Hastag #2019GantiPresiden : Gerakan Konstitusional

Konten dari Pengguna
30 Mei 2018 11:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zainul Abidin An-Suma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hastag #2019GantiPresiden : Gerakan Konstitusional
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Munculnya hastag #2019GantiPresiden di berbagai media sosial dalam beberapa pekan ini menjadi trending topik . Fenomena hastag itu tentu tidak berdiri sendiri, ada penilaian publik terhadap kondisi sosial ekonomi politik yang tidak stabil dari rezim sekarang ini. Rakyat merasa dibohongi, terbohongi dan tereksploitasi haknya, misal: kenaikan harga BBM disertai mencabut subsidinya, kenaikan TDL, pelarangan alat tangkap nelayan, tenaga kerja asing, korupsi, dolar selangit, hutang semakin banyak, diskriminasi ulama, hingga diskursus kedaulatan negara.
ADVERTISEMENT
Kontitusi Menjamin Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat Masyarakat
Hastag #2019GantiPresiden dalam negara demokrasi tentu bukanlah menjadi suatu permasalahan karena dalam demokrasi sendiri menganut prinsip kebebasan berpendapat. Dimana rakyat dapat menyampaikan pendapat secara bebas. Dan hal itu dijamin oleh UUD 1945 pada pasal 28E ayat 3 yang berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Oleh karena itu menurut saya hastag #2019GantiPresiden merupakan suatu hal yang seharusnya diterima oleh semua pihak dan tidak dianggap sebagai pelanggaran. Dengan begitu kebebasan rakyat dalam berpendapat dapat dilindungi dan dipahami sebagai bentuk partisipasi politik masyarakat.
Sepanjang hastag atau pendapat rakyat itu tidak berisi fitnah atau ujaran kebencian, hal itu adalah sesuatu hal yang wajar dan tidak melanggar konstitusi. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu pimpinan partai oposisi, yakni, presiden PKS, Sohibul Iman dalam cuitannya di twitter “gerakan itu juga sebagai bentuk optimisme masyarakat untuk menyambut demokrasi. Sepanjang tidak menjurus kearah fitnah, adu domba hastag kebencian, hal itu wajar-wajar saja”, Katanya. Jadi, gerakan ganti presiden yang dilakukan oleh oposisi merupakan sesuatu hal lumrah dan seharusnya tidak dianggap sebagai ancaman yang serius, karena pada akhirnya rakyatlah yang menentukan.
ADVERTISEMENT
Namun, menurut saya, gerakan hastag #2019GantiPresiden masih bertepuk sebelah tangan. Kehendak rakyat untuk mengganti presiden masih belum sepenuhnya direspon dengan baik oleh partai politik yang berada diluar lingkaran penguasa. karena sampai dengan saat ini partai oposisi belum memiliki calon presiden yang pasti untuk maju dalam pilpres 2019. Sejauh ini baru partai Gerindra yang telah mendeklarasikan Prabowo sebagai calon presiden mereka, namun untuk mewujudkan hal tersebut, tentu mereka harus memenuhi syarat Presidential Threshold yakni 20-25% kursi di parlemen sebagai syarat mengajukan calon presiden. Sementara partai Gerinda sendiri hanya memiliki suara sebanyak 11,81%. Sehingga mereka membutuhkan koalisi dengan partai lain. Namun, Partai PKS, Demokrat, PKB maupun PAN sampai dengan saat ini belum menentukan sikap mereka. Hal ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah partai oposisi tidak sepenuhnya mendukung hastag #2019GantiPresiden?
ADVERTISEMENT
Peran Oposisi di dalam demokrasi modern sangatlah penting, selain untuk mempersiapkan pemimpin alternatif bagi rakyat. Oposisi juga berperan sebagai pengontrol penguasa. Seperti yang dikatakan oleh Robert A. Dahl bahwa partai politik adalah suatu manifestasi yang sangat jelas dan tentunya salah satu bentuk oposisi yang paling efektif di dalam negara demokrasi (1965,332). Artinya bahwa pihak-pihak yang mendukung status quo seharusnya tidak menolak kehadiran partai oposisi. Karena menurut Nurcholis Madjid bahwa negara demokratis yang sehat sangat diperlukan check and balance, makanya dibutuhkan partai oposisi sebagai kekuatan pemantau dan pengimbang.
Namun, menurut saya yang menjadi permasalahan partai oposisi pada saat ini adalah konsistensi mereka dalam menolak kebijakan-kebijakan yang mereka yakini telah merugikan rakyat pada saat menjadi oposisi biasanya berbeda pada saat menjadi partai penguasa. Misalnya, partai PDI P yang mendeklarasikan sebagai partai oposisi selama dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono. Mereka pada waktu itu dengan tegas menolak kenaikan harga BBM. karena menganggap hal itu akan menyengsarakan masyarakat. Namun ketika mereka menjadi partai penguasa harga BBM malah mengalami kenaikan. Hal ini yang kemudian, seharusnya menjadi pelajaran bagi masyarakat bahwa seringkali partai oposisi hanya menjadikan isu-isu soal rakyat kecil menjadi panggung politik mereka agar mendapat dukungan dan simpati dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Jadi, pertanyaannya adalah apakah hastag #2019GantiPresiden hanya merupakan panggung bagi partai oposisi untuk memperebutkan kekuasaan. menurut saya, rakyat harus benar-benar memanfaatkan kebebasan berpendapat dan berekspresi itu untuk tetap kritis baik itu terhadap penguasa maupun kepada partai oposisi. Karena pada akhirnya, rakyatlah yang menentukan nasibnya sendiri. []
Penulis : Asrin / Mahasiswa Pasca Ilmu Politik UI