Kisah Pegawai Bergaji Kecil di Jakarta yang Kini Berharta Rp 2,5 Triliun

https://zamanow.com/
Konten dari Pengguna
9 Maret 2018 22:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kisah Pegawai Bergaji Kecil di Jakarta yang Kini Berharta Rp 2,5 Triliun
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Lo Kheng Hong (lahir di Jakarta, 20 Februari 1959) adalah seorang investor value Indonesia jenis individu, dia memiliki kekayaan sekitar Rp2,5 triliun yang ditempatkan pada saham-saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Lo Keng Hong semasa kecil merasakan kehidupan yang susah. Rumahnya di Jakarta sempit, hanya selebar empat meter.
ADVERTISEMENT
Bebas finansial. Nampaknya itulah kata yang tepat untuk menggambarkan seorang Lo Kheng Hong, investor saham yang kerap disebut-sebut sebagai Warren Buffet-nya Indonesia. Kini 24 tahun sudah ia menjadi seorang investor saham, tak terpikir sedikitpun olehnya untuk berhenti menjadi investor saham. Kisah keberhasilannya sebagai investor saham itu, tentu bisa menjadi pembelajaran bagi orang lain yang ingin berinvestasi di saham.
Menjadi investor saham itu begitu nikmat dan mengasyikkan. Seorang investor saham itu bisa kaya, meskipun dia tidur saja, karena dia punya perusahaan publik yang harga sahamnya selalu meningkat dan menghasilkan laba besar.
Setiap hari, saya cukup duduk di taman di rumah saya dan melakukan 3 hal yang saya sebut sebagai RTI, yaitu reading, thinking, dan investing. Saya membaca 4 koran yang datang ke rumah saya setiap hari, laporan keuangan perusahaan dan data statistik pasar modal. Saya tidak perlu berjuang dengan kemacetan setiap hari.
ADVERTISEMENT
Saya juga sudah merasakan tinggal di 5 benua. Saya gunakan sedikit uang yang saya dapatkan dari investasi di Bursa Efek Indonesia untuk berkeliling dunia. Setidaknya 2 kali dalam setahun saya bepergian ke luar negeri. Jika saya ingin berjalan-jalan atau merasakan tinggal di negara lain, misalnya di New York atau London, saya tinggal pergi ke sana dan tinggal beberapa lama di sana. Kadang saya tinggal di negara lain selama 2 minggu – 1 bulan. Biasanya saya bepergian bersama istri dan anak-anak saya. Di sana kami tinggal di hotel saja, lalu jalan-jalan. Saya orang yang bebas, tidak punya bos dan tidak punya karyawan.
Menurut Kheng Hong – demikian ia biasa disapa, ada 5 hal yang tidak dimilikinya, yaitu ia tidak punya kantor, tidak punya pelanggan sebagaimana para pebisnis atau marketing perusahaan, tidak punya karyawan, tidak punya bos, dan tidak punya utang satu rupiah pun. Semua properti miliknya pun ia beli secara tunai, dan bukan dengan kredit pemilikan rumah (KPR).
ADVERTISEMENT
Saya hanya punya 1 supir, 2 pembantu dan 1 penjaga vila. Tapi saya tidak punya sekretaris. Saya mengkliping dan mem-filing sendiri artikel-artikel tentang pasar modal dari koran setiap hari. Semuanya saya simpan berdasarkan nama perusahaannya sesuai urutan alfabet dari A-Z. Saya juga menge-print keterbukaan informasi itu, lalu saya file berdasarkan nama perusahaannya.
Kheng Hong terlahir sebagai sulung dari 3 bersaudara di keluarga yang sederhana. Ia bahkan langsung bekerja selulus SMA dan baru melanjutkan kuliah ke jurusan Sastra Inggris di Universitas Nasional, Jakarta setelah bekerja.
Tahun 1979 saya mulai kuliah malam sambil tetap bekerja sebagai pegawai tata usaha di PT Overseas Express Bank (OEB). Saya ingat dulu uang pangkal saat masuk universitas itu hanya Rp 50 ribu, dan uang kuliahnya hanya Rp 10 ribu.
ADVERTISEMENT
Tahun 1989 adalah saat saya mulai menjadi investor saham. Ketika itu usia saya sudah tidak muda lagi, 30 tahun, berbeda dengan Warren Buffett yang pertama kali membeli saham pada usia 11 tahun. Selama 11 tahun saya bekerja di OEB, namun jabatan saya tidak kunjung naik karena bank tersebut tidak melakukan ekspansi usaha. Karena jabatan saya hanya sebagai pegawai tata usaha, maka gajinya pun kecil. Dan, modal saya berinvestasi saham pun hanya dari gaji.
Namun, saya adalah orang yang selalu hidup hemat, uang yang saya punya saya belikan saham. Mungkin orang lain jika dapat uang akan dikonsumsi, atau ditaruh di deposito. Kebanyakan orang uangnya dikonsumsi, misalnya dibelikan mobil. Sementara, saya adalah orang yang paling anti membeli mobil, karena nilainya turun. Sampai sekarang saya masih pakai mobil yang sudah berusia 10 tahun.
ADVERTISEMENT
Saya mengambil keputusan untuk berinvestasi di saham karena adanya potensi capital gain yang besar. Saat itu ada saham yang ketika IPO (initial public offering) harganya Rp 7.250, tidak lama kemudian menjadi Rp 35.000. Capital gain-nya hampir 400 persen. Tentu saja, itu membuat saya tetarik untuk ikut membeli saham. Di awal-awal berinvestasi saham, saya beli saham saat IPO, hanya sedikit, misalnya Rp 10 juta saja, hanya dapat beberapa lot. Dari sedikit lama-lama jadi banyak.
Saham yang pertama kali saya beli adalah saham PT Gajah Surya Multi Finance saat IPO. Saya mengantre panjang di Gedung BDNI, Hayam Wuruk. Tetapi, waktu listing harganya turun, dan saya terpaksa menjualnya di harga lebih rendah dan mengalami kerugian. Namun, itu tidak membuat saya kapok. Saya lalu mempelajari investasi saham secara otodidak dengan membaca buku-buku tentang investasi Warren Buffett, karena dialah yang sudah terbukti mendapatkan uang terbanyak dari investasi saham. Ada 40 buku Warren Buffett yang saya miliki di rumah. Ada yang sudah saya baca 3 kali dan 4 kali. Saya ulang-ulang agar lebih mendalami isinya.
ADVERTISEMENT
Di tahun 1990, saya pindah ke Bank Ekonomi di bagian pemasaran, dan setahun kemudian saya menjadi kepala cabang. Tahun 1996, setelah bekerja selama 17 tahun, saya akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja di bank dan berkonsentrasi penuh menjadi seorang investor saham. Saya berani melepaskan pekerjaan saya karena telah mendapatkan keuntungan yang cukup lumayan, serta telah memiliki pengalaman berinvestasi di bursa saham selama 7 tahun.
Uang saya seluruhnya saya belikan saham karena saham memberikan keuntungan yang terbesar dibandingkan investasi yang lain. Saya belum pernah membeli obligasi karena obligasi memberikan return yang kecil. Saya juga tidak menaruh uang saya di reksadana, karena menaruh uang di reksadana artinya uang kita dikelola oleh orang lain. Bagaimana jika manajer investasinya tidak jujur dan tidak kompeten? Uang kita bisa habis semua. Contohnya sudah banyak.
ADVERTISEMENT
Saya juga tidak pernah membeli emas, karena emas tidak produktif. Jika kita simpan emas 1 kg, maka 10 tahun lagi tetap 1 kg. Dan saya juga tidak membeli dolar. Orang yang menyimpan dolar umumnya mengharapkan hal yang buruk terjadi, krisis ekonomi, negara tidak stabil, agar rupiah melemah dan dia memperoleh keuntungan. Berbeda dengan orang yang membeli saham, ia akan selalu mengharapkan yang baik yang terjadi, seperti negara aman, ekonomi bertumbuh, dan daya beli meningkat agar harga sahamnya pun ikut meningkat.
Saya juga tidak menaruh uang dalam jumlah besar di rekening bank. Hanya secukupnya saja. Buat apa kita taruh uang di bank? Rugi, karena bunganya kecil. Orang yang menaruh uangnya di bank, misalnya di deposito, dengan bunga kecil, dan inflasi yang begitu besar, dia sebetulnya sedang membuat dirinya miskin secara pelan-pelan.
ADVERTISEMENT
Padahal bursa efek Indonesia selama 11 tahun ini naik secara luar biasa. Sejak peristiwa bom di Bali tahun 2002, IHSG naik dari 330 menjadi 5251 pada Mei 2013. Ada saham yang naik hingga 10 ribu persen lebih. Pernah saya membeli saham perusahaan Petrokimia dengan harga Rp 200, dan pada tahun 2008 turun jadi Rp 60. Tetapi saya tidak jual, bahkan saya membeli lebih banyak di harga murah, akhirnya saham itu berbalik naik menjadi Rp 600 dan saya menjualnya.
Dalam salah satu event Investor Summit yang digelar oleh Bursa Efek Indonesia, Kheng Hong mengatakan, seorang investor saham itu harus seperti seorang atlet yang nafasnya panjang dan kuat bertanding untuk waktu yang lama. Dengan kata lain, seorang investor saham itu harus kuat dalam hal permodalan. Karena itulah uang untuk berinvestasi di saham tidak boleh uang yang berasal dari utang dan bukan uang keperluan sehari-hari. Kheng Hong juga dikabarkan sempat mengalami kerugian cukup besar hingga uangnya tinggal 15% saat terjadi krisis 1997-1998. Namun, ia tetap membeli saham dengan uang tersebut dan posisi yang rugi kemudian berbalik menjadi untung. Ia bahkan berhasil meningkatkan asetnya di saham hingga 150 ribu sejak 1998 sampai 2013.
ADVERTISEMENT
Saya adalah seorang Value Investor. Pekerjaan saya setiap hari adalah mencari perusahaan yang ‘salah harga’ di bursa. Strategi investasi saya adalah membeli saham perusahaan yang bagus dan murah, kemudian saya simpan, menunggu dengan sabar, sampai suatu hari pasar sadar bahwa harga saham itu terlalu murah dan kembali naik ke harga wajarnya, dari sinilah saya mendapatkan keuntungan. Mungkin di atas 90% investor saham tidak tahu apa yang mereka beli. Mereka seperti membeli kucing dalam karung.
Untuk mengetahui perusahaan mana yang ’salah harga’ tersebut, salah satu caranya adalah
BACA LANJUT: https://zamanow.com//biz/1086-kisah-pegawai-bergaji-kecil-di-jakarta-yang-kini-berharta-rp-2-5-triliun#ixzz59GdB4CGr