Ilustrasi perempuan dalam politik

Sebagai Perempuan Saya Tanya, di Mana Letak Keadilan Pemilu Tahun Ini?

Yuviniar Ekawati
Seorang penulis lepas
7 Februari 2024 12:55 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kurang dari sepuluh hari lagi pergelaran pentas politik di negeri kita dilaksanakan, tapi pemilihan umum legislatif 2024 ini pantas untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya karena telah melanggar dan mencabut hak-hak perempuan. Sebagai warga negara, kita berhak mempertanyakan komitmen komisi pemilihan umum (KPU) dan partai-partai politik di Indonesia dalam keberpihakannya kepada kelompok perempuan dan upayanya terhadap kesetaraan gender di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kita juga berhak untuk menagih tanggung jawab atas nasib perempuan dan kelompok rentan pada tahun-tahun ke depan akibat dari dampak pelanggaran yang KPU dan partai-partai politik telah lakukan.
Hampir semua partai politik peserta pemilu tidak mencapai syarat paling sedikit 30 persen kandidat perempuan dalam daftar pencalonan. Keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen itu pun bahkan seharusnya terpenuhi pada setiap daerah pemilihan (dapil), bukan akumulasi total secara nasional. Namun, hanya satu partai yang mencapai 30 persen kandidat perempuan dalam daftar pencalonan yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Diskusi media terkait suara caleg perempuan di Bawaslu, Rabu (24/4). Foto: Ricky Febrian/kumparan
Hal tersebut jelas berpotensi dalam mundurnya tingkat kesetaraan gender di Indonesia. Hingga kini perempuan masih sulit untuk naik ke gelanggang politik praktis di Indonesia dan menjadi wakil bagi rakyat. KPU melanggar dan mengabaikan hak perempuan yang sudah diatur dalam undang-undang. Partai-partai di Indonesia juga tidak menunjukkan komitmen pada isu kesetaraan gender dengan tidak memberikan hak yang pantas untuk perempuan maju sebagai wakil rakyat.
ADVERTISEMENT
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), yang salah satu peran utamanya adalah mengawasi seluruh pelaksanaan tahapan penyelenggaraan pemilu dan menangani pelanggaran yang terjadi membuat putusan atas Perkara Pelanggaran Administratif Pemilu (PAP) No.010/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/XI/2023. Isinya adalah menyimpulkan bahwa KPU secara sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran administratif Pemilihan Umum 2024. Hal ini terbukti dalam daftar calon tetap (DCT) anggota DPR RI dari 17 partai politik yang jumlah calon legislatif perempuannya di bawah 30 persen.
Pelanggaran ini adalah bukti bahwa KPU tidak menegakkan dan telah melanggar Pasal 245 UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang di dalamnya mengatur ketentuan pengajuan daftar calon yang seharusnya memberikan ruang kepada perempuan setidaknya sebanyak 30 persen.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, KPU tidak merevisi DCT. Ketua KPU menyampaikan bahwa tidak ada sanksi bagi partai politik yang mengajukan calon legislatif perempuan dengan kuantitas kurang dari 30 persen.
"Intinya di dalam Undang-Undang (nomor 7 tahun 2017 tentang) Pemilu tidak ada sanksi kalau misalnya ada partai politik yang mencalonkan dengan keterwakilan perempuan kurang dari 30 persen. Sepanjang yang saya ketahui, di UU Pemilu tidak ada sanksi," kata Ketua KPU, Hasyim Asy’ari, di Kantor KPU, Jakarta, November akhir tahun lalu.
Pada 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan sex ratio penduduk Indonesia sebesar 102,09 yang artinya terdapat 102,09 laki-laki untuk setiap 100 penduduk perempuan di Indonesia. Jumlah penduduk laki-laki di Indonesia diperkirakan sebanyak 140,8 juta jiwa sedangkan jumlah penduduk perempuan sebanyak 137,9 juta jiwa pada tahun lalu. Besarnya populasi perempuan sayangnya tidak dibarengi dengan besarnya representasi perempuan dalam parlemen.
ADVERTISEMENT
Dengan rasio jenis kelamin tersebut, tak berlebihan bukan jika kita membutuhkan keterwakilan perempuan sebesar 30 persen. Gap antara jumlah penduduk perempuan dan laki-laki di Indonesia tidak jauh, lalu bagaimana negara kita dapat menjamin bahwa kebutuhan perempuan terpenuhi? Saya percaya, pihak yang paling mengerti hidup perempuan adalah perempuan itu sendiri. Segala pengalaman yang ia alami, pengalaman ketertindasan baik itu secara ekonomi-politik, sosial dan budaya hingga pengalaman ketubuhannya yang paling mengetahui adalah perempuan itu sendiri. Maka, perspektif perempuan dibutuhkan untuk dapat menyejahterakan populasi perempuan di Indonesia.
United Nations Development Programme (UNDP) dan UN Women mendorong kepada negara-negara untuk ikut mendukung New Elections Law yang mewajibkan kuota gender partai sebesar 30 persen untuk pendaftaran kandidat partai politik. United Nations menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen ini akan membawa perubahan dan dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik.
ADVERTISEMENT
Besarnya Batu Sandungan Perempuan Naik ke Gelanggang Politik
Ilustrasi perempuan dalam politik. Foto: Roman Samborskyi/Shutterstock
Dalam Gender Social Norms Index (GSNI) yang mengalami pembaruan pada 2023, ditemukan ada hambatan signifikan yang dihadapi oleh para perempuan dan anak perempuan dalam mewujudkan potensi diri mereka. Penghambat tersebut sebagian besar disebabkan oleh norma-norma sosial yang tidak adil kepada perempuan yang sudah mengakar kuat. Seperti contoh adalah bahwa perempuan dianggap tidak kompeten sebagai pemimpin. Hampir separuh penduduk dunia percaya bahwa laki-laki bisa menjadi pemimpin politik yang lebih baik dibandingkan perempuan.
Stereotip di atas tentu telah menciptakan hambatan bagi perempuan untuk dapat berpartisipasi secara setara di lembaga-lembaga pemerintah. Satu suara dengan hal di atas. Komisioner Komnas Perempuan, Olivia Chadidjah mengungkap kepada Kumparan bahwa untuk naik ke gelanggang perpolitikan Indonesia, perempuan masih menghadapi penolakan dan hambatan sosial.
ADVERTISEMENT
"Seperti intimidasi, pencurian suara, penyerangan seksual, pemecatan terhadap caleg perempuan terpilih, dan penolakan karena jenis kelamin," terang Olivia Chadidjah.
Padahal UNDP menyatakan bahwa partisipasi politik perempuan yang lebih tinggi ternyata baik untuk iklim keamanan dunia kita. Partisipasi perempuan yang tinggi justru berkaitan dengan rendahnya risiko terjadinya perang saudara dan berkurangnya kemungkinan terjadinya kekerasan politik yang dilakukan oleh negara. Dengan tingginya keterwakilan perempuan sebagai pemimpin, UNDP mengungkapkan bahwa hal tersebut berelasi dengan lebih sedikit pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan dan pemenjaraan politik.
Selain itu, UNDP juga menyatakan bahwa kepemimpinan di bawah perempuan lebih transparan dan bertanggung jawab. Hal ini dikarenakan ketika perempuan terpilih untuk menduduki jabatan politik, kemungkinan besar mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh konstituennya sehingga menghasilkan pemerintahan yang lebih responsif dan transparan.
ADVERTISEMENT
Kepemimpinan perempuan terbukti berdampak karena perempuan lebih peka terhadap isu-isu gender yang berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat seperti pada isu kekerasan dalam rumah tangga, hak-hak reproduksi, kesetaraan upah, hingga hak-hak kelompok marginal.
