Meraih Ketenteraman Hati

Yusuf Mansur
Pendiri Pondok Pesantren Tahfizh Daarul Quran
Konten dari Pengguna
16 Mei 2019 14:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Mansur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa kesempatan sering jemaah bertanya, bagaimana meraih ketenteraman hati agar jiwa tidak mengandung kegelisahan dan ketidaktenangan? Nyaman dalam mengarungi kehidupan dan jauh dari permasalahan-permasalahan yang membawa pada stres yang berkepanjangan.
Ilustrasi mendekatkan diri pada Allah SWT. Foto: Pixabay
Banyak yang berpikir kita akan menjadi tenang jika sudah bergelimang materi alias kaya. Tapi lihat deh, banyak juga mereka yang kaya dan hidupnya masih tidak tenang. Sebaliknya, banyak mereka yang kita bilang miskin tapi hidupnya penuh dengan senyum dan tenang-tenang saja. Jadi masalahnya bukan soal banyak dan sedikit harta yang kita punya.
Kalau ia meraih kekayaan dengan cara-cara yang membuat Tuhan ‘senang’, lantas ia menggunakan kekayaannya itu juga di jalan-jalan yang tidak diharamkan Allah, maka bisa dipastikan ketenangan akan dihadirkan dalam genggaman kekayaannya itu. Apalagi kalau ia terus ingat kepada sesama dan mempergunakan kekayaannya itu untuk peduli dan perhatian kepada mereka yang membutuhkan.
ADVERTISEMENT
Kekayaan yang tidak membawa ketenangan adalah ketika kekayaan itu dihasilkan lewat cara-cara yang membuat ‘kehidupan siangnya menjadi gelap’, dan ‘kelapangan dunia menjadi sempit’.
Atau bisa juga begini, cara ia mendapatkan kekayaan benar, tapi ia melupakan masyarakat sekitar yang butuh tetesan rezekinya. Ia nikmati kekayaannya dalam kesendirian. Ia membangun rumah dengan mewah, pagi ia panaskan mobil, keluar tanpa menoleh kiri kanan, malam pulang selalu dengan belanjaan yang memenuhi sudut-sudut rumah, masakan nan lezat beraroma hingga ke luar rumah.
Sementara ada banyak tetangganya yang sedang menangis kelaparan atau sedang merintih menahan sakit, tidak ia pedulikan. Yang demikian ini adalah tinggal menunggu hak pakai atas kekayaannya itu dicabut Allah.
Kemudian atas seseorang yang miskin. Bila ia tidak menerima kemiskinannya itu sebagai sebuah sejarah yang harus dilaluinya, alias tidak ada penerimaan, maka bisa jadi sudah mah miskin, ketenangan juga akan menjauh dari kehidupannya. Ia berontak dengan kemiskinannya. Ia gelisah dengan kemiskinannya. Ia akhirnya tertimpa penderitaan ganda, miskin dunia dan sempit hati. Apalagi jika ia kemudian mengambil jalan-jalan yang tidak disukai Allah untuk mengatasi kemiskinannya itu.
ADVERTISEMENT
Kemiskinan akan menjadi hal yang membawa kepada ketenangan juga bila ia dijalani dengan penuh penerimaan dan kesabaran. Hidup boleh miskin, tapi hati tetap kaya. Hidup boleh miskin, tapi kemiskinan tidak menjadikan ia menghalalkan segala cara. Maka yang demikian, ketenangan akan dihadirkan oleh Allah di atas kehidupannya meski ia miskin dunia.
Tentu saja, ketenangan yang didapat ketika kita menggenggam dunia akan jauh lebih nikmat daripada ketika kita berada dalam kemiskinan.
Untuk itu, seorang muslim harus menjadi yang terdepan. Ya kaya, ya bermanfaat. Ya kaya, ya tetap ibadah. Ya kaya, ya tenang. Jalannya apa dan bagaimana? Jalannya adalah lebih rajin berusaha, sambil terus mendekati Allah. Jangan lupa meniti jalan-Nya yang benar. Dan kalau sudah kaya, jangan lupa kepada mereka yang susah. Insya Allah, kehidupan kita akan diubah oleh-Nya.
ADVERTISEMENT
Jadi, bukan pada kekayaan dan kemiskinan itu ketenangan berada. Layaklah kita bertanya kepada diri kita sekarang, sudahkah kita mengenal Allah dengan begitu dekatnya? Sudahkah kita mengetahui keberadaan-Nya dengan segala kemahakuasaan-Nya? Sehingga mengantarkan kita kepada kesejatian ketenangan?
Alâ bi dzikrillâhi tath-mainnul qulûb, ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati kita menjadi tenang. Ingatlah, hanya dengan berdzikir, hati kita menjadi tenteram.