Tentang Maaf

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
25 Mei 2020 10:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni—Ya Allah sesungguhnya Engkau maha pemaaf yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah hambaMu ini.
ADVERTISEMENT
Doa yang selalu dibaca berulang-ulang Nabi Muhammad di lailatulqadar—malam yang lebih baik dari seribu bulan—ini bukan sekadar kalimat kepasrahan total seorang hamba kepada yang Maha Kuasa, tetapi maklumat cinta.
Anda tahu, permintaan maaf yang tulus hanya bisa dilakukan berlandas cinta.
Meminta maaf adalah proses penelanjangan diri. Membuka apa yang paling tersembunyi dan dirahasiakan. Hanya cinta yang bisa membuka tabir yang menutupi antara kita yang meminta dan yang memberi.
Ketika mengaku mencintai maka kita melepas ego, gengsi, dan perhitungan-perhitungan rasional. Kehendak kita bahkan sudah bukan kehendak diri kita sendiri tetapi kehendak yang kita cintai.
Karenanya para sufi mendudukkan cinta kepada Tuhan di puncak hakikat sebagai manusia. Jauh di atas menjalankan kewajiban-penghambaan.
ADVERTISEMENT
Sama-sama menjalankan perintah Tuhan dengan alasan kewajiban dan dengan alasan cinta karenanya ada perbedaan.
Dalam kewajiban kita masih diikat sebuah hubungan transaksional. Kita melakukan sesuatu yang diwajibkan karena kita mengharapkan hak-balasan-iming-iming. Atau takut karena konsekuensi ketika tidak menjalankan.
Dalam cinta kita melakukan sesuatu tanpa mengharapkan apa pun juga. Mengakui hak prerogatif Tuhan untuk berbuat apa pun terhadap kita. Mutlak tanpa syarat atas kuasaNya.
Walau Tuhan tidak pernah berpaling ketika manusia menyatakan cintanya. "Kau berjalan mendekatiKu, Aku akan berlari mendekatimu. Sedepa kau mendekat, tiga depa Aku akan mendekat," janjiNya kepada umat manusia.
Rasa cinta Nabi Muhammad kepada kepada sesama manusia juga tidak kurang-kurangnya. Dikenal sebagai seorang yang mengutamakan permaafan, beliau tidak pernah segan untuk meminta maaf.
ADVERTISEMENT
Alkisah ketika ajal semakin mendekat dan tugas kenabian mendekati akhir, beliau mengumpulkan sahabat-sahabatnya.
"Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya aku ini nabi, pemberi nasihat, dan atas izin Allah selalu mengajak kalian untuk mencari ridhaNya. Aku ini bagimu adalah saudara yang penyayang dan bapak yang pengasih. Tetapi barang siapa di antara kalian yang pernah aku sakiti dan teraniaya ketika aku menjalankan tugas ini, bangkitlah dan balaslah aku, sebelum kelak datang pembalasan di hari kiamat," kata beliau.
Sebuah permintaan maaf dari manusia agung yang selalu sangat berhati-hati dalam bertindak dan diyakini segala perbuatannya selalu dalam lindungan Tuhan. Beliau menyingkap tabir antara dirinya dengan umat. Beliau menyerahkan diri untuk ditelanjangi oleh mereka yang status kesempurnaan kemanusiaannya jauh di bawah. Rasa cinta seperti apa lagi yang bisa dituntut dari manusia yang demikian.
ADVERTISEMENT
Semua terdiam. Tak ada yang berucap sepatah kata pun. Bagaimana mungkin seorang nabi yang mulia bersedia merendahkan diri di hadapan mereka untuk diadili.
Tiga kali nabi mengulangi perkataannya.
Tersebutlah seorang sahat bernama Ukasyah Ibnu Muhsin yang memberanikan diri untuk bangkit dan menyatakan apa yang ada di dalam hatinya.
"Aku bersamamu di medan Perang Badar ya Rasulullah. Aku berada di sampingmu saat engkau mencambuk ontamu agar berjalan lebih cepat. Tetapi sebenarnya cambukmu telah mengenai tubuhku. Entah engkau sengaja atau tidak. Kini aku hendak membalasnya ya rasulullah," kata Ukasyah.
Semua sahabat terkejut dan marah dengan pernyataan Ukasyah ini.
Sahabat-sahabat terdekat nabi Muhammad seperti Abu Bakar, Umar bin Khatab, Ali bin Abi Tholib, dan bahkan cucu nabi, Hasan dan Husin, merelakan diri untuk menggantikannya. Tapi nabi menolak dan mengatakan tanggung jawab kesalahan harus dijalani oleh yang melakukannya.
ADVERTISEMENT
Ketika cambuk sudah tersedia dan siap digunakan, Ukasyah masih mempunyai satu permintaan.
"Saat itu aku tidak mengenakan baju ya Rasulullah. Maka bukalah bajumu biar sama rasanya."
Para sahabat seperti tidak percaya dengan permintaan Ukasyah yang dianggap sudah melampui derajat durhaka. Tetapi Rasulullah tidak berkeberatan.
Dan ketika Rasulullah membuka baju, pada saat itulah Ukasyah tiba-tiba menubruk, menangis tersedu-sedu memeluknya.
"Demi Allah aku hanya ingin menyentuh kulit yang api neraka tak hendak menjilatnya. Semoga Allah menjaga diriku pula karenanya," kata Ukasyah.
Peristiwa itu adalah peristiwa ketika maaf dan permaafan tanpa terucap bertemu sempurna. Sebuah gambaran ketika bahkan manusia yang sempurna masih bersedia meminta kepada manusia yang kurang sempurna. Ketika permaafan bisa terjadi dan diberikan oleh manusia yang kurang sempurna kepada yang lebih lebih sempurna.
ADVERTISEMENT
Nabi pun kemudian berkata, "Ketahuilah para sahabat. Jika ingin melihat siapa penduduk surga, lihatlah pribadi Ukasyah ini."
Tidak mengherankan kalau para sufi mengatakan permintaan dan pemberian maaf itu ibarat uar wangi tumbukan bunga. Tepermanai nilainya. Ekspresi cinta yang berbalas.
Karenanya kalau kata maaf jarang terdengar di antara kita sesama manusia, bercurigalah, cinta bisa jadi telah gersang di hati kita semua. Saya tidak berbicara tentang maaf yang ramai di setiap Idul Fitri kita sampaikan. Walau itu sudah lumayan juga sih.
Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir batin.
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan