Prosedur Baku Sains, Kekonyolan Riset Vaknus, dan Martabat Bangsa

Zainal-Muttaqin
Ahli bedah saraf, Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip.
Konten dari Pengguna
10 Mei 2021 20:24 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zainal-Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi vaksin corona. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi vaksin corona. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Oleh: Zainal Muttaqin, M.D., Ph. D.
Semenjak terjadinya pandemi COVID-19 awal tahun 2020 lalu, sebagai bagian dari resiliensi bangsa ini, telah berulang kali muncul upaya inovasi anak bangsa yang pada awalnya membuat gempar karena dibumbui oleh pernyataan bombastis dan dibungkus oleh klaim dan informasi tanpa bukti, tetapi ujung-ujungnya berakhir sebagai pepesan kosong dan harapan palsu bagi masyarakat karena justru dalam prosesnya mengingkari dan menerabas prosedur baku sains. Berawal dari Litbang Kementerian Pertanian yang mengeklaim menemukan Kalung ‘Eukaliptus’ Anti COVID-19, lalu diikuti oleh klaim buru-buru dari keberhasilan riset Obat COVID-19 hasil kerja sama TNI AD-BIN-UNAIR yang hampir saja merobohkan kredibilitas dan marwah UNAIR sebagai institusi Riset.
ADVERTISEMENT
Yang terbaru dan masih penuh pro-kontra adalah polemik (riset) vaksin nusantara yang dimotori oleh mantan Menkes Terawan yang tidak jelas proses awalnya tapi ‘ujug-ujug’ mengeklaim bahwa tim peneliti besutannya telah selesai uji klinis fase 1. Sebuah riset (vaksin nusantara) dengan bobot nasionalisme yang jauh lebih besar ketimbang kejujuran atas terpenuhinya prosedur sains yang melandasinya.
Sains adalah institusi yang peran dan fungsinya memproduksi pengetahuan baru berdasarkan metoda empiris yang nalar dan teruji, demikian kata Robert Merton, bapak sosiologi modern asal Amerika Serikat.
Prosedur baku sains ini menjadi nalar dan teruji apabila data dan metode uji-nya terbuka, ‘reproducible’, dan bisa diakses oleh siapapun serta ada telaah/ verifikasi dari ilmuwan lain yang sebidang yang independen atau bebas dari konflik kepentingan (peer reviewed) hingga bias dari hasil prosedur sains tersebut bisa minimal.
ADVERTISEMENT
Pengembangan obat dan prosedur pengobatan, termasuk vaksin adalah sebuah proses yang regulasinya paling ketat di dunia karena terkait dengan kesehatan dan keselamatan umat manusia.
Sebagaimana diatur dalam Deklarasi Helsinki tentang ‘Ethical Principles for Medical Research involving Human Subjects’ yang disepakati oleh World Medical Association, riset obat baru harus dimulai dengan studi pra-klinis (uji laboratorium dan uji pada hewan coba) sebelum berlanjut ke uji klinis pada manusia (pasal 21).
Semua risiko, bahaya, dan manfaat obat/ vaksin yang diujicobakan harus diperbandingkan dengan obat/vaksin terbaik yang sudah ada (pasal 33). Bila obat/vaksin lain belum ada, maka kelompok pembandingnya dalam metode pengujiannya harus menggunakan placebo (obat kosong, isi air atau tepung yang sama sekali tanpa efek) untuk nantinya data dari kelompok subjek yang di beri intervensi berupa pemberian obat bisa di analisis secara se-objektif mungkin.
ADVERTISEMENT
Setiap protokol uji coba pada manusia harus terdaftar/ diregistrasi pada pangkalan data (database) yang bisa diakses oleh publik sebelum dimulainya perekrutan relawan pertama (pasal 35). Selain itu ada kewajiban peneliti agar data dan hasil-hasil penelitian ini, baik yang positif, negatif, maupun yang tidak bisa dinilai dengan indikator penilaian yang telah di sepakati sebelumnya.
Harus bisa diakses oleh siapapun (publicly available), termasuk informasi tentang afiliasi peneliti dan potensi konflik kepentingan yang ada pada diri peneliti. Publikasi ilmiah pada Jurnal Ilmiah Terakreditasi (peer reviewed) merupakan sebuah keharusan (pasal 36).
Konsensus yang berlaku secara global ini pun adalah hasil dari perjalanan panjang sains dalam peradaban manusia, berlandaskan kesadaran dari semua pihak, bahwa kita semua manusia tidak mungkin lepas dari bias-bias dan konflik kepentingan pada diri kita masing-masing. Latar belakang adanya konsensus bersama mengenai standar baku sains dalam deklarasi Helsinki ini sebenarnya sederhana, yaitu untuk kebaikan umat manusia.
Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/3/2021). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
Terkait riset Vaksin Nusantara yang dimotori Terawan, oleh banyak pihak termasuk kalangan parlemen dan pejabat yang menurut asumsi saya kurang memahami prosedur baku sains, BPOM dianggap mempersulit keluarnya izin uji klinis fase 2 tetapi sebaliknya untuk vaksin Sinovac , BPOM di tuduh memberikan banyak kemudahan. Padahal, nyatanya semua vaksin COVID-19 yang sudah beredar, termasuk Sinovac, sudah melalui tahapan uji pra-klinis dan uji klinis fase I, II, dan III (yang dilakukan di berbagai negara) dengan data, hasil analisa, dan banyak publikasinya pada Jurnal ilmiah bisa diakses oleh siapapun.
ADVERTISEMENT
Pemberian izin edar darurat (atau EUA) adalah salah satu tools yang di pakai oleh BPOM untuk melegalkan pemakaian vaksin tersebut bukan dengan menerabas standar tahapan-tahapan baku di atas, namun dengan indikasi-indikasi pengecualian karena status darurat wabah, seperti misalnya vaksin Sinovac yang di berikan EUA untuk dipakai secara masif di Indonesia dengan memakai dasar hasil keamanan dan kebermanfaatan (uji klinis I s/d III) di beberapa negara.
Memang begitulah riset vaksin sesuai prosedur baku sains yang seharusnya. Semua tahapannya sesuai dengan patokan yang objektif, yang berlaku karena consensus dari banyak pihak yang independen dan bebas konflik kepentingan, apalagi tekanan nasionalisme atau politik. Pertanyaannya adalah sampai di manakah posisi riset sel dendritik untuk COVID-19 atau (calon) vaksin nusantara ini?
ADVERTISEMENT
Masyarakat luas harus tahu bahwa riset sel dendritik sebagai terapi imun (membangun kekebalan tubuh) pada kanker sudah dimulai lebih dari 10 tahun lalu. Dengan uji pra-klinis dan uji klinis yang berjumlah ratusan dan waktu yang cukup panjang, saat ini baru ada satu yang disetujui oleh FDA (BPOM-nya Amerika Serikat) yaitu imunoterapi untuk kanker prostat.
Untuk kanker lain seperti kanker paru dan payudara kebanyakan masih ada di uji klinis fase II. Untuk penggunaan sel dendritik sebagai vaksin COVID-19, baik di Amerika, maupun di Indonesia, jelas-jelas belum ada data terkait uji pra-klinis maupun uji klinisnya yang bisa diakses oleh komunitas ilmuwan, apalagi oleh publik.
Apa yang dilaporkan Terawan sebagai uji klinis fase 1 yang cuma sebulan dengan data yang tidak terbuka, meskipun memiliki bobot nasionalisme yang tinggi dan memperoleh dukungan politik dari seluruh anggota parlemen sekalipun, tetap saja tidak memenuhi prosedur baku sains dan patut diragukan kebenarannya.
ADVERTISEMENT
Setiap anak bangsa, termasuk si Fulan maupun Terawan, punya kesempatan untuk berinovasi dan berupaya menemukan obat baru, vaksin nusantara atau apapun namanya, atau misalnya berinovasi dengan cara baru vaksinasi yang tanpa harus disuntik, tapi cukup dengan ditempel koyo atau plaster saja, sehingga proses dan jangkauan vaksinasi bisa berlangsung lebih cepat dan lebih luas.
Ada contoh yang bagus terkait dengan permasalahan metode intervensi baru di dunia medis: metode DSA ‘Cuci Otak’ atau Brain Wash untuk pengobatan stroke, yang kebetulan digagas pula oleh tokoh kita Terawan.
Sebagai metode pengobatan yang baru, tetap harus dan wajib mengikuti prosedur baku sains, dengan data dan hasil analisa terkait risiko, bahaya, dan manfaat mengenai ‘temuan’ baru ini yang bisa diakses oleh publik, termasuk ilmuwan se-bidang lewat publikasi dalam Peer Reviewed Journal, sebelum bisa diaplikasikan sebagai bentuk pengobatan stroke pada manusia. Sebagaimana diketahui, Menteri Kesehatan (saat itu) Prof Dr dr Nila F Moeloek telah memanggil dan memberitahu Terawan selaku Kepala RSPAD saat itu (ceknricek.com 19/9/2018) untuk menghentikan dan tidak lagi meneruskan pengobatan stroke-nya yang menuai kontroversi itu.
ADVERTISEMENT
IDI melalui majelis kehormatan etik kedokteran (MKEK) nya juga merespons secara tegas dan mengambil posisi yang berpegang pada standar baku sains dan etik yang berseberangan dengan klaim temuan metode cuci otak Terawan.
Namun kisruh mengenai hal ini diakhiri dengan ‘jalan tengah’ kelanjutan metode cuci otak menjadi ‘penelitian berbasis pelayanan’. Metode tersebut boleh di praktikkan dengan sarat harus dirapikan data, laporan dan analisisnya sesuai standar baku sains.
Beberapa tahun berjalan sampai saat ini (2018 sampai 2021, atau setidaknya 3 tahun berjalan), tanpa memenuhi sarat-sarat tersebut (tidak ada laporan apapun yang bisa di akses publik mengenai kemajuan penelitian ini), tindakan brainwash masih terus dilakukan oleh Terawan di RSPAD, sehingga memunculkan pertanyaan lanjut: “Apakah ini yang disebut Penelitian berbasis Pelayanan?” (Jalan ‘ninja’ yang tidak harus mengikuti ketentuan BPOM, atau berada diluar wilayah dan tanggungjawab otoritas Negara yaitu Kementerian Kesehatan dan bebas hukum?).
ADVERTISEMENT
Negara ini, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 harus Melindungi Segenap Bangsa Indonesia, dan sekaligus Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Terkait obat baru, vaksin baru, dan pelayanan kesehatan, BPOM dan Kemenkes punya kewajiban menegakkan dan memastikan diikutinya prosedur baku sains dan dipatuhinya Deklarasi Helsinki.
Di negeri tercinta ini, di rumah sakit manapun apakah itu RS Dr.Kariadi, RSCM atau RSPAD, tidak boleh terjadi suatu bentuk pelayanan medis, atau pengobatan termasuk pemberian obat atau vaksin pada manusia, atau intervensi medis seperti pengobatan Stroke dengan cara DSA (‘brain wash’) yang dilakukan dengan menerabas dan tidak mengikuti prosedur baku sains, serta tidak sesuai dengan konsep Evidence Based Medicine.
Kita harus tinggalkan kebiasaan mewajarkan klaim-klaim bombastis tanpa bukti, dan penyebar-luasan persepsi dan testimoni oleh pejabat dan tokoh masyarakat berdasarkan pengalaman pribadi (‘Testimony Based Medicine’), serta penggunaan pengaruh ekonomi maupun politik (termasuk oleh tokoh publik sampai pimpinan DPR) untuk menekan otoritas sains seperti BPOM yang mewakili negara dalam memastikan apakah sebuah inovasi telah benar-benar mengikuti prosedur baku sains.
ADVERTISEMENT
Alih-alih bicara tentang hadiah Nobel bagi anak bangsa, semua sikap dan perilaku anti-sains yang kita pertontonkan secara terbuka di mata dunia akan mempermalukan dan bahkan bisa meruntuhkan kredibilitas dan martabat bangsa di etalase dunia 5.0.
Panjang umur perjuangan.
(Zainal Muttaqin adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip)