kumparan, Kita Memang Berjodoh

Zuhri Noviandi
Pecinta Kopi - Menulis Untuk Beramal
Konten dari Pengguna
18 Januari 2019 1:27 WIB
comment
16
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zuhri Noviandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya baru saja selesai mengisi perut dengan sebungkus Nasi Padang. Menarik sebatang rokok dan memesan kopi untuk kedua kalinya. Di atas meja, laptop masih menyala, Tony Q Rastafara menemani dengan lirik 'Lagu Kaum Buruh'.
Siang pertengahan September 2017, bersama teman-teman wartawan saya baru saja kembali ke 'Warkop Sekber Jurnalis' tempat di mana kami berkumpul setiap harinya. Warung ini berada di tengah kota, hanya berjarak beberapa meter dari Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
ADVERTISEMENT
“Ri, udah siap kirim berita?” tanya seorang teman dari meja sebelah. Ya, hari itu kami memang baru saja selesai liputan. Tiga berita telah terkirim ke email redaksi, media tempat saya bekerja sebagai jurnalis lepas.
Banda Aceh terasa cukup panas, matahari berada tepat di tengah langit. Sengatan cahayanya membuat peluh membasahi baju. Tanpa pikir panjang, saya menghadapkan muka ke atas. Sejenak memejamkan mata mengurangi rasa lelah.
Di tengah kelelapan itu tiba-tiba gawai berdering di atas meja. Nomor tak saya kenal bertuliskan 'greater Jakarta' memanggil. Dari ujung sambungan telepon seorang pria menyapa dengan suara lantang.
Assalamualaikum, saya Rachmadin dari kumparan Jakarta,” ucapnya memperkenal diri. Dengan nada setengah panik, saya kemudian menjawab, “Iya mas, saya Zuhri.”
ADVERTISEMENT
Gugup tak bisa saya hindarkan. Ketegangannya mengalahkan saat sidang skripsi. Dari balik sambungan itu, saya diwawancarai dengan beberapa pertanyaan seputar jurnalistik.
“Kamu ada kirim lamaran ke kumparan ya? Boleh kita ngobrol, tanya-tanya sebentar,” kata Mas Rachmadin. Selama 30 menit, pembahasan berlangsung seputar Aceh dan isu-isu di provinsi ujung barat Indonesia itu.
Di ujung pembicaraan Mas Rachmadin mengatakan kalau dirinya akan menghubungi kembali, mengantar kabar tentang diterima atau tidaknya saya menjadi seorang jurnalis kumparan yang saat itu gencar mempromosikan diri sebagai media baru di tanah air.
***
Mengakhiri tanggung jawab sebagai mahasiswa 07 Agustus 2017 silam. Saya membuka laptop di salah satu warung kopi kawasan lingkar kampus Darussalam. Menanti balasan email [email protected].
ADVERTISEMENT
Sejak kumparan mucul di beranda media sosial. Saya tertarik ingin bergabung di dalamnya. Tidak ada alasan khusus, hanya saja ingin mencoba pengalaman baru di media baru. Melihat beberapa tokoh di dalamnya, saya berharap bisa belajar dari mereka dan berkarya di sana.
Singkat cerita harapan itu pupus. Saya tidak lulus dalam program 1001 lowongan. Saya menerima dengan lapang dada, mungkin belum rezeki. Namun secercah harapan itu muncul kembali saat Mas Rachmadin mewawancaraiku via telepon, dia mengatakan bakal memberikan jawaban seminggu kemudian tentang nasibku diterima atau tidak.
Harapan itu menggantungku. Setiap menit menatap layar gawai berharap kabar namun tak kunjung tiba. Ibarat hubungan sepasang manusia, ketika si cowok mengharap cintanya diterima, tapi tak kunjung pasti. Sakit!
ADVERTISEMENT
Di tengah kegalauan itu, saya mendapat tawaran bekerja di salah satu media nasional dari seorang senior kampus. Dia mengatakan, kalau media tempatnya bekerja sedang membutuhkan kontributor untuk wilayah Aceh.
“Dek Ri, mau jadi kontri untuk Aceh. Abang udah di Jakarta jadi di sana kosong. Gimana mau?” tanya dia.
Sebuah penghargaan dapat tawaran bekerja di media nasional. Cita-cita ini memang telah lama saya impikan. Meski begitu, tawaran tersebut tidak langsung saya terima. “Kasih saya waktu seminggu bang ya. Karena saya juga lagi tunggu jawaban dari kumparan ini,” kataku pada senior di pers kampus itu.
Ibarat pribahasa 'bagai makan buah simalakama'. Serba salah (mau ke kiri salah, ke kanan salah, maju salah, mundur pun salah). Jika tawaran itu saya terima, takutnya kumparan bakal menelepon. Nah, seandainya saya tolak, kumparan pun belum memberikan jawaban.
ADVERTISEMENT
Ah serba salah. kumparan belum kasih jawaban. Kalau tawaran ini saya tolak, takutnya kesempatan ini diambil orang,” gumamku dalam hati. Sambil memendam perasaan kecewa karena telah berjalan tiga minggu Mas Rachmadin belum juga menelepon.
Setelah bertengkar dengan kegalauan. Saya akhirnya memutuskan untuk merima tawaran tersebut. Dari seorang jurnalis lepas mencoba petualangan baru di media nasional meski berstatus kontri. Mengirim laporan demi laporan, hingga rasa nyaman mulai terasa.
