Pekerjaan Rumah Dewan Pers Kala Pers Selingkuh dengan Politik

Zackir L Makmur
Pemerhati masalah sosial budaya, menulis beberapa buku fiksi dan non fiksi, dan bergiat di IKAL Strategic Center (ISC).
Konten dari Pengguna
20 Januari 2023 13:48 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zackir L Makmur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ninik Rahayu terpilih sebagai Ketua Dewan Pers menggantikan (alm) Azyumardi Azra dalam rapat pleno, Jumat (13/1/2023). Foto: Dok. Dewan Pers
zoom-in-whitePerbesar
Ninik Rahayu terpilih sebagai Ketua Dewan Pers menggantikan (alm) Azyumardi Azra dalam rapat pleno, Jumat (13/1/2023). Foto: Dok. Dewan Pers
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dr. Ninik Rahayu, SH, MS, terpilih sebagai Ketua Dewan Pers periode 2022-2025. Intelektual dan pemikir dari IKAL Strategic Center (ISC) mengisi posisi Ketua Dewan Pers yang kosong sejak Prof Azyumardi Azra meninggal dunia pada 18 September 2022.
ADVERTISEMENT
Di tahun politik ini Dewan Pers dipimpin oleh perempuan. Sejumlah pekerjaan rumah Dewan Pers, antara lain arus deras kepentingan politik yang merambah dunia pers serta oligarki media yang lihai berkelit, menjadi tantangan terberat terhadap konstelasi kemerdekaan pers dan profesionalisme kerja jurnalistik.
Tapi Ninik Rahayu bukanlah perempuan lembek. Setelah ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pers, ia langsung tancap gas lewat statementnya yang berkobar: “Kemerdekaan pers harus terus menerus kita perkuat, demikian pula dengan kualitas jurnalisme dan profesionalisme perusahaan pers. Oleh karena itu dibutuhkan dukungan kerja multistakeholder."
Di dalam semiotika statement itu, saya tertegun: ketika kemerdekaan pers harus terus menerus diperkuat, adakah pihak yang selalu melemahkan pers? Lantas, adakah situasi dan kondisi yang menghimpit hingga kualitas jurnalisme demikian merosot?
ADVERTISEMENT

Pers Berselingkuh Politik

Tahun 1998, ketika sebelumnya selama puluhan tahun dibelenggu, pers mendapatkan kemerdekaannya. Pada era reformasi ini lahir UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin tidak adanya campur tangan pemerintah dalam kehidupan pers.
Bersamaan pula era ini Dewan Pers menjadi lembaga independen. Sebelum era ini, Dewan Pers walau pertama kali terbentuk pada tahun 1966 melalui Undang-undang No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, namun eksistensinya banci.
Maka perselingkuhan ini yang membuat pers mengenal orientasi politik redaksi bergantung pada orientasi politik oligarki media. Dan pers yang disusui oleh oligarki media punya semangat tempur menghajar lawan-lawan politik majikannya –pemilik media yang bercokol di partai politik, atau orang dari partai politik yang memiliki media.
ADVERTISEMENT
Hal ini sangat kental terlihat di tahun politik jelang pemilihan umum (Pemilu) 2014 dan Pemilu 2019. Di dekade ini permasalahan politik muncul ketika oligarki media sekaligus ketua umum partai politik berpihak pada kandidat Capres-Cawapres dalam Pilpres justru pers ikut berperan. Dukungan ini memengaruhi kepentingan oligarki media.
Setiap perusahaan pers pasti telah menetapkan aturan dan kebijakan yang harus diikuti demi profesionalisme jurnalistik. Namun aturan atau kebijakan yang ujung-ujungnya mendorong wartawan mengusung kepentingan politik pemilik perusahaan pers, tentulah hal ini aneh bagi profesionalitas jurnalisme. Tapi keanehan ini sudah banyak terjadi, maka tidak lagi aneh.
Itulah era di mana pers yang tidak lemah dan mempunyai kekebabasannya, justru jalannya sepoyongan saking kekuatan energi dan potensinya demi partisan pemilik media dalam membentuk citra positif salah satu kandidat dan menyerang kandidat lain. Dalam masa yang begini apa yang dimaksudkan bahwa netralitas wartawan sebagaimana diamanahkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Pasal 1 yang menyatakan bahwa, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk; dipertanyakan masyarakat begitu tajam.
ADVERTISEMENT
Dan pada tataran ini pula apa yang pernah dicibirkan Michael Jackson, penyanyi dan penulis lagu dari Amerika Serikat 1958-2009, “pers terkadang mengorbankan akurasi, keadilan, dan bahkan kebenaran," terasa relevan.

Pengaruh Oligarki Media

Ilustrasi Dewan Pers. Foto: antara
Dalam idealismenya, pers –meminjam perkataan Adlai E. Stevenson II-adalah “ibu dari semua kebebasan kita dan kemajuan kita di bawah kebebasan." Usaha-usaha idealisme ini pula dalam sejarah pers Indonesia abad ke 19 muncullah Bintang Timoer (Surabaya, 1850), Bromartani (Surakarta, 1855), Bianglala (Batavia, 1867), dan Berita Betawie (Batavia, 1874).
Hanya saja usaha kebebasan dan kemajuan itu baru masih di taraf menandingi pers berbahasa Belanda dengan menggunakan bahasa Melayu dan Jawa. Juga masih tidak afdal, karena para redakturnya orang-orang Belanda. Barulah tahun 1907, terbit Medan Prijaji (Bandung, 1907) yang diterbitkan oleh Tirto Adhi Soerjo. Medan Prijaji ini awak redaksinya diisi oleh pribumi dan diterbitkan oleh pengusaha pribumi pula.
ADVERTISEMENT
Maka Medan Prijaji menjadi satu tonggak sejarah idealisme pers Indonesia merepresentasikan kebebasan berpendapat secara kolektif dan individu. Saat mana pemerintahan kolonialisme Belanda sedang kuat-kuatnya membelenggu, Medan Prijaji sudah mendasari konsepsi pers berpihak pada kedaulatan rakyat dan mencerdaskan bangsa.
Pelajaran sejarah pers kita itu sangat diketahui oleh para insan pers untuk memegang teguh idealisme pers. Sayangnya, kurun dua dekade pascareformasi menghadapkan pers pada oligarki media. Awal dari kurun ini konsentrasi kepemilikan semakin kuat dan memusat, mendesak pers jadi partisan dan cenderung elitis. Dengan demikian hak publik untuk tahu sebagai bagian dari kemerdekaan pers mengalami pergeseran makna.
Hadirnya oligarki dengan sumber daya media tidak hanya mengubah landscape bisnis media, namun juga mengubah lanskap orientasi politik media. Oleh karenanya demokrasi yang pada nilai kodratiknya membuka ruang kebebasan menyampaikan pendapat, Cuma hiasan retorika karena pers tidak tubuh menyertai makna kebebasan tersebut. Maka pers menjadi sebuah rezim dalam sosoknya yang kerdil.
ADVERTISEMENT
Masa kini adalah masa yang demikian berat tantangannya buat pers ketimbang menghadapi pemerintahan kolonial Belanda ataupun rezim diktator, lantara oligarki media memposisikan pers wajib punya sikap partisan, yang juga secara tidak langsung menjadi corong kepentingan politik pemilik media. Dengan adanya representasi ini, wartawan pun sebenarnya juga tersubornasi.
Khalayak yang sebelumnya mendelegasikan aspirasinya pada pers, merasa tidak lagi percaya, semacam ada kecemasan nantinya dalam pemberitaan hanya dieksploitasi demi kepentingan politik oligarki media. Dengan demikian publik sulit menemukan pers yang penuh percaya diri berpihak pada aspirasi khalayak.
Atas pengaruh kekuatan oligarki media pula bahwa kekuatan pers sebagai pilar demokrasi menjadi goyah. Kemampuan untuk menyampaikan berita yang berimbang karenanya tidak maksimal. Maka pers tidak bisa diandalkan mengakomodasikan aspirasi publik dengan segala harapannya. Lantaran pers tidak netral, tidak melihat perkara yang sama dalam sudut pandang kepentingan publik. Ada jarak, ada pergeseran komitmen.
ADVERTISEMENT

