Thracymachus, Setya Novanto dan Ketololan Kita

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
17 November 2017 16:57 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Thracymachus, Setya Novanto dan Ketololan Kita
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Muak dengan khotbah-khotbah Socrates di sekitar tahun 430 sebelum masehi –hampir 2500 tahun yang lalu-- tentang keadilan yang serba baik dan maslahat buat orang banyak, Thracymachus mendebatnya dan mendefinisikan sendiri kesimpulannya akan keadilan.
ADVERTISEMENT
‘’Keadilan sebenarnya adalah ketidakdilan’’, kata Thracymachus, ‘’tak lebih untuk memberi keuntungan kepada mereka yang kuat.’’
Thracymachus berbicara dalam konteks negara. Ia menjelaskan bahwa keadilan hanya milik mereka yang berkuasa, yang memerintah, yang kuat.
Tidak peduli apakah sistem politiknya demokrasi, aristokrasi, monarki, atau terutama tirani.
Merekalah yang membuat undang-undang dan hukum yang harus dipatuhi oleh rakyat. Tidak harus dipatuhi oleh mereka sendiri.
Karenanya mereka (rakyat) yang patuh dan taat hukum –sadar atau tidak—pada dasarnya sedang melayani kepentingan penguasa. Dan mereka adalah sebodoh-bodohnya manusia.
Mereka (rakyat) sedang ditipu –kasar atau halus—oleh lembaga keadilan yang tak lain dan tak bukan adalah alat eksploitasi penguasa.
Thracymachus mengumpamakan, penguasa itu seperti penggembala. Mereka membuat gemuk hewan piaran agar bisa dijual lebih mahal di pasar. Kalaupun penguasa sepertinya memelihara piarannya dengan baik, tak lain agar dikemudian hari bisa diekspolitir dengan lebih efektif.
ADVERTISEMENT
Mengharapkan keadilan sebagai sebuah kebaikan dan kemaslahatan adalah minimal naïf dan sesungguhnya tolol. Hal yang lebih realistis, masuk akal dan patut dipuji adalah mengakui keadilan sebagai ketidakadilan dan meanfaatkan sebisa mungkin untuk keuntungan sendiri.
Ilustrasi keadilan (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keadilan (Foto: Istimewa)
Ketidakdilan adalah kebenaran. Keadilan adalah ketololan. Itu sebab ketidakadilan ada di mana-mana. Dan mereka yang melakukan ketidakdilan dan tidak tersentuh oleh hukum akan selalu lebih bahagia ketimbang yang sok bersikap adil.
Kira-kira 50 tahun sesudah perdebatan itu, Plato mengabadikannya dalam sebuah karya, The Republic.
Saya tidak tahu apakah para penguasa republik ini membaca karya Plato tersebut. Tetapi sepertinya ada satu dua yang sangat paham dengan prinsip-prinsip atau definisi keadilan (ketidakadilan) versi Thracymachus ini.
Dan saya tidak akan kaget kalau Setya Novanto –apapun anggapan kita dengan tingkat intelejensianya—pernah membaca buku ini. Kalau ia belum pernah membaca, instingnya sungguh luar biasa untuk bisa mengikuti apa yang diungkapkan Thracymascus hingga ke titik akhir.
ADVERTISEMENT
Ia elit dari elitnya perpolitikan (penguasa) di Indonesia. Ia ikut berusaha keras untuk membantu Prabowo Subianto di pemilihan presiden tahun 2014. Dengan taktis ia kemudian beralih mendukung Joko Widodo ketika yang bersangkutan menang dengan cara mengamankan DPR.
Ia berperan mendukung Jusuf Kalla sebagai ketua umum Golkar beberapa tahun lalu. Bukanlah sebuah keberuntungan ketika ia kemudian menjadi ketua partai Golkar hingga sekarang menggantikan Aburizal Bakrie. Jabatan yang membawanya meraih jabatan strategis lain, ketua DPR.
Kasus Cessie Bank Bali dan Papa Minta Saham yang merugikan negara hingga triliunan rupiah mungkin akan mematahkan orang biasa. Tidak dengan Setya Novanto. Ia bisa lolos. Thracymachus pasti akan bangkit dari kubur kalau bisa dan bertepuk tangan.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus terakhir, e-KTP, Setya Novanto tiba-tiba sakit. OK. Setya Novanto mempra-peradilkan (dan menang) status tersangkanya dalam kasus korupsi e-KTP, OK. Setya Novanto tiba-tiba hilang. OK. Setya Novanto mengalami kecelakaan ketika sedang akan ke KPK, OK. Setya Novanto ternyata kembali mempra-peradilkan status tersangkanya dalam korupsi e-KTP beberapa jam sebelum kecelakaan, OK.
Sefantastis atau sekonyol apapun yang ia lakukan, dari yang masuk akal hingga sumir, semua adalah upaya dalam konteks pernyataan Thracymachus akan keadilan yang ketidakadilan itu.
Ini bukan berarti mengatakan bahwa Setya Novanto itu pasti bersalah dalam kasus (Cessie Bank Bali, Papa Minta Saham) e-KTP. Pada akhirnya pengadilanlah yang harus membuktikan.
Sementara untuk kita rakyat biasa yang sedang menyaksikan ini semua, marilah kita jujur dan tidak berapologi: mungkin kita semua ini memang tolol. Kita terus melahirkan pemimpin yang mencoba membuktikan kata Thracymachus benar adanya.
ADVERTISEMENT