Yang Tercenung di Bulan Puasa

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
24 Mei 2017 17:08 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi "Yang Tercenung di Bulan Puasa" (Foto: pixabay.com)
Tahun 2002 adalah tahun pertama anak kami mulai berpuasa. Ia enam tahun saat itu. Kelas satu SD.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya mungkin tidak akan terlalu menjadi pikiran kalau saja kami tinggal di Indonesia. Setidaknya kalau di Indonesia puasa hadir secara natural dalam kehidupan. Ada suasana keseharian dari sekitar yang sangat membantu. Soft landing.
Tetapi apa boleh buat, kami tinggal di London Tenggara. Walau daerah tempat kami tinggal Ramadhan relatif bukan hal yang asing –bahkan Idul Fitri adalah hari libur resmi sekolah bagi kami yang beragama Islam— tetap saja ummat Islam minoritas, dan sedikit yang berpuasa.
Betapa enak andai ada juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) yang bisa kita ikuti dengan pasti cara mengajari anak berpuasa disituasi seperti yang kami hadapi, khayal kami berdua orang tuanya. Tetapi seperti membesarkan dan mendidik anak, juklak dan juknis itu tentu saja tidak ada. Segala sesuatunya serba improvisasi. Serba unik dan tidak bisa diduplikasi.
ADVERTISEMENT
Kami membayangkan betapa akan sulitnya buat anak kami berpuasa di sekolah. Apa yang akan dilakukan ketika masa istirahat? Apa yang akan dilakukan ketika jam makan siang? Cukup punya tenagakah untuk bermain-main dan berkonsentrasi? Bagaimana ia harus menjelaskan ke teman-temannya?
Hanya ada tiga murid beragama Islam di kelasnya. Anak saya. Satu anak keturunan Somalia. Satu lagi blasteran Mesir-Inggris.
Satu-satunya hal yang ada di benak kami waktu itu hanyalah mengajak anak kami berbicara. Mencoba memberi pengertian. Dan hanya menyiapkan beberapa skenario: puasa separuh hari, puasa hingga waktu Asyar tiba, dan puasa sekuatnya saja.
As luck would have it, kata orang Inggris, kemudahan datang tak tersangka. Ketika tiba saatnya kami berbicara dengan anak mengenai keharusan berpuasa, kami mendapat jawaban yang tak terduga: ‘’Tentu saja.’’ Sesederhana itu. Tak ada pertanyaan mengapa. Tak ada keberatan.
ADVERTISEMENT
Kami sungguh lega. Saking leganya kami malah merasa harus mengajukan tiga skenario yang kami bayangkan sebelumnya. Mungkin didorong rasa sayang ke anak semata wayang dan bayangan akan apa yang harus ia jalani.
Ia hanya menjawab: ‘’Nggak apa-apa Bapak. Aku puasa penuh.’’
Kemudahan yang tak tersangka lainnya adalah bulan puasa tahun itu jatuh di awal bulan November. Bulan peralihan musim gugur ke musim dingin. Matahari ada di belahan bumi selatan. Hari lebih pendek bagi bumi sebelah utara.
Masa puasa yang harus kami jalani tak terlalu panjang. Hanya sekitar 11 jam. Subuh sekitar pukul 05.00 sementara Maghrib sekitar 16.30. Ditambah udara yang sejuk, sungguh puasa terasa lewat begitu saja.
Praktis hingga dia berumur 12 tahun –dengan hanya maju 10 hari setiap tahunnya-- puasa yang kami jalani rentang waktunya tidak ada yang panjang. Betul-betul memudahkan.
ADVERTISEMENT
Yang tak kalah membantu tentu saja kebijakan sekolah anak saya. Beberapa hari sebelum Ramadhan tiba, kami orang tua murid yang beragama Islam diundang untuk berbicara di depan anak-anak kelas satu.
Bercerita tentang Islam secara umum dan kewajiban yang harus dijalankan mereka yang beragama Islam selama puasa. Tugas itu tentu dengan sukarela kami wakilkan kepada orang Inggris asli yang beragama Islam, orang tua teman satu kelas anak kami.
Rupanya itu kebijakan sekolah setiap tahun. Sehingga setiap Ramadhan tiba, pihak sekolah—dari staf hingga murid—tahu apa yang terjadi.
Kami sangat bersyukur dengan soft landing anak kami di awal-awal menjalani puasa di lingkungan yang bukan muslim. Sekarang ia sudah akil balik dan hampir menyelesaikan kuliahnya.
ADVERTISEMENT
Ia tinggal sendiri di London sekarang setelah kami memutuskan untuk pulang ke Indonesia tiga tahun lalu. Setiap puasa, sejak kami pulang, ia selalu memilih untuk pulang dan berpuasa di Indonesia. Sangat menyenangkan puasa di Indonesia, begitu alasannya. Dan ia juga suka suasana lebarannya.
Tahun ini jauh-jauh hari ia sudah berkabar tidak mungkin pulang. Terlalu mepet dengan jadwal ujian akhir, mencari pekerjaan, dan wisuda. Ia terpaksa harus berpuasa di London. Puasa panjang dengan rentang sekitar 18 jam.
Belum lama lalu seperti biasa kami berskypean. Ibunya bertanya dengan nada prihatin akan puasa yang 18 jam itu. Si anak hanya tertawa dan menjawab, ‘’Berat tapi ya jalani saja.’’
Saya iseng bertanya, ‘’Kok kamu gampang saja puasa sejak kecil, Nak?’’ Seingat saya ia memang belum pernah putus sejak mulai berpuasa hingga sekarang. Apapun situasinya.
ADVERTISEMENT
‘’Rasanya natural untuk berpuasa. Karena kalian melakukannya. Aku hanya meniru kalian,’’ jawabnya.
Di situ saya seperti diingatkan: anak belajar, meniru, dan mencontoh tingkah laku dan perbuatan orang tuanya.
Di situ saya kemudian berharap: semoga selama ini kami sebagai orang tua telah berperi laku dan berbuat baik yang layak tiru.
Di situ saya tercenung: mencoba mengingat perjalanan hidup yang sudah lumayan panjang ini.