Pupus Sudah Tunas Diharap

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
14 Februari 2018 16:04 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pupus Sudah Tunas Diharap
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Saya punya beberapa teman yang sekarang menjadi menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
ADVERTISEMENT
Ada yang bekas teman kuliah, teman sesama aktivis –apapun definisi aktivis itu--, teman satu tempat kerja, dan teman kenal karena lingkungan sosial.
Ada dari mereka yang pernah merasakan diculik di zaman lalu karena aktivitas politik yang dianggap subversif.
Ada yang pernah di penjara karena ideologi politik mereka tidak sejalan dengan ideologi resmi negara.
Ada yang harus menanggung stigma anak keturunan partai terlarang di Indonesia. Terpinggir dan ternistakan.
Ada yang secara struktural dan kultural ditekan hanya karena ingin menjalankan keyakinan agamanya. Dipangkas habis jalur mobilitas vertikalnya.
Ajaib saja menurut saya kalau mereka ini kemudian selamat dan zaman berbalik rupa untuk berbaik hati mengangkat mereka masuk ke posisi elite politik negeri ini.
ADVERTISEMENT
Sebermacam persinggungan kami, ada satu hal yang sama: mereka semua idealis dan masuk ke DPR karena ingin memperbaiki Indonesia. Agar Indonesia berbeda, menjadi tempat yang lebih baik dari apa yang pernah mereka alami sebelumnya.
Mereka tahu DPR adalah lembaga yang sangat strategis. Tempat undang-undang yang menjadi kompas kebijakan negara ini digodok. Karenanya alasan mereka beramai-ramai masuk ke DPR bisa dimengerti.
Saya tidak pernah meragukan niat mereka. Apa hak saya –yang hidup terlalu nyaman dan tidak pernah melalui gejolak hidup seberat mereka-- untuk meragukan niat mereka?
Sebagai kelompok yang terpinggirkan dan tertindas, mereka bukan hanya bisa menawarkan empati dan berbagi simpati, tetapi pengalaman tangan pertama. Sehingga (solusi) apapun yang mereka tawarkan semestinya akan lebih tepat.
ADVERTISEMENT
Saya mengerti konteks masuknya mereka ke DPR adalah bagian dari sebuah reformasi, bukan revolusi. Artinya perubahan drastis dalam ketatanegaraan tetapi bukan perubahan yang mendasar. Bangunan tak berubah, penyikapannya saja yang berbeda.
Karenanya ketika teman-teman ini mulai menduduki posisi di DPR, saya tak berharap mereka akan segera mengubah keadaan begitu saja. Butuh waktu.
Apalagi teman-teman ini hanyalah bagian dari 560 anggota DPR lainnya. Walau kalau ditanya satu per satu saya yakin ke-560 anggota itu semua akan mengatakan hal yang sama: menjadikan Indonesia lebih baik; suratan niat siapa yang tahu.
Ketika euforia reformasi mulai mereda dan orang mulai mempertanyakan tindak tanduk dan hasil perundang-undangan yang dianggap tak jauh beda dengan DPR-DPR sebelumnya, saya termasuk yang bersikukuh untuk memberi mereka waktu. Tak menjatuhkan vonis cepat-cepat.
ADVERTISEMENT
Ketika beberapa –atau banyak—dari anggota DPR yang terjerat kasus korupsi, jual beli suara, bertindak untuk kepentingan pribadi (partai) semata dan bukan rakyat, dan semacamnya, saya berargumen itu secara natural akan membersihkan DPR dari elemen buruk. Kita sebagai rakyat akan bisa mencatat dan menyingkirkan mereka di kemudian hari.
Saya masih tetap punya harapan, teman-teman masih di sana. Mereka yang akan menjadi motor yang membersihkan dan membereskan DPR dari dalam.
Hanya saja saya terdiam kehabisan kata-kata ketika dua hari lalu, Senin (12/02/2018), DPR mengesahkan Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Beberapa pasal, setidaknya empat pasal, di dalam undang-undang itu praktis menjadikan DPR (dan anggotanya) sebagai superbody-nya negeri ini. Antikritik dengan kekuasaan yang maha besar.
ADVERTISEMENT
Di pasal 73 disebut bahwa DPR bisa melakukan pemanggilan paksa dan bahkan menyandera siapa saja –badan hukum atau warga biasa—selama 30 hari dengan menggunakan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kalau yang bersangkutan dianggap mengabaikan panggilan tiga kali berturut-turut.
Pasal 122 menyebut bahwa DPR bisa memidanakan perseorangan, kelompok, atau badan hukum yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya.
Apa yang dianggap merendahkan? Tentu saja tidak tidak ada rinciannya.
Ini bisa menjadi pasal suka-suka tafsirnya. Suka-sukanya anggota DPR dan DPR untuk menafsirkan. Pasal karet. Dengan pintu penyalahgunaan terbuka lebar.
Bayangkan bagaimana kombinasi pasal 73 dan 122 ketika diterapkan.
Masih belum puas–dan mungkin belum merasa perlindungan dirinya cukup—DPR mengesahkan satu pasal lagi, pasal 224. Pasal menyangkut hak imunitas anggota DPR.
ADVERTISEMENT
Untuk mudahnya saya kutip saja dari sumber aslinya:
1. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
2. Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR atau di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.
Saya pikir tiga pasal itu sudah keterlaluan. Ternyata masih belum puas juga. Mereka mengesahkan satu pasal lagi yang pertimbangan berdasar entah sebagai lanjutan pasal 244, yaitu pasal 245.
Lagi-lagi saya hanya mengutip mentah-mentah: Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan.
ADVERTISEMENT
Pasal-pasal ini bukan sekadar menjadikan DPR (dan anggotanya) superbody tetapi pembentukan aristokrasi politik baru. Sebuah persekongkolan yang tidak sehat kalau menurut saya.
Saya berprasangka teman-teman di DPR yang saya kenal akan bersuara lantang menentangnya karena malu. Malu mengingat masa lalu mereka. Malu menatap masa depan politik Indonesia. Malu mengingat cita-cita mereka.
Saya berprasangka teman-teman akan minimal menyuarakan dissenting voice (pendapat yang berlawanan) di sidang paripurna. Lebih ekstrem lagi, undur diri sekalian.
Saya mengerti sekarang, naïf dan tolol saja saya ini. Semua prasangka itu tak terjadi. Malah ada teman yang berkilah UU MD3 sudah selaras dengan norma hukum di Indonesia. Tak ada yang dilanggar.
Hampir semua orang bisa tabah menjalani kesengsaraan, tetapi kalau ingin menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan. Bukan perkataan saya, tetapi perkataan Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln.
ADVERTISEMENT
Mengingat teman-teman saya itu…….. ah pupus sudah tunas diharap. Kekuasaan memang melenakan.