Tahun 2020

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
28 Desember 2020 9:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
"Ini self-limiting disease. Penyakit yang akan sembuh sendiri," kata Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto tentang COVID-19 (Corona).
ADVERTISEMENT
"Masker untuk yang sakit. Kalau yang sehat tidak perlu," katanya lagi di lain kesempatan.
Terawan tidak menyangka ketika dengan enteng mengatakan hal tersebut di awal bulan Maret, ia sedang berbicara tentang penyakit yang akan membuat manusia gentar sepanjang tahun. Penyakit yang memaksa manusia menata ulang—setidaknya hingga penangkal dan obat ditemukan—cara mereka bepergian, bersilaturahmi, bekerja, dan segala sesuatu yang terkait dengan kegiatan hidup.
Terawan sekarang mengerti, ia terburu-buru mengeluarkan pernyataan (dan membayarnya dengan dicopot dari posisi sebagai menteri di akhir tahun). Kasus di Indonesia baru satu-dua saat itu. Walau korban mulai berjatuhan di Cina sana, informasi tentang COVID-19 masih sayup-sayup. Para pakar masih belum bisa dengan pasti menjelaskan "binatang" dan perangainya.
ADVERTISEMENT
Seiring COVID-19 menjadi wabah di dunia dan Indonesia—seiring orang paham akan covid 19—seiring pula Terawan hilang dari peredaran. Ia seperti tidak lagi diperbolehkan bicara oleh atasannya. Mungkin untuk mencegah ia mempermalukan diri sendiri. Mungkin untuk mencegah mempermalukan Indonesia lebih lanjut.
Tetapi Terawan bukan satu-satunya yang mengeluarkan pernyataan sembarangan. Dari presiden, sejawat Terawan di kabinet, lembaga penelitian, hingga rakyat biasa melakukan hal yang sama.
Siapa yang bisa melupakan pernyataan akan jamu, jenis makanan tertentu, dan kayu putih yang disebut bisa (membantu) menangkal COVID-19.
Atau pernyataan melucu seorang menteri yang tidak lucu, menyamakan COVID-19 dan istri. "Karena kamu tidak bisa menaklukkan istrimu, kamu belajar untuk hidup dengannya," kata menteri itu.
Atau bagaimana kesimpulan kelompok tertentu di masyarakat menyebut COVID-19 sebagai tentara tuhan. Diturunkan untuk menghukum kelompok manusia tertentu. Juga fatalisme ekstrem yang menjengkelkan, kalau sudah takdir tuhan tak ada yang bisa menolak, que sera sera.
ADVERTISEMENT
COVID-19 seperti menggarisbawahi beberapa karakter bangsa ini: Seenak udel (pusar) mengambil kesimpulan, suka beradu kata (seolah-olah) pintar, peragu dalam bertindak, dan mementingkan wujud ketimbang esensi.
Ketika terbukti COVID-19 sangat berbahaya dan menjadi pandemi, pemerintah tak segera bisa mengambil keputusan untuk bertindak. Berminggu-minggu terombang-ambing dalam pertimbangan apakah harus mendahulukan kepentingan ekonomi atau kesehatan.
Dan ketika betul pemerintah mengambil kebijakan, yang keluar adalah sebuah rimba permainan kata-kata yang membingungkan, multitafsir, sulit dilaksanakan, tetapi kelihatan cerdas: PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Carut-marutnya mudah terlihat ketika di sepanjang tahun masing-masing daerah harus mengeluarkan aturan turunan dengan berbagai istilah yang tak kalah rumitnya: PSBB Transisi, Adaptasi Kebiasaan Baru, Isolasi Mikro Kecil, PSBM (Pembatasan Sosial Berskala Mikro), PSBMK (Pembatasan Sosial Berskala Miko dan Kecil), dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Sepanjang tahun hasil dari kebijakan yang diambil pemerintah dan turunannya hanyalah ada laporan setiap hari pertambahan rutin—yang semakin hari semakin membesar rasionya—mereka yang terkena COVID-19.
Hal yang membuat siapapun terkesima adalah tidak tercermin kegugupan ketika—tidak usah berbicara tentang penurunan dahulu—kurva tidak kunjung melandai. Tidak ada yang mencoba menarik korelasi kemungkinan kegagalan kebijakan pemerintah dengan adanya pertambahan jumlah tertular yang konstan-terus membesar itu. Buktinya, setelah berbulan-bulan kebijakan tidak membuahkan hasil, tidak ada pertanda perubahan kebijakan.
Kebijakan pemerintah terkait penanggulangan COVID-19 terkesan sebagai token—dilakukan agar seolah-olah telah melakukan sesuatu—semata. Sekadar ada wujud kebijakannya tetapi entah esensinya atau ukuran keberhasilannya.
Diadang kebijakan semacam itu, COVID-19 tak perlu berusaha keras untuk melenggang sebar di Indonesia. Semakin hari semakin dekat saja korban yang berjatuhan karena virus ini. Dulu di awal-awal korban sekadar angka. Menjelang akhir tahun korban adalah teman jauh, teman dekat, kenalan, rekan kerja, teman sekolah, handai tolan, keluarga besar, keluarga inti, dan mungkin sebentar lagi kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Memang menjelang akhir tahun ada kabar gembira, vaksin mulai ada dan Indonesia telah ikut mengimpornya. Tetapi masih terselip rasa khawatir akan efektivitas vaksin ini. Seperti dikemukakan oleh para pakar kesehatan, derajat efikasinya belum seperti vaksin flu, vaksin polio, atau vaksin-vaksin untuk penyakit lain.
PR lain masih banyak untuk pemerintah Indonesia: Seberapa banyak nanti vaksin akan tersedia; dari mana biayanya; distribusinya agar merata ke seluruh negeri; prioritas vaksinasi; pemantauan dan pengawasannya; memastikan bahwa segala hal terkait vaksin lagi-lagi bukan sebuah kebijakan yang bersifat token saja.
Tahun 2020 adalah tahun kabisat. Satu hari lebih panjang dari tahun-tahun biasa. Tetapi kalaupun ditambah satu-dua bulan, PR yang banyak itu belum akan terselesaikan. Bahkan tak yakin juga seandainya seluruh tahun 2021 ditambahkan ke 2020.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.