Satu Ketika Tentang Jerusalem, Palestina, dan Israel

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
8 Desember 2017 18:07 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Satu Ketika Tentang Jerusalem, Palestina, dan Israel
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Suatu saat saya sedang menemani anak belajar di kamarnya. Waktu itu ia masih kelas dua SMP.
ADVERTISEMENT
Ia sibuk dengan buku-bukunya. Saya duduk membaca buku saya sendiri. Dalam diam.
Tiba-tiba anak saya bertanya, atau lebih tepatnya mengungkapkan kebingungannya.
‘’Bapak… Tuhan benar-benar ada kan ya?’’
Saya tidak pernah mengharapkan pertanyaan seperti itu dari siapapun, apalagi dari anak sendiri. Tanpa ada percakapan pembuka. Tanpa awalan. Jleger! Begitu saja.
Walau hati bergemuruh kencang dan khawatir mengantisipasi percakapan yang akan terjadi, wajah dan nada bicara saya buat senormal mungkin. Semoga tidak ada yang akan membuat saya susah tidur.
Bersikap seolah-olah pertanyaannya adalah pertanyaan sehari-hari dan tidak terlalu penting, saya balas bertanya, ‘’Kenapa nak kamu bertanya seperti itu?’’
‘’Bapak tahu kan aku ikut tim debat mewakili kelas?’’
‘’Iya tahu.’’
‘’ Tadi kami dapat topik debat, siapakah yang berhak atas tanah di Jerusalem. Palestina atau Israel.’’
ADVERTISEMENT
‘’Ok, terus?’’
‘’Timku harus membela Palestina dan kelas lain membela Israel.’’
Hati mulai tenang, ini tidak mengarah ke percakapan teologis atau filosofis sepertinya. Saya memang agak khawatir dengan mata pelajaran filsafat ilmu pengetahuan (Theory of Knowledge) dan studi perbandingan agama (Comparative Religion) yang masuk dalam kurikulum pelajaran SMP anak saya.
Tentu saja bahan yang diajarkan untuk kedua mata pelajaran itu masih sangat dasar. Tetapi selalu membuat hati ini tidak tenang, saya menganggapnya masih terlalu cepat untuk diberikan ke anak-anak setingkat SMP.
Saya kemudian bertanya, ‘’Apa hubungannya membela Palestina dan Israel dengan pertanyaan Tuhan benar-benar ada?’’
‘’Kami masing-masing harus membuat pernyataan penutup. Closing statement, dari timku aku yang berbicara,’’ kata anakku.
ADVERTISEMENT
‘’Bagus dong,’’ potongku.
Anak saya mengabaikan pujian dan melanjutkan, ‘’Mereka mengatakan bahwa Israel berhak atas Jerusalem dan semua wilayah yang mereka klaim karena semua tanah itu adalah tanah yang dijanjikan oleh Tuhan.’’
‘’Bukannya itu persoalan politik? Pemerintah Inggris yang memberikan wilayah itu kepada apa yang dinamakan Israel saat ini,’’ ingin tahu sejauh mana anak ini tahu apa yang ia bicarakan.
‘’Kami tentu saja sudah berdebat soal itu semua Bapak. Tentang sejarah, tentang konteks politik. Semua. Kan kami sudah harus mempersiapkan bahan,’’ jelasnya.
‘’Oh ok, terus apa closing statement-mu,’’ tanyaku.
‘’Paling akhir karena dia menyebut soal Tuhan, ya aku balas soal Tuhan pula.’’
‘’Bagaimana itu?’’
‘’Jangan bawa-bawa soal janji-janji Tuhan. Tidak masuk akal,’’ kata anak saya. ‘’Yang berjanji kan Tuhan orang Yahudi. Aku yang Muslim punya Tuhan sendiri, orang Kristen juga punya Tuhan sendiri.’’
ADVERTISEMENT
Saya hampir tertawa mendengar argumennya, ‘’Terus-terus……’’
‘’Ya kalau masing-masing Tuhan punya janji sendiri-sendiri terus bagaimana? Susah kan? Bagaimana kalau para Tuhan tak bersepakat?’’ ia bertanya dengan sarkastik.
Saya tak tahu harus bereaksi seperti apa mendengar cerita anak saya ini, dan hanya bisa mengulang lagi kata, ‘’Terus. Terus……’’
‘’Semua tertawa terpingkal-pingkal,’’ kata anak saya.
‘’Selain tentang Tuhan, apa yang lain kamu katakan nak?’’ tanya saya ingin tahu.
‘’Standard saja Bapak. Ketamakan, ketimpangan, ketidakadilan, geo-politik, semacam itulah,’’ jawab anak saya.
Ia pun bercerita tentang sejarah berdirinya Israel, diaspora Yahudi, perang Arab-Israel, ketersingkiran rakyat Palestina, masalah pendudukan, peran Inggris di masa lalu, dan peran timpang negara Barat terutama Amerika di kemudian hari. Cukup komprehensif untuk anak kelas dua SMP.
ADVERTISEMENT
Saya senang mendengarnya, sepertinya ia cukup mengerti dengan apa yang ia omongkan. Saya bisa mendeteksi kejengkelan ketika ia mengatakan: a holocaust in the making (sebuah pembantaian yang sedang terjadi). Ia tidak merujuk orang Yahudi yang menjadi korban kebijakan kejam Hitler dan NAZI. Tetapi orang Palestina yang menjadi korban kebijakan Israel dan dunia yang abai.
Percakapan itu sudah sembilan tahun yang lalu. Akan menarik untuk berbicara lagi dengannya mengenai Palestina-Israel, terutama setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan untuk mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel. Entah apa yang akan ia katakan.
Mengenai pertanyaan awal apakah Tuhan benar-benar ada, itu kami selesaikan lewat percakapan penuh kasih sayang antara anak dan Bapak. Tak perlu saya ceritakan di sini.
ADVERTISEMENT