Darurat Sofis

Zaki Nabiha
ASN Penikmat Kopi yang Bertugas di Kementerian Pertanian
Konten dari Pengguna
3 Januari 2022 13:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zaki Nabiha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Patung filsuf Plato di Yunani. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Patung filsuf Plato di Yunani. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ada satu pertanyaan yang pernah Plato ungkapkan, semacam nubuat kegelisahan, "Tidakkah tirani tumbuh dari demokrasi?". Sebagai peletak dasar demokrasi, kegalauan Plato seperti itu tampak ganjil. Apalagi, Athena, kota tempat di mana Plato mendirikan Akademia saat itu sangat masyhur, anak milenial mungkin menyebutnya sebagai tempat nongkrong yang gokil karena ragam ide dan gagasan mudah ditemukan.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran Plato itu tentu bukan tanpa alasan. Athena, sekitar 380 tahun Sebelum Masehi (SM) sangat pikuk dengan retorika. Jika tak berlebihan, mungkin tak ada sudut di kota itu tanpa orang-orang yang bergumul dengan diksi-diksi yang memukau.
Tapi, disinilah percik musabab nubuat Plato merambat . Retorika dan diksi yang memukau saat itu tidak dibangun berdasarkan fakta dan logika. Lantas, apa yang kemudian membuat publik terpukau dan terpengaruh dengan untaian kata-kata yang sedemikian rupa?.
Keberadaan kaum Sofis menurut Lawrence Torcello, Dosen Seni dan Filsafat di Institut Teknologi Rochester, ditengarai memiliki pengaruh yang sangat kuat di sebagian besar masayarakat Athena. Pasalnya, kaum Sofis atau Sofisme muncul pada pertengahan abad ke-5 SM, jauh sebelum ajaran Plato dan Aristoteles berkembang. Mereka menguasai keterampilan berpikir dan sangat fasih berbicara. Para Aristokrat, pejabat dan politisi Athena saat itu kemudian menggunakan dan memanfaatkan kemampuan mereka untuk memenuhi hajat dan berbagai kepentingan serta yang utama yaitu melanggengkan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Sehingga Socrates, guru Plato yang hidup di masa sofisme tumbuh, menuding mereka sebagai penjual kata-kata. Tuduhan Socrates itu setidaknya berdasarkan pada tiga hal, pertama, pragmatisme kaum Sofis yang kerap meminta bayaran atas jasa yang telah mereka berikan, kedua, relativisme kebenaran yang mereka sebarkan, mendistorsi fakta dan dusta sehingga 'fake' disulap menjadi 'fact', ketiga, argumentasi yang tak berdasar kepada logika, hanya emosional semata, orang-orang mampu diyakinkan hanya dengan bualan.
Oleh karena itu, segenap daya Socrates melawan, ia nyatakan perang. Dalam Apologia yang ditulis muridnya, Plato, Socrates menyebut dirinya sebagai 'lalat penganggu'. Ia sadar, sikap dan pilihannya itu menanggung resiko yang tidak kecil. Dan, kita ketahui bersama, Socrates akhirnya dihukum mati.
Kini, Sofisme di era teknologi internet dapat ditemukan kembali. Melalui media sosial sebagai ruang ekspresi untuk segala hal bagi setiap orang. Ekspresi dan informasi bisa ditanggapi dan dikomentari kapanpun dan oleh siapa pun. Like, Comment bahkan simpati serta pujian adalah tujuan. Puncaknya adalah menempati strata tertinggi kelas sosial berupa popularitas dan seberapa banyak jumlah pengikut.
ADVERTISEMENT
Sehingga informasi dan opini nirdata yang memukau dari kaum sofis dalam wujud selebgram, influencer atau youtuber senantiasa diamini para pengikutnya. Nahasnya, jika hal tersebut berkelindan pada ranah keyakinan dan emosional, mampu menyulut energi besar yang mengebiri rasionalitas. Bahkan, pada situasi yang lebih ekstrem menyebabkan eksistensi para cerdik pandai, ilmuwan terpinggirkan. Fenomena inilah yang disebut Tom Nichols, Penulis Terbaik pada Citta della Rose Book Prize 2018 sebagai “matinya kepakaran”.
Kenyataan itu memang membuat rumit apalagi kita tinggal di Indonesia yang sudah telanjur menjadikan demokrasi sebagai tatanan politik dalam mengelola kenegaraan. Memberangus itu semua tentu bukan pilihan bijak. Namun setidaknya harus ada perlawanan. Harus ada pihak yang dengan tegas menyatakan perang dengan kaum Sofis milenium tersebut dengan menyajikan informasi dan opini yang padat data.
ADVERTISEMENT
Huizinga, Sejarawan asal Belanda dengan cara mengharukan melukiskan sifat-sifat perang yang tidak manusiawi dan tidak bermoral dalam karyanya, Bayang-bayang Hari Esok, walaupun konteks perang yang dimaksud olehnya adalah perang fisik namun secara esensi memiliki pesan yang serupa. Menurutnya, perang menjadikan lemahnya pemikiran secara menyeluruh, penyalahgunaan ilmu pengetahuan, kultus terhadap kehidupan, dan erosi norma-norma moral. Hampir segala-galanya tidak menentu lagi dan diseret oleh putaran mobilitas dan ketidakpastian yang dahsyat.
Ia menambahkan, kita sudah kehilangan banyak kepastian lama dari peperangan dan memperoleh sedikit saja kepastian baru. Banyak orang menjadi tak acuh dan skeptis. Suasana aman yang menandai kehidupan lama dengan kepastian di hampir segala bidang sudah lenyap dan suasana hidup yang baru sering masih begitu negatif, samar-samar, dan tanpa bentuk. Penemuan-penemuan teknis yang baru menakutkan kita, sekalipun disertai kekaguman akan kesanggupan teknologis manusia.
ADVERTISEMENT
Atau gambaran lain dari suatu perang oleh Emmanuel Levinas, Filsuf Prancis dalam karyanya, Totalitas dan Tak Berhingga. Menurutnya, kata-kata dan gambaran-gambaran yang tadinya menyelubungi kenyataan, dalam perang dihancurkan, dan terbesitlah realitas menurut kepolosannya. Kedoknya tersingkap. Namun, barangkali yang paling buruk, bukanlah kekerasan fisik, melainkan pembusukan kepribadian, serta hati nurani karena perang memaksakan manusia memainkan peran-peran dimana ia tidak lagi mengenal dirinya sendiri dan mengkhianati keterlibatannya.
Maka, jika kekhawatiran Plato terhadap tirani yang didasarkan pada kontrol kaum Sofis terhadap perangkat demokrasi Athena saat itu maka saya mengkhawtatirkan tirani kaum Sofis modern yang mengontrol informasi dan opini melalui media sosial.