Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Mengenal Guru Mansur
2 April 2022 12:21 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Tulisan kemarin saya menjelaskan mengapa saya dan keluarga besar Daarul Qur’an menetapkan 1 Ramadan 1443 H jatuh pada tanggal 2 April 2022. Penetapan yang gak sekedar ikut-ikutan. Juga penetepan yang bukan sekedar asal beda. Tapi ada dasarnya. Nah, saya menyinggung sosok Guru Mansur, kakek buyut saya, yang menulis kitab Sulamun Nairain yang menjadi dasar penetapan awal bulan Ramadan di keluarga besar Daarul Qur’an. Nah, sekarang saya mau cerita dikit sosok Guru Mansur.
ADVERTISEMENT
Guru Mansur semasa hidupnya, ngitung soal waktu. Subhanallah banget, deh. Beliau menghitung gerhana bulan, gerhana matahari, yang terjadi semasa hidupnya dan presisi. Mulai dari menit, detiknya, tanggal kejadiannya, pagi, siang, sore atau malamnya.
Padahal gak pakai teknologi dan belum ada teknologi canggih waktu itu. Ngitung-ngitung aja. Di rumahnya, di kamarnya, di rumahnya yang ada di Kampung Sawah. Pada akhirnya beliau juga mendirikan madrasah Al-Mansuriyah.
Ijtima’ berdasarkan perhitungan Guru Mansur dalam Kitab Sullamun Nairain ini terjadi sebelum matahari tenggelam atau biasa disebut Qoblal Ghurub. Ijtima’ adalah pertemuan anatara pusat bumi, bulan, dan matahari yang terletak pada satu garis bidang.
Ijtima’ Qoblal Ghurub adalah bilamana posisi tersebut terjadi sesaat sebelum matahari tenggelam, maka saat matahari tenggelam sduah memasuki bulan yang baru. Bagaimana jika terjadi sebaliknya? Maka disempurnakanlah bulan tersebut menjadi 30 hari.
ADVERTISEMENT
Dan perhitungan ini sedikit banyaknya juga membantu dalam menetapkan waktu sholat. Walaupun tredapat perbedaan terhadap fikihnya, tapi ini tetap menjadi khazanah islam atau kekayaan intelektual islam. Kitab ini juga diajarkan di berbagai pondok salaf juga menjadi rujukan dalam perhitungan-perhitungan waktu.
Guru Mansur dikenal sebagai Paku Jakarta, nancep hingga inti bumi Jakarta. Lahir di Kampung Sawah, Jembatan Lima, tahun 1878 M, Guru Mansur juga ketuunan seorang Tumenggung Mataram yakni Pangeran Cakra Jaya. Jadi darah biru mengalir dalam diri beliau. Sementara itu ibunya Hj Rofi`ah binti H Margan.
Nah saya sendiri adalah cicit beliau. Ibu saya cucunya. Guru Mansur punya 3 anak yang umurnya panjang, Guru Emang, Guru Mami, dan Guru Iyo. Guru Iyo, yang bontot, punya putri 2, Umi Nuni dan Umi Uum. Nah, Umi Uum itu, ibu saya. Intinya saya Cuma mau bilang, saya ini juga keturunan darah biru. Hehehe…
ADVERTISEMENT
Bapak beliau, H. Abdul Hamid bin Imam Damiri bin Imam Habib bin Abdul Muhit bin Pangeran Cakra Jaya. Dari kecil bapaknyalah yang ngajarin agama sama Guru Mansur.
Guru Mansur Ngaji ke banyak alim ulama sesepuh di Jakarta seperti Guru H Mujtaba bin Ahmad, Jatinegara. Kemudian beliau pindah ke Mekkah, saat usia 16 tahuhn, kemudian menetap 4 tahun di sana.
Guru ngaji beliau syekh-syekh yang gak cuma kesohor dalam negeri, tapi juga internasional. Syekh Said Al-Yamani, Syekh Mukhtar Atharid Al-Bogori, Syekh Ali Al-Maliki, Syekh Umar Sumbawa, dan Syekh Umar Bajunaid Al-Hadhrami.
Nama-namanya gak asing ya? Iya bener, ulama-ulama gurunya Guru Mansur juga banyak yang berasal dari Indonesia, kemudian jadi ulama besar di tanah suci. Masya Allah.