Selasa 28 November 2017 sekitar pukul 13.00 WIB, siang itu saya sedang menulis laporan tentang kedatangan KRI Bima Suci di Pulau Weh dalam rangka ikut memeriahkan pagelaran Sabang Sail.
Gawai di saku sebelah kanan tiba-tiba bergetar, nama Mas Rachmadin muncul kembali. Saya mengangkatnya, kami saling bertegur sapa. Komunikasi saya kali ini tak setegang seperti diawal.
ADVERTISEMENT
“Halo bro apa kabar?” tanya Mas Rachmadin.
Alhamdulillah bang sehat,” balasku.
“Zuhri kamu diterima di kumparan, kapan mulai bisa bekerja?” alhamdilillah ucap saya.
“Mohon maaf mas, saya sekarang sudah bekerja di media 'A' karena sudah tiga Minggu lebih tidak ada jawaban, saya mikirnya tidak diterima di kumparan. Makanya saya terima tawaran ini,” dengan berat saya menjawab, meski dalam hati berharap bisa masuk di kumparan.
Alasan saya menolaknnya lantaran tidak mau mengecewakan senior saya yang telah menaruh kepercayaan bekerja di medianya. Walaupun nurani berkata lain, berharap bisa bergabung dengan keluarga kumparan.
“Oh gitu ya? Enggak apa-apa, Zuh. Sip-sip, sukses ya, saya mengerti pilihanmu,” ujarnya.
Pilihan Berat di Penghujung Desember
ADVERTISEMENT
Saya kaget, Mas Rachmadin kembali menghubungi untuk ketiga kalinya. Dia menawarkan kesempatan terakhir pada saya bergabung di kumparan.
Pikiran saya kacau saat itu. Jujur sebenarnya ingin keluar dari zona nyaman dan mencoba sensasi baru di kumparan. Tapi dalam hati, alasan apa yang akan saya sampaikan kepada redaksi tempat saya bekerja sebelumnya. Belum lagi harus memikirkan hati sang senior.
Saya harus memantapkan pilihan, tanpa pikir panjang. Kemudian saya mengaku siap ingin bergabung di kumparan. Namun kepada Mas Rachmadin, saya meminta waktu seminggu untuk proses resign. Tidak lama setelah itu, saya langsung menghubungi senior saya yang ternyata seorang koordinator liputan di tempat saya bekerja sebelumnya. Dia mengerti alasan saya, dan mengizinkan untuk berpindah haluan ke kumparan.
ADVERTISEMENT
“Tidak apa-apa itu sudah pilihanmu. Asalkan kamu tetap semangat dan terus berkarya,” ucapnya, hati saya lega.
"Kalau takdir tak akan ke mana. kumparan kita memang berjodoh"
Awal Januari 2018 saya mulai bergabung di tubuh kumparan. Mewarnai laman pemberitaan dengan informasi-informasi seputar Aceh. Tidak hanya sekadar menjadi jurnalis, saya juga harus berjuang mempromosikan kumparan di daerah saya sendiri.
Sebagai media baru tumbuh, tentu masyarakat belum mengetahui apa itu kumparan. Secara perlahan, seiring berjalannya waktu, saya mengenalkan kumparan kepada setiap orang dan narasumber yang saya temui.
Menjadi bagian dari kumparan ada sesuatu yang berbeda. Tapi saya tidak mampu mengungkapkan rasa itu. Senang dan bangga ketika redaksi memberi ruang kami bebas untuk menulis, apalagi tulisan-tulisan feature. Karena dari situ saya bisa mengeksplor Aceh dan membantu masyarakat lewat tulisan.
ADVERTISEMENT
“Menulis untuk beramal,” itulah moto saya.
Selama di kumparan saya belajar disiplin, fokus, dan tidak emosi dalam menulis. Pernah suatu hari Mas Indra Subagja (Wakil Pemimpin Redaksi) menegur lantaran ketahuan menulis pakai emosi. Saat menulis tentang kisah Hurairah, atlet Hapkido yang tidak mendapatkan apresiasi dari pemerintah Aceh.
Gua lihat lu pakai emosi bikin beritanya. Seolah maksa mesti kasih hadiah. Buatlah berita dengan niat baik, jangan pakai benci apalagi emosi, beritamu enggak akan clear,” kata bang Indra. Teguran ini menjadi pelajaran berharga selama saya bergabung di kumparan.
ADVERTISEMENT
Perdana Menapakkan Kaki di Jakarta dan Bali
September 2018 kumparan memberikan kesempatan kepada seluruh karyawannya untuk menikmati liburan ke Bali. Rasanya seperti mimpi, saya tidak pernah membayangkan akan terbang ke Pulau Dewata.
Momen ini memiliki kesan tersendiri. Sebab, berkat kumparan akhirnya saya juga menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Jakarta. Ya, saya baru pertama kali ke 'kota Anies Baswedan' tersebut. Melihat secara jelas, bak api menyala berwana emas, tugu bernama Monumen Nasional (Monas) yang menurut catatan sejarah merupakan sumbangan dari pengusaha asal Aceh, Teuku Markam.
Tidak terasa setahun sudah saya ikut mewarnai pemberitaan demi pembaca kumparan. Terima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan hingga saat ini. Banyak kekurangan yang harus diperbaiki dan terus belajar lagi.
ADVERTISEMENT
Selamat ulang tahun kumparan untuk yang ke-2, berharap saya masih bisa terus ikut membantu sama-sama membangun kumparan menjadi platform media nomor satu di Indonesia.
Tetap semangat, jangan lupa minum kopi.
#sekarangkumparan #percayakumparan