Hujan dan Bayangmu

Zahid Arofat
Content Production Officer - Multichannel Staff kumparanNEWS
Konten dari Pengguna
7 Juni 2021 14:07 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zahid Arofat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hujan deras. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hujan deras. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Hujan turun. Kian menderas. Aku yang berjalan menyusuri trotoar sepanjang jalan Terminal Grogol mempercepat langkah—berlari mencari tempat berteduh, berpacu dengan para pengendara kendaraan bermotor yang semakin memacu kendaraannya di sepanjang jalan itu.
ADVERTISEMENT
Langkahku berbelok dan berhenti di sebuah kafe. Kuhela napas sejenak di halaman depan. Napasku tersengal meski hujan malam itu menjelmakan hawa dingin. Jaketku basah, dan aku kembali menghela napas.
Kaca kafe mulai basah oleh tempias air hujan yang diterbangkan angin. Dari balik kaca itu kulihat sepasang lelaki-perempuan duduk berhadapan di salah satu meja di sudut ruangan.
Dari raut wajahnya mereka tampak sedang berbincang serius. Aku tak mendengarnya. Gemericik hujan lebih mendominasi pendengaran. Juga bising knalpot kendaran yang melintas di sepanjang jalan depan kafe.
Sejenak tebersit ia dalam kepalaku. Rupanya rambut basahku kembali menghadirkan bayangnya—yang akhir-akhir ini aku berusaha keras menghapusnya. Malam itu, ia kembali tanpa aku harus menerima.
ADVERTISEMENT
"Halo!" seseorang menyapaku, terdengar dari arah belakang.
Aku mengenal suara itu. Entah bagaimana ada selintas bahagia di benakku. Walau sebenarnya aku berharap tak bertemu lagi di muka Bumi ini.
Aku menoleh. "Hai...," kataku. "Maaf, siapa ya?" tanyaku balik.
Sejurus kemudian aku dibuat penasaran, juga kecewa, atau entah senang sebab yang berdiri di hadapanku bukan ia. Wajahnya yang diterpa cahaya remang kafe membuatku semakin terheran. Aku merasa tak pernah melihatnya sebelum kali itu. Atau aku yang lupa.
"Apakah kita pernah saling kenal atau sekadar pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku.
"Eh... maaf, Mas" jawabnya. "Kukira Mas temenku. Soalnya dari belakang mirip. Jaketnya, perawakannya. Soalnya kita juga lagi janjian di sini. Maaf ya, Mas," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Ia tersenyum kemudian menunduk untuk menyembunyikan wajah merahnya di balik remang pijar lampu. Sementara itu hujan semakin deras. Jalanan masih ramai oleh pengendara dan bising kendaraan yang melintas. Dan, sekelebat ia kembali muncul di ingatanku. Malam itu...