Proaktif Dewan Pers

Di atas tadi disebutkan bahwa era reformasi mengantarkan Dewan Pers menjadi lembaga independen. Sebelum era ini, Dewan Pers walau pertama kali terbentuk pada tahun 1966 melalui Undang-undang No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, namun eksistensinya banci.
Dengan nilai kodratiknya Dewan Pers sebagai lembaga independen, maka harapan publik berlimpah ruah agar lembaga ini terus memainkan perannya semakin proaktif untuk mengembangkan dan melindungi kehidupan pers di Indonesia. Mengembangkan dan melindungi kehidupan pers dewasa ini tidak sebatas santi aji, karena pekerjaan rumah Dewan Pers begitu bertumpuk menyangkut kemerdekaan pers yang bergeser ke orientasi politik dan profesionalitas jurnalisme yang terkungkung oligarki media untuk dicarikan solusinya.
Oleh karena itu pergeseran ke orientasi politik, serta persetuhannya pers dengan oligarki media, ketika terjadi konflik jurnalistik membuat Dewan Pers tidak sekadar memakai wewenangnya untuk menyelesaikan sengketa, melainkan turut menghidupkan napas demokrasi. Dalam demokrasinya yang hidup, pers punya kebebasan menyampaikan informasi sambil memberikan umpan balik atas setiap pertukaran gagasan di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Konflik yang terjadi harus dilihat sebagai bagian pertukaran gagasan secara keras, tapi ini menumbuhkan budaya intelektual untuk meningkatkan kecerdasan bangsa. Dengan asumsi ini pers yang tidak berselingkuh politik dan lolos dari kungkungan oligarki, walau ia kecil ketika terbentur konflik jurnalistik masih bisa berharap ada hakim pelindung yang adil bernama: Dewan Pers.
Pers yang tidak berselingkuh politik dan lolos dari kungkungan oligarki media, biasanya memang “pers kecil” dan menyampaikan informasi begitu tajam, tapi ini bukan negatif karena ia tidak menyuguhkan hoaks melainkan menginforasikan fakta-fakta akurat secara kasar. Bisa terjadi konflik jurnalistik di sini, memang. Tapi secara holistik masyarakat jadi mengetahui hal negatif yang telah terjadi sebagai pembelajaran. Dari sisi inilah umpan balik yang telah dimainkan pers dalam mencerdaskan bangsa menemui maknanya.
ADVERTISEMENT
Sudah seharusnya pers tidak punya keberpihakan politik demi tujuan berbangsa dan bernegara agar publik tidak dibutakan informasi, itu idealnya. Maka Dewan Pers berkewajiban memberi “penyuluhan” dengan sabar agar pers tidak berpihak pada kepentingan politik dan tidak pula bersikap partisipan, bakal ada begitu banyak hal dan informasi yang bisa diserap masyarakat sebagai bagian pencerahan.
Dewan Pers di bawah kepemimpinan Dr. Ninik Rahayu, SH, MS bersama para anggota yang menyertainya, mampu berperan lebih signifikan lagi. Bahwa pembentukan Dewan Pers dimaksudkan untuk memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM), karena kemerdekaan pers termasuk sebagai bagian dari HAM, maka ini pun terakomodasikan.
Terlebih pagi-pagi benar Ketua Dewan Pers terpilih Dr. Ninik Rahayu, SH, MS, menyampaikan pernyataan yang tandas: “Kemerdekaan pers harus terus menerus kita perkuat, demikian pula dengan kualitas jurnalisme dan profesionalisme perusahaan pers. Oleh karena itu dibutuhkan dukungan kerja multistakeholder."
ADVERTISEMENT
Di dalam semiotika statement itu, saya tertegun: “Selamat bertugas, Ibu Ninik.” ***