Pengabaian Suara Perempuan adalah Pengabaian pada Kelompok Rentan
Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Titi Eko Rahayu, pada akhir Januari lalu mengatakan bahwa perempuan sendirilah yang bisa mengetahui persoalan dan solusi yang dihadapinya sendiri, termasuk soal hak-hak kelompok rentan, seperti perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan lansia.
Mengabaikan suara perempuan nyatanya sama dengan mengabaikan suara rentan karena perempuan adalah pihak yang paling berperan di masyarakat kita dalam tugas-tegas perawatan dan pengasuhan. Perempuan yang dibebankan kepada tugas-tugas ini tanpa kompensasi dan perlindungan yang jelas harus menelan pil pahit ketika ada aturan-aturan yang diskriminatif kepada kelompok rentan terjadi.
ADVERTISEMENT
Maka, keterwakilan perempuan bukan hanya sebagai penambah representasi semata, keterwakilan perempuan berfungsi untuk meningkatkan perspektif perempuan dan berbagai kelompok rentan yang seringkali terabaikan pada kebijakan kita. Perspektif perempuan berfungsi agar suara perempuan dan kelompok rentan lebih didengar dan dipertimbangkan.
Keterwakilan dan Keberpihakan pada Isu Perempuan
Ilustrasi perempuan dalam politik. Foto: Roman Samborskyi/Shutterstock
Isu-isu yang mewakili perempuan seringkali dikesampingkan karena tidak banyaknya suara perempuan dalam parlemen. Hal itu telah menghambat tercapainya kesejahteraan perempuan di Indonesia. Sebelum disahkan, RUU TPKS sempat lama diabaikan, yakni terhitung selama enam tahun sejak 2016. Banyak korban kekerasan seksual yang adalah perempuan mendapatkan kesulitan untuk dapat mengurus kasusnya. Sebagai penyintas kekerasan seksual pada tahun 2019, saya juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan keadilan karena tidak ada payung hukum yang memadai saat itu.
ADVERTISEMENT
Dengan disahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), ada banyak dampak signifikan terjadi. Sebagai contoh, Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di berbagai perguruan tinggi hadir sebagai bentuk komitmen dalam memberantas kekerasan seksual dan memberikan perlindungan kepada korban. UU TPKS hadir dan berdampak kepada hidup perempuan dan kelompok rentan dikarenakan isinya yang meliputi pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban hingga mengatur tentang penanganan selama proses hukum.
Perjuangan untuk mencapai kesejahteraan hidup perempuan jelas tidak berhenti hanya dengan disahkannya UU TPKS. Sudah hampir 20 tahun RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) digantung, tak juga kunjung disahkan. Padahal pekerja rumah tangga yang sebagian besar perempuan membutuhkannya agar ada perlindungan hukum dari negara.
ADVERTISEMENT
Komnas Perempuan dalam rilisan persnya, mendorong untuk disahkannya RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) untuk pemenuhan hak maternitas guna tercapainya kesetaraan dan keadilan gender dalam rumah tangga dan dunia kerja bagi perempuan. Dalam RUU KIA ini terdapat usulan cuti hamil dan melahirkan selama enam bulan sebagai bagian dari upaya menguatkan hak maternitas perempuan.
Mundurnya terus menerus RUU yang berpihak dan dapat memayungi kebutuhan perempuan akan terus membuat tercapainya kesejahteraan perempuan mundur. Terlebih dalam aplikasinya dibutuhkan waktu adaptasi yang panjang agar bisa berjalan secara optimal.
Perjalanan perempuan dalam mencapai haknya dalam gelanggang politik di Indonesia masih sangat jauh dengan tidak adanya komitmen KPU dan partai-partai politik di Indonesia saat ini. Tidak berlebihan bukan jika saya menyatakan bahwa saya mempertanyakan keadilan pemilu tahun ini? Dan, tidak berlebihan bukan jika saya mempertanyakan nasib dan kesejahteraan para perempuan pada tahun-tahun ke depan akibat hal ini?
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten