Vandalisme, Menguntungkan Publik atau Merugikan?

yusuf bilal
mahasiswa UIN Jakarta
Konten dari Pengguna
25 Oktober 2020 19:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari yusuf bilal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 8 Oktober lalu, terjadi aksi demonstrasi penolakan terhadap pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja. Aksi demonstrasi tersebut berlangsung serentak diberbagai kota di Indonesia dan diikuti oleh mahasiswa dan buruh. Pasca berlangsungnya demontrasi, terjadi pengerusakan fasilitas umum seperti pembakaran halte, pengerusakan pagar DPRD, dan graffiti di berbagai fasilitas umum.
ADVERTISEMENT
Halte Transjakarta Bundaran HI terbakar saat unjuk rasa menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja di kawasan Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, Kamis (8/10/2020). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww. /Dhemas Reviyanto
Ada beberapa dugaan bahwa vandalisme itu mungkin dilakukan oleh petugas polisi yang menyamar sebagai demonstran, sehingga menjadi alasan bagi penegak hukum untuk menghentikan aksi. Selain itu ada dugaan lain mungkin aksi vandalisme tersebut dilakukan oleh sekolompok yang menyamar menjadi pengunjuk rasa, bertujuan untuk memperburuk citra demonstran di mata publik.
Berbagai respon muncul sebagai tanggapan atas kejadian tersebut, beberapa pihak percaya bahwa aksi pengerusakan dilakukan oleh demonstran sementara yang lainnya percaya bahwa aksi tersebut dilakukan oleh oknum yang dibayar. Atas alasan apapun, sebenarnya apakah vandalisme dapat digunakan sebagai media demontrasi?
Secara pribadi, penulis tidak mendukung seluruh bentuk kegiatan yang bersifat merusak fasilitas umum dan berpendapat bahwa aksi pengerusakan seperti itu malah tidak efektif dan merugikan berbagai pihak terkhusus publik yang ingin diwakilkan oleh demonstran. Mengapa demikian?
ADVERTISEMENT
Pertama-tama tujuan pengerusakan fasilitas umum tersebut ialah untuk mencari perhatian terhadap publik dan melampiaskan kekesalan, kekecewaan, dan amarah terhadap pemerintahan yang berlangsung.
Dengan melakukan pengerusakan mereka berharap publik berpihak kepada mereka dan mendukung apa yang mereka lakukan padahal, hal ini malah berakibat counter-productive karena malah menimbulkan keresahan dan menggangu ketertiban umum. Hal ini tentu saja bertentangan dengan tujuan awalnya untuk mempengaruhi publik agar lebih condong kepada sisi yang dipilihnya. Lalu apakah tujuan pelaku vandalisme tercapai?
Tentu saja tidak karena sebenarnya dari awal pola yang ditunjukkan oleh pemerintahan dalam menangani aksi demonstrasi yang melakukan vandalisme bukanlah mencari substansi yang menyebabkan pengerusakan tersebut melainkan menangkap para pelaku pengerusakan.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan: terlepas dari makna simbolisnya, apakah tindakan vandalisme kecil memiliki efek material atau menimbulkan kerugian serius bagi publik?. Jawabannya, jelas.
Sementara fasilitas publik yang sudah dirusak harus kembali diperbaiki menggunakan uang rakyat yang seharusnya dapat digunakan untuk kepentingan lain. Selain kerugian materil tersebut publik juga menjadi rugi karena menunggu waktu perbaikan fasilitas publik tersebut.
Coretan vandalisme pada dinding gudang keramik di Kawasan Kota Tua Indramayu di Blok Sekober, Selasa (13/10/2020). https://cirebon.tribunnews.com/2020/10/13/kawasan-kota-tua-indramayu-jadi-sasaran-vandalisme-tolak-uu-cipta-kerja-oleh-orang-tak-dikenal. Penulis: Handhika RahmanEditor: Mutiara Suci Erlanti
Dibandingkan dengan apa yang didapatkan setelah melakukan pengerusakan publik hasil yang diapatkan oleh pelaku sebenarnya tidaklah setara malah lebih merugikan publik dan dirinya karena bagi pelaku yang tertangkap dapat dijerat dengan undang-undang yang berujung pada denda atau bahkan penjara
Misalnya seorang mahasiswa melakukan pengerusakan pada fasilitas publik seperti halte busway, lalu tertangkap oleh polisi. Beberapa bagian dari publik mungkin menaruh empati karena melihat tujuan demonstrasi yang diingkan oleh mahasiswa tersebut.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi bagaimana dengan bagian lain dari publik yang malah merasa tindakan demonstrasi tersebut malah terkesan anarkis dan menggangu. Mereka malah menjadi anti terhadap aksi-aksi yang dilakukan demonstran padahal sebenarnya kegiatan vandalisme tersebut hanya dilakukan oleh segelintir orang dalam aksi tersebut. Bahkan mungkin saja ada beberapa orang didalam demonstrasi tersebut yang sangat menentang pengerusakan yang dilakukan.
Belum lagi sang mahasiswa terancam masa depannya karena kemungkinan di DO dari kampus atau bahkan dipenjara karena hal tersebut. Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa seharusnya aksi demonstrasi dilakukan dengan aman dan damai tanpa ada unsur vandalisme.
Malah seharusnya demonstran lebih cerdas lagi dalam mengatasi permasalah mengenai pemerintahan tersebut, seperti dengan mengkampanyekan untuk tidak memilih tokoh-tokoh yang mendukung pengesahan UU Cipta Kerja tersebut dibandingkan merusak fasilitas umum yang dampaknya paling dirasakan oleh publik dan bukan yang sebenarnya mereka tuju (red:politisi).
ADVERTISEMENT