Koin dan Kebenaran

Zaki Nabiha
ASN Penikmat Kopi yang Bertugas di Kementerian Pertanian
Konten dari Pengguna
22 Juli 2022 13:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zaki Nabiha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Koin. sumber : pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Koin. sumber : pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hingga hari ini, koin masih menjadi alat tukar. Pecahan terkecil yang masih dan sering penulis temui adalah 200 rupiah. Motif di salah satu sisinya yaitu burung Jalak Bali. Satwa ikonik Pulau Dewata, yang keberadaannya dilindungi oleh Undang-Undang karena termasuk fauna langka. Dalam catatan sejarah, Mesir adalah salah satu pionir dalam penggunaan koin. Peredaran koin kemudian semakin pesat saat Mesir dipimpin oleh Ptolemeus, Gubernur dan juga sekaligus seorang penulis. Waktu itu, Mesir masih menjadi bagian dari kekuasaan kerajaan Makedonia.
ADVERTISEMENT
Berkembangnya zaman, peruntukan transaksi koin menjadi miopik. Di Jakarta misalnya, biasanya digunakan sebagai alat tukar utama atas jasa ‘Pak Ogah’ bagi pengguna kendaraan roda empat berbalik arah. Tapi, dimensi lain dari koin yang sejak dahulu sampai kini masih bertahan adalah sebagai alat kerokan.
Praktik kerok-mengerok menggunakan koin sudah berlangsung sejak era kolonial. Jenis koin yang kerap digunakan adalah koin benggol. Koin ini nyaman dikarenakan bentuknya yang besar dan tebal dengan sisi tepinya yang rata.
Mengutip situs resmi Bank Indonesia, pecahan koin benggol itu yaitu 2 setengah cent Nederlandsch-Indie. Perpaduan antara koin benggol dengan balsam atau minyak itulah yang kemudian akan menimbulkan warna kemerahan di punggung setelah prosesi kerokan selesai. Tanda yang diyakini sebagian orang bahwa angin telah keluar. Walaupun sebetulnya hal tersebut dalam dunia medis dijelaskan sebagai indikasi pecahnya pembuluh kapiler tepi yang berada di kulit.
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian orang, aktivitas kerokan dianggap sebagai bagian dari nilai yang kebenarannya memiliki logika sendiri. Terlebih, ada faktor kesamaan perspektif dan dasar nilai budaya antara penderita dan pemberi layanan. Kesamaan ini pun menjadi respons determinan terhadap praktik penyembuhan tradisional lainnya khususnya di perdesaan.
Sementara, bagi sebagian masyarakat lainnya, mempunyai tanggapan berlainan terutama bagi yang tinggal di perkotaan. Misalnya, mengutip pernyataan Johanna Debora Imelda, Dosen di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP-UI, yang ditayangkan kompas.com, Ia menjelaskan bahwa kerokan bisa menyebabkan komplikasi dan reaksi alergi pada kulit yang digosok terutama untuk kulit sensitif. Apalagi jika koin yang digunakan untuk mengerok kulit tidak disterilkan terlebih dulu. Ini bisa menjadi media penularan penyakit, seperti Hepatitis C.
ADVERTISEMENT
Perbedaan perspektif tersebut kemudian berimplikasi terhadap tafsir kebenarannya masing-masing. Di era digital, di mana Indonesia merupakan pengguna facebook ke-3 terbesar di dunia, yaitu 140 juta dan terbesar ke-4 pengguna Instagram, dengan jumlah pengguna 56 juta, menyeragamkan tafsir kebenaran adalah sesuatu, meminjam istilah yang dipopulerkan grup lawak Srimulat, “hil yang mustahal”. Mungkin, ini yang disindir Maudemarie Clark, dalam bukunya, Nietzsche on Truth and Philosophy, ia menuliskan bahwa selalu ada lebih banyak kebenaran dibandingkan manusia yang mengetahuinya.
Walaupun dalam diskursus yang lebih luas upaya-upaya penyeragaman tafsir kebenaran terhadap sesuatu itu dapat dengan mudah ditemukan pada timeline media sosial. Upaya itu tidak lagi dikonotasikan kepada pemerintah dengan segala fasilitas yang ada. Namun, sekarang, otoritas itu bergeser, kepada siapa saja, baik personal maupun komunal.
ADVERTISEMENT
Mereka memiliki kesempatan dan kemampuan membentuk opini sehingga tafsir kebenaran pun terkonvergensi. Dan viralitas menjadi alat ukur untuk mengkuantisasi bagaimana respons terhadap kebenaran itu sendiri. Semakin viral sebuah konten yang dipabrikasi maka hal tersebut setidaknya mendekati definisi sederhana kebenaran, yaitu adanya kesesuaian antara realitas dengan alam pikiran. Walaupun hal tersebut tidak berhenti di situ, karena kebenaran bukan tentang apa saja yang dinyatakan benar oleh mayoritas suatu entitas.
Bagi pemerintah, ini menjadi tantangan tersendiri terutama bagi para pegawai yang menempati jabatan fungsional sebagai Pranata Hubungan Masyarakat (Prahum) yang memiliki tugas melakukan kegiatan pelayanan informasi dan kehumasan. Salah satu tantangan kehumasan pemerintahan saat ini menurut Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo RI, Usman Kansong dalam sebuah Webinar, adalah meraih kepercayaan publik. Dibutuhkan upaya khusus terutama saat pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak populer.
ADVERTISEMENT
Pola komunikasi lateral dengan berbagai platform media mau tidak mau menuntut Prahum harus piawai dalam menjalankan tugas kehumasan. Gambaran ini jauh berbeda dengan gaya dan pola komunikasi kehumasan sebelum reformasi yang cenderung linear dengan platform media yang terbatas. Kita ketahui bersama bahwa relasi kebenaran dan kekuasaan pada waktu itu kuat dan begitu mendominasi.
Bahkan, standar kebenaran ditentukan oleh dua relasi tersebut. sehingga bagi pegiat hak asasi manusia dan kalangan pers, setiap kebenaran yang berasal dari kekuasaan dianggap hambar, tak memiliki nilai. Mungkin, ini maksud dari ungkapan Friedrich Nietzsche, kebenaran seperti koin yang telah kehilangan gambar mereka dan sekarang hanyalah logam belaka, dan tidak lagi sebagai koin.
Oleh karena itu, agar koin itu tetap bernilai maka peran para Prahum sangat dinantikan dalam mengejawantahkan pesan dan arahan Presiden Joko widodo dalam menjalankan tugas kehumasan dalam membangun reputasi pemerintah dan meningkatkan kepercayaan masyarakat tanpa memberitakan keburukan tentang siapa pun atau menyebarkan hoaks, fitnah, maupun ujaran kebencian. Semoga.
ADVERTISEMENT