news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Saleh

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
9 Desember 2019 11:36 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Saleh Foto: Indra Fauzi
zoom-in-whitePerbesar
Saleh Foto: Indra Fauzi
ADVERTISEMENT
Konon suatu saat seorang sahabat memuji kesalehan seseorang di hadapan Nabi Muhammad.
ADVERTISEMENT
"Mengapa?" tanya nabi.
"Ia setiap saat selalu berada di masjid. Setiap saya masuk masjid, ia sudah salat dengan khusyuk. Lama setelah saya keluar dari masjid, ia masih khusyuk berdoa," jawab sahabat tadi.
"Tidakkah ia bekerja? Siapa yang menghidupi keluarganya?" tanya nabi lagi.
"Ada kerabatnya. Kerabatnya yang mencukupi kebutuhan mereka," jawab sahabat
"Sungguh kerabatnyalah yang layak disebut saleh," kata nabi kemudian.
Cerita ini hanyalah satu dari sekian banyak cerita kearifan nabi dalam menggambarkan betapa agama bukanlah hanya persoalan bertuhan saja tapi (terlebih lagi) juga persoalan kemanusiaan. Tentang bagaimana persoalan dunia tidak bisa diabaikan dengan alasan memuliakan tuhan. Bahwa konsep kesalehan sosial sahih adanya dan tuhan hadir di sela-selanya.
"Tuhan," kata Nabi Muhammad dalam sebuah hadis, "ada dan bisa ditemui di antara mereka yang sakit, menderita, kelaparan, dan kehausan."
ADVERTISEMENT
Hanya saja sulit membayangkan tuhan hadir di luar tempat peribadatan. Sama sulitnya dengan melepaskan tuhan dari semata ikatan ritual peribadatan. Persis seperti cara berpikir sahabat nabi tadi.
Manusia, bukan hanya umat Islam tetapi semua umat beragama, menginginkan pengukuran yang partikular sifatnya. Sebagai jaminan rasa aman bahwa agama merekalah yang paling benar. Bahwa mereka mengikuti jalan keselamatan yang benar. Tidakkah demikian alasan beragama itu?
Kesalehan sosial—bisa diterjemahkan sebagai berbuat baik untuk diri sendiri dan kemaslahatan sesama—berbeda dengan kesalehan ritual peribadatan tidaklah bisa menjadi unik milik agama tertentu saja. Ia universal. Kesalehan sosial bahkan juga milik mereka yang tak percaya tuhan maupun agama.
Cara manusia berdamai adalah dengan kemudian melakukan kompartementalisasi dalam beragama. Mana yang merupakan kesalehan peribadatan dan mana yang merupakan kesalehan sosial. Seolah keduanya adalah hal yang terpisah.
ADVERTISEMENT
Lalu manusia mengakui kesalehan sosial juga merupakan refleksi atau bagian dari kesalehan dalam beragama. Tetapi tetap saja dengan ketidaksejajaran. Urutannya adalah saleh ritual ibadat dulu baru saleh sosial kemudian. Tidak sebaliknya.
Konsekuensinya, mengabaikan kesalehan sosial bisa dihapus dengan kesalehan peribadatan. Tetapi mengabaikan kesalehan peribadatan tidak bisa dikompensasi dengan kesalehan sosial.
Kompartementalisasi ini menjawab banyak pertanyaan mengapa sering dan bisa muncul kontradiksi dalam kehidupan (beragama). Paling minimal, kesalehan peribadatan tidak tercermin dalam kesalehan sosial maupun sebaliknya. Paling parah, mereka tidak melihat keterkaitan antara keduanya dan marah ketika diingatkan.
Suatu saat di perempatan lampu merah dekat kantor ada serombongan kendaraan bermotor roda dua—belasan jumlahnya—entah hendak menuju atau pulang dari sebuah pertemuan. Atribut berpakaian yang dikenakan baik oleh yang lelaki dan perempuan adalah atribut kesalehan.
ADVERTISEMENT
Dengan ringan hati mereka maju melewati garis batas pemberhentian. Berjajar menutup lebih separuh jatah/hak lewat kendaraan lain. Menimbulkan kemacetan yang sangat tidak perlu terjadi seandainya mereka mematuhi aturan lalu lintas.
Melewati rombongan itu, saya tidak mampu menahan diri untuk tidak mengingatkan mereka. Seperti orang kurang kerjaan saya mengatakan bahwa mereka telah mengambil hak orang lain dengan menutup separuh jalan. Merepoti banyak orang. Bahwa itu sebuah pelanggaran, sebuah dosa (sosial). Bahwa itu juga harus dipertanggungjawabkan di hadapan tuhan nantinya.
Reaksinya tentu saja bisa ditebak. Sumpah serapah: Dari manusia sok tahu, sok kaya, hingga dibinatangkan. Kurang satu teriakan saja, "Komunis kafir Lu!"
Saya mundur teratur. Dan mengingatkan diri sendiri untuk lain kali belajar menutup mulut. Siapa tahu itu kesalehan tersendiri dalam hidup ini.
ADVERTISEMENT