Cancel Culture, Efektif atau Toxic?

Zefanya Aprilia
Seorang mahasiswa jurnalistik yang memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi.
Konten dari Pengguna
5 Juli 2020 20:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zefanya Aprilia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Akhir Mei lalu, tagar #DojaCatIsOverParty menjadi tren di Twitter setelah beredar video Doja Cat di ruang obrolan TinyChat. Video tersebut menunjukkan sang penyanyi pop berbicara dengan orang-orang yang diduga rasis, serta menertawai lelucon rasis mereka. Hal tersebut menimbulkan kecaman dari netizen berujung upaya cancel atau “membatalkan”.
ADVERTISEMENT
Beberapa minggu kemudian di awal Juni, peristiwa serupa menimpa penyanyi indie Cuco. Tagar #CucoIsOverParty muncul setelah beredarnya screenshot yang diduga obrolan Cuco yang saat itu berusia 18 tahun dengan seseorang gadis yang saat itu berusia 15 tahun. Netizen pun mengecam dan juga berupaya membatalkan berdarah Meksiko asal Amerika tersebut.
Sejak 19 Juni, aktor Ansel Elgort terancam boikot dari netizen. Hal tersebut karena tuduhan kekerasan seksual dari sebuah thread yang sudah dihapus. Dua hari kemudian dengan pola yang sama dan tuduhan yang mirip, penyanyi Justin Bieber menyusul menghadapi pemboikotan.
Di Indonesia, aksi “membatalkan” atau cancel juga kerap kali terjadi. Seperti yang terjadi pada Januari lalu, kepada penyanyi Ardhito Pramono. Penyanyi “bitterlove” itu dicap rasis dan homofobik setelah tweet lamanya menjadi viral. Meskipun ia sudah membuat video klarifikasi, beberapa netizen masih berusaha membatalkannya.
ADVERTISEMENT
Itulah yang disebut dengan cancel culture, yakni bentuk pemboikotan seseorang yang mengatakan atau melakukan sesuatu yang ofensif. Upaya cancel dapat meredupkan karir orang tersebut, serta mencabut kredibilitasnya. Kebanyakan, cancel culture dialami oleh orang-orang ternama, tetapi juga dapat terjadi kepada siapa saja yang ada di internet, termasuk anda.
Aksi cancel culture secara mencolok dilakukan pada era #MeToo di tahun 2017. Nama-nama besar seperti Harvey Weinstein, Louis C.K., Bill Cosby, dan masih banyak lagi dituduh melakukan pelecehan seksual. Mereka juga dituduh telah menghindari konsekuensinya selama bertahun-tahun sebelum era #MeToo. Banyak dari mereka yang sudah terjerat pidana, kehilangan karirnya, tetapi ada juga yang masih melenggang bebas.
Dua kali pemenang Oscar, Kevin Spacey telah benar-benar di-cancel setelah 16 tuduhan pelecehan seksual yang merentang puluhan tahun muncul ke permukaan pada Oktober 2017. Konsekuensinya, rekaman adegannya di film All the Money in The World dipotong dan diganti dengan Christopher Plummer (yang kemudian memperoleh nominasi penghargaan untuk perannya). Selain itu perannya sebagai pemeran dan produser di seri Netflix, House of Cards dihapus. Neflix juga memutuskan semua hubungannya dengan Spacey, dan semenjak itu tidak ada film mendatang yang melibatkan dirinya.
ADVERTISEMENT
Jadi, cancel culture efektif atau toxic?
Melihat konsekuensinya, boleh jadi itu merupakan mimpi buruk tak terbayangkan bagi seseorang aktor ternama seperti Spacey. Tetapi itu juga merupakan hukuman layak yang sudah lama tertunda. Berbeda dengan Spacey, rapper Kanye West yang tidak asing dengan membuat pernyataan kontroversial sepanjang karirnya malah terus memperoleh kesuksesan. Demikian juga dengan rapper 6ix9ine yang dipenjarakan karena berbagai kasus kriminal termasuk pelecehan seksual terhadap anak. Karena pandemi COVID-19, ia dibebaskan lebih awal dan semenjak itu ia telah merilis beberapa lagu yang menduduki posisi atas chart musik.
Maka muncul lagi debat baru, haruskah kita memisahkan karya dari artisnya?
Setelah kontroversi Cuco, saya mengadakan diskusi terbuka dengan beberapa teman saya melalui media sosial saya. Saya menanyakan perihal cancel culture; apakah kita harus memisahkan karya dari artisnya. Kebanyakan menjawab ya, dengan argumen yang menyatakan bahwa perbuatan artis tidak boleh menodai karyanya, karena itu adalah subjek yang berbeda. Tetapi yang menjawab tidak menjelaskan bahwa bila karya dipisahkan dengan artisnya, berarti secara tidak langsung kita membenarkan perbuatannya. Dan lagi, sebuah karya merepresentasikan artisnya sehingga cenderung bermasalah juga.
ADVERTISEMENT
Pastinya sulit untuk mengabaikan karya-karya para artis, meskipun kita mengecam individunya. Sejujurnya bagi saya masih terlalu dini untuk dan langsung menghakimi dan meng-cancel Doja Cat, Cuco, dan Ansel Elgort karena bukti yang masih minim. Mereka juga berhak untuk memberikan klarifikasi dan ditindaklanjuti dengan adil terlebih dahulu sebelum dipersekusi secara masal.
Dalam wawancara dengan majalah digital Net-A-Porter, Robin Wright mengutarakan pendapatnya tentang perbaikan karir bagi Spacey. Lawan main Spacey House of Cards mengatakan, “Saya tidak tahu bagaimana mengomentari hal tersebut, saya benar-benar tidak tahu… saya percaya setiap orang punya kemampuan untuk memperbaiki dirinya. Dalam pengertian itu, kesempatan kedua, atau apapun anda menyebutnya – pastinya, saya saya percaya dengan itu. Itu yang disebut pertumbuhan.”
ADVERTISEMENT
Tidak ada manusia yang sempurn, dan tidak ada manusia yang tidak berhak mendapatkan kesempatan kedua. Manusia tidak mungkin terlepas dari kesalahan, dan sebesar apapun itu pasti menjadi pelajaran hidup untuk lebih baik. Bahkan Malcolm X sebelumnya adalah seorang kriminal yang memperbaharui dirinya selama di penjara. Setelah dibebaskan, ia sudah berubah total dan kemudian menjadi pemimpin pergerakan hak warga sipil.
Pada Oscars 2020 awal tahun ini, Joaquin Phoenix dalam pidato kemenangan Best Actor menyerukan orang-orang untuk berhenti meng-cancel. Ia mengucapkan rasa syukurnya karena memperoleh kesempatan kedua setelah kontroversi lamanya. “Menurutku itulah saat yang terbaik bagi diri kita; ketika kita mendukung satu sama lain.bukan saat kita meng-cancel satu sama lain karena kesalahan lama, tetapi saat kita membantu satu sama lain untuk bertumbuh,” kata pemeran Joker itu.
ADVERTISEMENT
Melakukan boikot dapat memberikan konsekuensi secara efektif kepada orang-orang yang sudah lama dan memiliki banyak masalah. Tetapi jangan biarkan tindakan tersebut berubah menjadi intimidasi kejam yang berkelanjutan, ingatlah bahwa semua orang berhak memperoleh kesempatan kedua. Dan yang terpenting, kita harus dengan bijak memverifikasi fakta dan membuktikan bahwa yang tertuduh benar-benar bersalah sebelum mempersekusinya.
Bijaklah dalam menggunakan platform anda.