixabay)
Manusia di bulan puasa bukanlah khalifah (wakil Tuhan di bumi), tetapi hanya sederajat dengan makhluk lain. Manusia sama dengan alam semesta dan seluruh isinya --matahari, bumi, gunung, binatang, malaikat—ada hanya untuk memujaNya.
ADVERTISEMENT
Manusia, seperti makhluk lain, berada di posisi takluk tak terperi, iyyakana’budu waiyyakanasta’in (Al Fatihah, 5) —hanya Engkau yang kami sembah, hanya kepada Engkau kami minta pertolongan. Sujud yang tak hendak bangun.
Status manusia sebagai khalifah khusus di bulan puasa diminta kembali oleh yang punya. Free will (kebebasan kehendak) yang diberikan Tuhan khusus kepada manusia --tidak ke makhluk lain-- agar bebas mengatur segala urusan di dunia (memakmurkan bumi) untuk sementara diminta.
Kalau ada yang mengatakan keberhasilan amalan berpuasa adalah (semoga) diakhir kita akan bisa menjadi hamba Allah yang fitrah (kembali seperti di awal penciptaan hanya untuk memuja Allah), saya berpendapat justru di bulan puasa ketika kita menjalankan amalan-amalan puasa, kita sedang berfitrah.
ADVERTISEMENT
Usai puasa adalah kembalinya manusia menjadi khalifah di muka bumi. Ketika kebebasan berkehendak dipulihkan oleh yang maha memiliki. Manusia kembali menjadi berbeda dengan makhluk-makhluk lain.
Di sinilah puasa dan rangkaian peribadatannya kemudian disebut dan dijanjikan oleh Allah sebagai istimewa. Lebih dari ibadah fardhu ‘ain –wajib pribadi—yang lain.
Puasa memberi kesempatan kepada manusia untuk menziarahi awal penciptaannya, kefitrahannya. Tidak ada ibadah fardhu ‘ain lain yang memberi kesempatan itu.
ADVERTISEMENT
Karena itu, puasa di atas segalanya adalah ceruk rindu dan kasih sayang dari yang maha mengasihi dan penyayang untuk umatNya. Pengingat bahwa manusia memang diistimewakan oleh penciptaNya sejak awal.
Dan ketika rindu dan kasih sayang itu datang, kita rengkuh saja dengan hati terbuka. Tak perlu bertanya mengapa.