Teenlit dan Kedaulatan Bahasa

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
29 Maret 2021 7:31 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya sering terheran-heran dengan banyaknya buku teenlitteenage literature-buku cerita remaja—yang judulnya menggunakan bahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
Berkali-kali saya "tertipu" ketika melihat-lihat buku dari genre ini di toko buku: Membuka dan menemukan walau judul berbahasa Inggris ceritanya tetap ditulis dalam bahasa Indonesia.
Lalu apa fungsi judul yang berbahasa Inggris itu? Mengapa tidak berbahasa Indonesia saja? Bahkan taburan kata dan istilah berbahasa Inggris dalam buku-buku teenlit menurut saya juga tidak berarti memberi justifikasi untuk memberi judul dalam bahasa Inggris. Apalagi kata dan istilah dalam bahasa Inggris itu masih digunakan dengan logika berbahasa Indonesia. Lebih parah lagi padanan katanya mudah ditemukan dalam bahasa Indonesia.
Kesamaan bahasa kata Steven Pinker dalam The Language Instinct, mengikat anggota sebuah komunitas dalam sebuah jaringan berbagi informasi dengan kekuatan kolektif yang luar biasa kuat. Lewat kesamaan bahasa kita bisa membangkitkan-membentuk-menyampaikan apa yang ada di otak kita ke otak anggota komunitas dengan tingkat presisi yang nyaris sempurna.
ADVERTISEMENT
Bahasa menjadi jejaring yang menjelaskan bagaimana satu komunitas memandang dunia, bereaksi terhadap tantangan sosial-alam, kumpulan pengalaman, menggagas masa depan, bertesis-antitesis-sintesis dalam kehidupan. Karenanya di samping persoalan praktis, bahasa juga persoalan psyche-jiwa kolektif.
Bisa dimengerti kalau penulis terkenal asal Kenya, Ngũgĩ wa Thiong'o, pada suatu saat menyebut mempertahankan bahasa tak ubahnya sebuah perang untuk mempertahankan eksistensi sebuah komunitas. Sebuah badan tanpa roh, begitu kira-kira perumpamaannya untuk sebuah komunitas tanpa bahasa sendiri.
Ngũgĩ mengritik negara-negara Afrika yang setelah berhasil memerdekakan diri dari penjajah Eropa memilih untuk mengadopsi bahasa bekas penjajahnya untuk urusan pendidikan, pemerintahan, hukum, kesusasteraan, ekonomi, dan segala hal yang resmi sifatnya.
Langkah ini menindas dan mengasingkan bahasa lokal di rumahnya sendiri. Menghentikan progresi-evolusi sebuah bahasa untuk terus bisa sejalan dengan perkembangan zaman. Mengutuknya—termasuk psyche kolektifnya—menjadi sebuah artefak arkeologi.
ADVERTISEMENT
Lebih lagi, langkah ini sama saja dengan melestarikan penjajahan karena memaksakan konsep kehidupan, cara berpikir, dan kejiwaan yang bukan milik mereka sendiri. Hanya saja pelaku penjajahan bukan lagi penjajah Eropa melainkan elite lokal yang tentu saja telah "ter-Eropa-kan".
Ngũgĩ yang berulang kali dinyatakan layak untuk mendapat Nobel kesusastraan—ia tak pernah mendapatkannya hingga kini—setelah menulis empat novel pertamanya dalam bahasa Inggris, memutuskan untuk melawan dengan cara hanya menulis dalam bahasa ibunya, Gikuyu, untuk karya-karya berikutnya.
Indonesia termasuk negara yang beruntung untuk urusan ini. Seberapapun ada persoalan propaganda sejarah dalam Sumpah Pemuda 1928—peristiwa kecil yang dibesar-besarkan dan pertemuannya sendiri lebih banyak menggunakan bahasa Belanda, tetapi setidaknya dikemudian hari bisa menjadi titik tolak justifikasi untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks bahasa sebagai wilayah peperangan seperti diistilahkan oleh Ngũgĩ, Indonesia telah menang jauh hari sebelum Indonesia merdeka. Senjata bersama untuk mengungkap segala perasaan kolektif komunitas Indonesia disepakati 17 tahun sebelum merdeka. Sebuah bahasa yang digunakan dan dipahami mayoritas anggota komunitasnya dan bertumbuh-kembang sebagai salah satunya ekspresi perlawanan terhadap penjajah. Bahasa Indonesia ikut memberi demarkasi kami (Indonesia) dan mereka (Belanda) yang tegas.
Saya kira bahasa Indonesia dalam perkembangannya sedikit banyak berperan untuk ikut menjaga keutuhan Indonesia. Begitu besar wilayahnya, begitu banyak perbedaan, dihantam banyak konflik, tak juga negara ini tercerai berai.
Kalau ada common denominator (faktor yang menyatukan) yang paling menonjol apalagi kalau bukan bahasa Indonesia. Ia bukan sekadar jejaring tetapi jaring yang menyatukan itu sendiri. Ia menjadi alat berkeluh kesah sekaligus menjadi penyelesai keluh kesah itu sendiri. Betul-betul menjadi alat untuk berdebat, berbagi dan menyatukan pengalaman, dan menggagas masa depan. Ia menjadi ikatan kekuatan kolektif yang begitu kuat seperti dimaksud Pinker.
ADVERTISEMENT
Kemudian kembali ke teenlit.
Saya mengerti setiap generasi membawa sendiri ide-idenya. Ia anak kandung generasi sebelumnya tetapi belum tentu dipahami oleh generasi yang mengandungnya. Karenanya saya tak berpretensi untuk memahami mereka.
Saya juga mengerti bahwa tentu saja seperti disiratkan oleh Pinker dan Ngũgĩ, bahasa akan terus berkembang seiring dengan zaman dan pengalaman penggunanya. Bahasa Indonesia tak terkecuali. Cara berbahasa, kosakata, tata bahasa antara katakanlah Indonesia 50 tahun lalu dengan sekarang pastilah sudah berbeda.
Tetapi influx (masuk secara besar-besaran) penggunaan istilah dan kata bahasa Inggris—bahkan untuk yang padanan kata bahasa indonesianya sudah ada dan penggunaannya juga lebih pas dalam bahasa Indonesia—seperti banyak di teenlit membuat saya gamang. Sepertinya remaja sekarang sulit untuk mengekspresikan diri tanpa bantuan istilah dan kosakata bahasa asing.
ADVERTISEMENT
Saya juga berpikir bagaimana kalau apa yang terjadi pada teenlit sekadar cermin adanya perubahan dalam berbahasa Indonesia di kalangan remaja. Artinya yang sesungguhnya terjadi lebih parah lagi. Kalau mendengar stasiun-stasiun radio yang populer di kalangan remaja—saya hanya tahu yang ada di Jakarta—sepertinya yang saya pikirkan itu tidak salah-salah amat. Tidak ada dua kalimat yang tanpa istilah asing terselip di dalamnya.
Ekstrapolasikan semua yang terjadi saat ini ke 25 tahun ke depan. Ketika remaja yang sekarang ini nantinya sudah beranak-pinak sendiri. Bayangkan bagaimana mereka berkomunikasi dengan anak mereka. Bayangkan bahasa Indonesia akan seperti apa.
Mungkin kita perlu melahirkan Ngũgĩ-Ngũgĩ versi Indonesia ketika waktu itu nantinya tiba.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan.