Petani Muda Bernyali di On Farm, Sutrisno Salah Satunya

Zaki Nabiha
ASN Penikmat Kopi yang Bertugas di Kementerian Pertanian
Konten dari Pengguna
12 Februari 2021 17:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zaki Nabiha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sutrisno, petani muda asal Desa Gadabung, Pandih Batu, Pulang Pisau. Foto: Biro HIP Kementan/Yusran
zoom-in-whitePerbesar
Sutrisno, petani muda asal Desa Gadabung, Pandih Batu, Pulang Pisau. Foto: Biro HIP Kementan/Yusran
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Matahari tidak lagi tepat di atas ubun-ubun. Bergeser sedikit ke arah barat setelah tadi pagi menyapa petani Desa Gadabung. Teriknya mencipta bayangan yang sama panjangnya dengan orang-orang yang sedang beridiri di tanggul. Sayang, tak terlihat Cosmos sulphureus atau Zinnia elegans di sepanjang bibir pematang. Seandainya ada, tentu menjadi pemandangan tak terperi ketika kuning dan merah muda daunnya memendarkan cahaya matahari.
ADVERTISEMENT
Dari Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, dibutuhkan waktu tiga jam setengah dengan kecepatan cukup tinggi dan konstan untuk mencapai Desa Gadabung. Salah satu lokasi Food Estate (FE) di Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau (Pulpis). Tapi, waktu tempuh bisa lebih lama jika ternyata di jalanan ada proyek konstruksi, perbaikan jalan. Bahkan, tingkat kesabaran semakin diuji tatkala turun hujan. Pasalnya, kondisi jalan yang belum beraspal di beberapa titik menyebabkan roda kendaraan terjebak di jalanan yang berlumpur. Ban mobil bisa terbenam cukup dalam. Oleh karena itu, sangat disarankan menggunakan jenis kendaraan 4WD yang mampu melibas habis jalanan yang licin, dan becek semacam medan offroad.
Menurut Sutrisno, wajah dan marwah petani di Pulpis, khususnya di Gadebung dalam kurun sepuluh tahun terakhir sangat berbeda.
ADVERTISEMENT
“Sekarang, menjadi petani itu seperti sesuatu hal yang mewah. Banyak orang yang pengen. Apalagi sistem bertaninya terus berkembang dan ada kemajuan,” katanya.
Saya menjumpai Sutrisno, petani muda yang di tahun ini genap berusia tiga puluh tahun pada hari Rabu, 10 Februari 2021 di kampung halamannya, Desa Gedabung. Sutrisno adalah satu dari sekian banyak petani yang hadir saat panen padi yang dihadiri Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Kalteng, Sugianto Sabran, Bupati Pulpis, Edy Pratowo serta pejabat pusat dari Kementan dan Pemda. Lokasi panen padi ndilalahnya milik Sutrisno sendiri. Ada dua petak sawah. Masing-masing luasnya dua hektar.
Mentan SYL bersama Gubernur Kalteng Sugianto Sabran menyaksikan panen padi di Pulang Pisau, Rabu (10/2). Foto: Biro HIP Kementan/Yusran
“Sebetulnya ini punya keluarga. Bapak meninggalkan ini. Dan saya kebetulan yang melanjutkannya. Jadi bukan punya saya seratus persen. Tapi musim besok ada tambahan 3 hektar lagi di lokasi sebelah,” ungkap Sutrisno.
ADVERTISEMENT
Sutrisno bisa dibilang sosok anak muda yang mematahkan stigma bahwa kaum muda enggan terjun di sektor pertanian terutama untuk bermain di hulu, on farm. Memang, belakangan ini, subsistem hilir pertanian begitu digandrungi anak muda dengan menjamurnya start up pertanian yang menjual sayur, buah bahkan menghimpun dana investasi. Sehingga ada kekhawatiran, regenerasi petani jauh panggang dari api, namun regenerasi tengkulak dalam tampilan baru yang terjadi. Kalkulasi ekonomi menjadi pertimbangan yang menjadi dominan kaum muda, apakah mengambil keputusan untuk menjadi petani atau tidak.
Bagi sutrisno, yang menyelesaikan kuliahnya pada tahun 2017 di Fakultas Ekonomi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, urusan bertani bukan semata untung dan rugi.
“Bertani sama juga berbisnis, berniaga. Tapi kita libatkan Allah Swt. Karena segala sesuatunya sudah diatur,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Prinsip yang dipegang Sutrisno dalam bertani inilah yang kemudian mengantarkannya menjadi referensi petani lainnya. Ia menjelaskan, satu hal yang tidak bisa dicegah dan direkayasa bagi petani di desanya adalah intensitas hujan yang tinggi. Tapi soal hama, serangan belalang atau tikus masih bisa diatasi.
“Kalau sudah musimnya hujan. Yah sudah, kami tawakal saja. Karena siapa yang bisa mencegah hujan?. Kalau hama bisa disemprot dengan obat, tikus bisa dengan belerang,” ungkapnya.
Selain bermain di on farm, Sutrisno bersama kakaknya juga menggarap sektor hilir, penggilingan. Program studi Manajemen yang ia ambil selama perkuliahan menurutnya sedikit banyak bermanfaat dalam menyusun dan memperbesar skala usahanya.
“Saya hitung-hitung, sistem Tabela (tabur benih langsung) sangat tidak efisien. Memang tenaga untuk tanam cukup satu orang tapi hasilnya tidak memuaskan. Terus kita coba dengan sistem semai. Memang cukup repot dan butuh 12 sampai 15 orang tapi hasilnya puas. Satu hektar bisa sampai 7 ton. Dan saya dibantu kakak mulai mencoba buka penggilingan,” katanya.
ADVERTISEMENT
Di Gadabung, tidak banyak anak muda seperti Sutrisno. Oleh karena itu, setelah diwisuda dan kembali ke kampung halaman, Sutrisno didaulat menjadi salah satu perangkat desa. Namun, diakhir tahun 2018, ia memutuskan mengundurkan diri untuk fokus bertani.
FE merupakan jurus pemerintah dalam rangka menjaga ketersediaan pangan. Terlebih di masa pandemi Covid-19, dimana beberapa negara menerapkan pembatasan ekspor bahan pangan tertentu sebagai respons untuk mengamankan kebutuhan dalam negeri masing-masing.
Selain Kalteng, FE juga dikembangkan di Sumatera Utara, di Kabupaten Humbang Hasundutan yang difokuskan pada komoditas hortikultura dengan target seluas 1.000 hektar dimana 215 hektar sumber pendanaannya dari APBN sedangkan sisanya, 785 hektar oleh swasta.
Sama halnya dengan Sutrisno, petani lainnya yang ada di Gadabung sangat terbuka dan mendukung program FE. Selain pemerintah mendampingi melalui peneliti maupun petugas penyuluh lapangan, bentuk dukungan berupa benih dan pupuk sangat membantu.
ADVERTISEMENT
Ketika peserta panen berangsur meninggalkan lokasi acara, saya membatin, kenapa tidak dicoba untuk ditanami refugia di setiap tepian sawah. Selain mempercantik tampilan areal persawahan, setidaknya itu bisa mengurangi biaya produksi untuk membeli pestisida dan mengurangi resiko serangan hama wereng batang coklat, penggerek padi atau blas.
Menurut Miguel Altieri, ahli Agronomi dan Entomologi dan Deborah K. Letourneau, Guru Besar Ilmu Lingkungan Universitas California dalam bukunya Vegetation management and biological control in agroecosystems, Refugia adalah wadah untuk perlindungan bagi musuh alami dan predator yang bermanfaat bagi tanaman padi. Seperti diketahui, padi menjadi tanaman monokultur sangat rentan terhadap hama dan penyakit. Meski demikian, sebenarnya hama alami dapat dikendalikan dengan musuh alami, yaitu Refugia,yang diantaranya adalah Cosmos sulphureus (kenikir) atau Zinnia elegans (bunga kertas).
ADVERTISEMENT