Penundaan RUU PKS Termasuk Langkah Mundur Pemenuhan Keadilan Korban

Mohammad Diesel Zein
Mahasiswa Fakultas Hukum UPN"Veteran"Jakarta Angkatan 2020
Konten dari Pengguna
16 Desember 2020 12:50 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohammad Diesel Zein tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto ini diambil pada website : alinea.id dan bisa di akses pada link berikut : https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.alinea.id%2Fnasional%2Fdepak-ruu-pks-dpr-dianggap-sewenang-wenang-b1ZQe9v1G&psig=AOvVaw3VkfjNrfl6wElLSAfWeuNs&ust=1608179653389000&source=images&cd=vfe&ved=0CAIQjRxqFwoTCLiq3sXW0e0CFQAAAAAdAAAAABAD
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS ) adalah rancangan undang-undang di Indonesia mengenai kekerasan seksual. RUU ini diusulkan pada l 26 Januari 2016 yang mencakup mulai dari pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban hingga mengatur tentang penanganan selama proses hukum.
ADVERTISEMENT
Pengesahan RUU PKS menjadi sangat penting untuk dilakukan mengingat tren kekerasan seksual yang ada di masyarakat tiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Komnas Perempuan melaporkan pada tahun 2017 terdapat 348.446 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, pada tahun 2018 meningkat menjadi 406.178 kasus dan pada tahun 2019 meningkat kembali menjadi 431.471 kasus.
RUU PKS juga masuk ke dalam daftar program legalisasi nasional (prolegnas) tahun 2020-2024 menjadi salah satu dari 50 RUU prioritas nasional pada periode tersebut. Namun, tidak seluruh kelompok masyarakat memiliki suara yang bulat mengenai RUU PKS.definisi kekerasan seksual dalam RUU PKS yang sempat menjadi perdebatan dari sebagian kelompok masyarakat.
RUU PKS ini yang terdiri atas 152 pasal merupakan aturan hukum yang berisi semangat untuk melindungi kaum perempuan sebagai mayoritas korban kekerasan seksual. RUU PKS merupakan aturan hukum yang sejak tahun 2012 sudah diajukan oleh Komnas Perempuan dan pada Mei tahun 2016 RUU tersebut masuk dalam Prolegnas Prioritas, namun RUU PKS mangkrak dan berlalu begitu saja tanpa adanya pengesahan. Berbagai pro dan kontra muncul di masyarakat, mulai dari isu diperbolehkannya zina, isu feminisme dan kebebasan LGBT
ADVERTISEMENT
Tetapi pada tulisan kali ini isu yang akan dibahas adalah dari sisi pronya dalam masyarakat dikarenakan banyaknya dan meningkatnya kasus kekerasan seksual yang ada diI Indonesia seperti yang telah saya jabarkan di atas.
1.Menekan tindak kekerasan seksual di Indonesia
Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise mendesak DPR untuk segera mendesak pengesahan beleid tersebut. Yohana mengatakan RUU ini sebenarnya bertujuan untuk menekan tindak kekerasan seksual di Indonesia khususnya yang dialami perempuan dan anak-anak.
Menyitir hasil survei bersama Badan Pusat Statistik (BPS), Yohana mengatakan satu dari tiga perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual. Kemudian, satu dari tujuh anak baik laki-laki maupun perempuan telah mengalami kekerasan baik seksual, fisik, psikis, termasuk penelantaran anak.
ADVERTISEMENT
"Oleh karena itu, dengan adanya RUU PKS ini, ke depan tidak ada lagi kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia," katanya pada 8 Oktober 2019.
2. Belum ada aturan yang mengakomodir korban
Ketua Indonesia Feminist Lawyer Club Nur Setia Alam Prawiranegara sempat mengatakan banyak hak-hak korban kekerasan seksual yang ditanganinya tidak terwakili dalam undang-undang. Misalnya hak untuk aborsi bagi perempuan korban perkosaan.
"Kalau aborsi dia sadar melakukan hubungan seksual kemudian bunuh anak itu pidana. Tapi kalau orang ini diperkosa, dia tidak menghendaki, dia punya hak si perempuan ini untuk aborsi," kata Alam.
Kedepannya, selain harus memuat 9 bentuk kekerasan seksual, RUU PKS juga diharapkan memperhatikan hak-hak korban dari hulu ke hilir. Misalnya, pendampingan hukum, psikologis, medis, psikososial sampai pemulihan.
ADVERTISEMENT
3.Korban dan keluarga akan mendapat dukungan proses pemulihan dari negara
Dalam RUU PKS, Komnas Perempuan mengusulkan agar tercipta bentuk payung hukum yang lebih memperhatikan kebutuhan korban pasca mengalami pelecehan seksual. Karena pada dasarnya kekerasan seksual tidak hanya membuat korban terluka secara fisik, tetapi juga psikis. Hal itu juga akan dialami oleh keluarga dan saksi korban. Mereka akan mengalami penderitaan yang berlapis dan bersifat jangka panjang akibat kekerasan seksual.
“Sejauh ini kami telah memiliki Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk membantu proses pemulihan korban kekerasan seksual. Di daerah sudah banyak bertambah, itu tandanya masyarakat sudah mulai sadar akan isu tentang kekerasan terhadap perempuan ini,” ungkap Azriana
Namun, yang ditekankan oleh Komnas Perempuan adalah peraturan undang-undang yang saat ini berlaku belum menyediakan jaminan atas pemenuhan hak-hak korban dan keluarga korban. KUHAP yang sudah ada tidak dapat memberikan hak-hak korban dalam hukum acara peradilan pidana.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, UU Perlindungan Anak hanya melindungi anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga hanya mengatur hak perlindungan bagi korban kekerasan seksual yang berusia anak saja, sedangkan korban yang berusia dewasa belum memperoleh jaminan perlindungan.
Fakta di atas menyatakan jika masing-masing peraturan perundang-undangan belum mengatur perlindungan dan pemulihan korban, keluarga korban, dan saksi kasus kekerasan seksual secara komprehensif.
4.Pelaku kekerasan seksual akan mendapat akses untuk rehabilitasi
RUU PKS mengusulkan pengaturan tindakan berupa rehabilitasi khusus yang hanya diberikan bagi pelaku pelecehan seksual non-fisik dan pelaku berusia di bawah 14 tahun.
Ini sangat penting untuk perubahan pola pikir serta sikap dan mencegah untuk perbuatan yang sama terulang di masa depan.
ADVERTISEMENT