ADVERTISEMENT
Guru Mansur juga seangkatan sama teman-temannya yang akhirnya jadi ulama besar juga di Indonesia. Seperti pendiri NU Hadhratus Syekh KH M Hasyim Asy‘ari, KHR Asnawi Kudus, dan Syekh Mahfud Tremas.
Guru Mansur belajar Ilmu Falak kepada Syekh Abdurrahman Al-Mashri. Sementara murid-murid beliau yang juga menjadi ulama besar antara lain Mu`allim Rojiun Pekojan, KH Firdaus (mendalami ilmu falak darinya dan kemudian diangkat menjadi mantu), Syekh KH Muhadjirin Amsar Ad-Dary (ahli falak dari Bekasi), Mu`allim Rasyid (KH Abdul Rasyid, Tugu Selatan, Jakarta Utara), Muallim KH M. Syafi`i Hadzami, dan KH. Abdul Khoir (Krendang, Jakarta Barat).
Berdasarkan Kitab Sullamun Nairain itu juga akhirnya cucu beliau, artinya bisa dibilang uwak saya, KH Ahmadi Muhammad, menyusun kalender hisab Al-Manshuriyah. Sampai sekarang kalender tersebut tetap eksis. Dan kami-kami di Daarul Qur’an juga menggunakan acuan tersebut untuk menetapkan Ramadan tahun ini, 2022.
ADVERTISEMENT
Tapi, gak cuma kitab Sullamuun Nairain aja, karena beliau sudah menulis 19 kitab berbahasa Arab. Kebanyakan tentang Ilmu Falak. Kenudian ada juga yang membahasa Nahwu, puasa, dan waris.
Guru Mansur banyak mengajar di Masjid Al-Mansur, Jembatan Lima, dekat kediaman beliau. Masjid tersebut didirikan oleh Raden Abdul Mihit tahun 1717 M. Ayah Guru Mansur, Mohammad Mansur, adalah cucu Raden Abdul Mihit. Sementara Raden Abdul Mihit adalah Putra Pangeran Cakrajaya.
Izin Allah tahun 2021 kemarin, Masjid Al-Mansur yang berati usianya sudah 300 tahun diubah statusnya menjadi cagar budaya oleh pemprov DKI Jakarta. Waktu itu lagi direnovasi dan akan diluaskan lahannya, terutama tempat-tempat bersejarahnya juga akan jadi lebih fresh.
Saya datang di peresmian tersebut, bersama Pak Gub Anies Baswedan yang ngeresmiin langsung.
Masjid ini juga menjadi sejarah Guru Mansur bikin Belanda ketar-ketir saat masa perjuangan. Di tahun 1948, Guru Mansur dengan pedenya memasang bendera merah putih di Menara masjid. Batavia atau Jakarta yang kala itu dikuasai lagi oleh Belanda bereaksi. Mereka marah tentunya, tapi Guru Mansur tak bergeming.
ADVERTISEMENT
Seruan beliau yang melegenda “Betawi, Rempuglah!” kembali menggema. Masyarakat juga bereaksi karena Guru Mansur ditahan. Belanda mikir-mikir lagi kalau mau berbuat lebih jauh karena bisa jadi persatuan masyarakat Betawi itu jadi ancaman besar buat mereka.
Jauh sebelumnya, di tahun 1925, Guru Mansur mimpin perlawanan terhadap percobaan pembongkaran Masjid Cikini oleh Pemerintah kolonial yang masih berkuasa penuh. Karena intensnya perjuangan beliau bersama tokoh pahlawan dan ulama kala itu, akhirnya gak jadi dibongkar.
Guru Mansur pernah jadi Rais Syuriah NU di Batavia dan mengikuti Muktamar NU ke-3 di Surabaya pada 1928. Kemudian mendirikan madrasah NU pada 1930. Tahun 1951, nama madrasahnya diganti menjadi Chairiyah Mansuriyah. Sampai sekarang masih ada.
Tanggal 12 Mei 1967 atau setengah abad silam, Guru Mansur wafat di usia 88 tahun. Dan dikebumikan di kompleks Masjid Al-Mansur. Bagi yang berkesempatan berziarah, jangan lupa doain juga beliau beserta keturunan-keturunannya dari atas samapai bawah hingga akhir zaman.
ADVERTISEMENT
Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wafu’anhu.