Bagaimana UU Terbentuk dan Apakah Rakyat Bisa Menggugat?

Zenius Education
To spark the love of learning in everyone, everywhere, to question everything
Konten dari Pengguna
12 September 2019 16:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zenius Education tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi palu hakim Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi palu hakim Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Jakarta, 12 September 2019 - Belakangan ini, marak perbincangan soal pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-Undang (UU) dan Rancangan KUHP (RKUHP). Berbagai RUU sedang dalam proses rampung untuk nantinya menjadi UU yang bisa dijalankan.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit dari perangkat hukum itu menjadi pembahasan yang kontroversial seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan RKUHP. Polemik pun bermunculan dan pihak-pihak tertentu. Presiden bahkan ikut disalahkan saat pasal soal penghinaan presiden dalam RKUHP dibuat karena dianggap melanggar prinsip demokrasi.
Polemik dan kontroversi seputar RUU dan RKUHP ini memang menghiasi pemberitaan media massa beberapa waktu terakhir. Namun, tidak semua pihak terlibat dalam pembahasan dan pengesahan perangkat hukum ini. Untuk lebih mengerti siapa dan bagaimana proses UU ini berjalan, maka perlu dipahami dulu fungsi-fungsi yang ada di Republik Indonesia.
Republik Indonesia secara prinsip menganut Demokrasi Pancasila. Dalam penerapannya, Indonesia memilih representatif yang disebut sebagai wakil rakyat lewat mekanisme Pemilu.
ADVERTISEMENT
Pemilu sendiri merupakan salah satu tanda pemerintahan yang demokratis, karena hanya lewat sistem ini rakyat bisa memilih orang yang dirasa pas untuk menjalankan roda pemerintahan. Demi roda ini berjalan dengan lebih baik, maka dilakukanlah pemisahan kekuasaan.
Seperti di banyak negara, Indonesia juga melakukan pemisahan itu dengan prinsip Trias Politica Montesquieu (arti harfiahnya: tiga perangkat politik). Konsep Trias Politica Montesquieu menuntut pemisahan peran atas wakil-wakil rakyat yang telah dipilih.
Di sini akan ada orang yang membuat undang-undang, ada yang melaksanakan, dan juga ada yang mengevaluasi. Trias Politica ini adalah Lembaga Legislatif (DPR, MPR, DPRD, DPD), Lembaga Eksekutif (Presiden, Menteri, Gubernur), dan Lembaga Yudikatif (MA, MK).
Untuk proses terjadinya UU itu sendiri, DPR menjadi pemegang kekuasaan untuk membentuk UU. Meski pemegang kekuasaan untuk pembentukan UU, namun tidak berarti tidak ada keterlibatan dari pihak lain di luar legislatif.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, RUU itu tidak harus datang dari DPR. Lembaga lain seperti Presiden atau DPD bisa mengajukan RUU. RUU yang dibuat oleh DPR secara spesifiknya dibuat oleh anggota, komisi, atau gabungan komisi.
RUU ini kemudian disusun dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) oleh badan legislasi DPR dalam jangka waktu 5 tahun. Setiap RUU ini tidak bisa serta-merta diusulkan.
RUU yang dibahas harus dilengkapi dengan Naskah Akademik berkaitan dengan permasalahan yang akan diatur dalam UU nantinya. Namun, naskah ini tidak diperlukan untuk APBN, RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu.
Jika DPD yang memberikan RUU untuk disahkan, biasanya RUU tersebut berkaitan dengan otonomi daerah dan relasi pusat dengan daerah. Walau jarang, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah juga menjadi salah satu agenda DPD jika diperlukan, dan RUU ini nantinya digodok oleh DPR.
ADVERTISEMENT
Secara ekonomi, DPD juga yang mengajukan RUU berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam untuk menjaga keseimbangan pusat dan daerah. DPD yang merupakan perwakilan daerah memang memiliki peran sebagai wakil rakyat yang merepresentasikan daerah tertentu.
Proses dari RUU menjadi UU memakan waktu lama dan belum tentu bisa berjalan dengan mulus. Prosesnya tidak sederhana. Tidak jarang, seperti sudah disebut, pengesahan RUU bisa berlangsung hingga 5 tahun, namun tidak sedikit UU yang baru disahkan melalui beberapa periode DPR yang berbeda.
Setelah akhirnya DPR dan Presiden menyetujuinya, maka pimpinan DPR akan menyampaikan ke Presiden untuk disahkan menjadi UU. Jika sudah disetujui bersama namun belum disahkan, 30 hari setelah persetujuan itu RUU itu tetap sah menjadi UU dan wajib ditegakkan.
ADVERTISEMENT
UU yang sudah disahkan pun sebenarnya bukan berarti bisa secara langsung dijalankan. Sebagai contoh, jika RKUHP akhirnya bisa sah menjadi KUHP yang baru, proses transisi memakan waktu hingga 3 tahun sampai akhirnya bisa dijalankan.
Di luar itu, rakyat juga memiliki hak untuk menyampaikan pendapatnya asal melalui proses yang sesuai dengan hukum. Pendapat ini tentu berdasarkan alasan apabila peraturan yang dibuat dianggap melanggar hak konstitusional. Proses ini disebut sebagai judicial review.
Pada praktiknya, judicial review bisa dilakukan oleh siapa saja baik perorangan maupun kelompok. Proses ini nantinya jadi wilayah kekuasaan Lembaga Yudikatif (MK dan MA).
Jika yang digugat adalah UU yang dianggap tidak sesuai UUD 45, maka proses ini bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk peraturan perundangan yang merupakan turunan UU, proses ini bisa diajukan ke Mahkamah Agung (MA).
ADVERTISEMENT
Dalam praktiknya, judicial review Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh MK. Sementara itu, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh MA. Siapa saja bisa mengajukan gugatan dengan syarat bahwa penggugat adalah WNI, WNI yang tergabung dalam kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara.
Dengan adanya proses judicial review, tentu ada kesempatan bagi rakyat untuk menggugatnya jika dianggap merugikan banyak orang. Proses ini bisa berhasil, tergantung kualitas gugatannya.
Sebagai contoh, di tahun 2013, ada seseorang yang berprofesi sebagai satpam bernama Marten Boiliu melakukan gugatan dan meminta MK membatalkan Pasal 96 di UU Ketenagakerjaan. Marten yang waktu itu tidak didampingi oleh pengacara, berhasil meyakinkan MK dan akhirnya pasal tersebut dihapus.
ADVERTISEMENT
Salah satu proses pengesahan UU di Indonesia yang dijabarkan di atas menjadi sebuah contoh bagaimana proses demokrasi berjalan. Tentunya, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih tergolong negara yang sanggup menjalankan berbagai praktik demokrasi dengan segala kekurangannya. Proses ini menjadi ciri khas dari Negara Demokrasi, dan bisa dibandingkan dengan jenis pemerintahan lainnya.
Jika pembaca ingin tahu bagaimana negara di luar demokrasi bekerja, bisa juga cek di artikel di bawah ini: