Integritas Pendidikan di Tengah Prahara Joki Karya Tulis Ilmiah

Zulfadhli Nasution
Analis Pemberantasan Korupsi pada Direktorat Jejaring Pendidikan KPK
Konten dari Pengguna
8 Maret 2023 17:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zulfadhli Nasution tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seorang sarjana. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang sarjana. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dunia pendidikan Indonesia kembali digegerkan pengungkapan fakta yang sebenarnya jamak terjadi namun laten: perjokian karya tulis ilmiah. Padahal belum saja luput dari ingatan, kasus mantan Rektor salah satu perguruan tinggi negeri di Pulau Sumatera yang didakwa menerima suap dan gratifikasi dalam proses penerimaan mahasiswa baru. Lengkap sudah jenis perilaku koruptif dalam dua kasus tersebut: yang satu berkaitan secara langsung dengan integritas akademis, yang lain berkaitan dengan ekosistem tata kelola pendidikan.
ADVERTISEMENT
Dari sisi antikorupsi, tentu saja kasus-kasus ini merupakan ironi dari salah satu upaya strategi pemberantasan korupsi melalui jalur pendidikan. Kasus-kasus tersebut justru ramai terjadi ketika upaya pendidikan antikorupsi dan pembangunan ekosistem pendidikan berintegritas diupayakan secara lebih sistematis dan terstruktur melalui jalur pendidikan formal dari jenjang dasar hingga tinggi dengan harapan akan muncul lulusan yang berkarakter selain berpengetahuan.
Hingga akhir tahun lalu, pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, terdapat 22.844 (10%) sekolah yang mencatatkan diri melalui Data Pokok Pendidikan (Dapodik) telah mengimplementasikan pendidikan antikorupsi. Sedangkan peraturan kepala daerah yang terbit untuk mengimplementasikan pendidikan antikorupsi sudah terdapat di 24 provinsi dan 374 kabupaten/kota.
Sementara itu pada jenjang pendidikan tinggi, tercatat 18.739 (64%) program studi yang telah mengimplementasikan pendidikan antikorupsi berdasarkan isian mandiri pada data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) sebagai implementasi Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi. Sebenarnya, sudah terbit pula Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2021 tentang Integritas Akademik dalam Menghasilkan Karya Ilmiah.
ADVERTISEMENT
Yang teranyar, para pimpinan perguruan tinggi negeri telah berkomitmen untuk melaksanakan penguatan integritas ekosistem difasilitasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 15 November 2022 di Yogyakarta. Forum itu menyepakati 12 area berisiko dan 8 perangkat pencegahannya, baik yang berkaitan dengan integritas akademik maupun ekosistem tata kelola.
Berbagai upaya tersebut nampaknya masih harus menempuh jalan terjal untuk mencapai hasil yang berdampak jika dilaksanakan sebagai business as usual. Seluruh pemangku kepentingan dan kebijakan perlu kembali mereorientasi upaya-upaya yang dilakukan secara lebih mendasar dibandingkan upaya kelengkapan administratif belaka.

Kapitalisme Akademis

Yang menarik, perilaku koruptif dalam dunia pendidikan tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara yang dikategorikan lebih maju seperti Amerika Serikat. Salah satu platform penyedia film daring mengangkat fenomena tersebut yang kasusnya baru diungkap oleh otoritas hukum Amerika Serikat sejak 2019 dengan judul Operation Varsity Blues: The College Admissions Scandal. Kasus ini dianggap sebagai kasus terbesar di dunia pendidikan karena melibatkan lebih dari lima puluhan orang termasuk banyak kalangan elite dalam kecurangan penerimaan anak atau kerabatnya sebagai mahasiswa baru di kampus-kampus ternama termasuk Ivy League, dengan cara merekayasa hasil ujian atau asesmen yang tentu saja melibatkan suap atau gratifikasi.
ADVERTISEMENT
Salah satu analisis yang disebut sebagai alasan terjadinya hal tersebut adalah “kapitalisme akademis.” Secara ringkas hal itu terjadi ketika gelar, termasuk status menjadi mahasiswa di kampus-kampus ternama menjadi komoditas. Walaupun secara kompleks tentu saja hal tersebut karena berkelindan juga dengan dunia kependidikan secara umum bahkan di dunia global yang sangat berkejaran dengan status (baca: pemeringkatan), dan (berputar seperti telur atau ayam dahulu) pada akhirnya akan menentukan pundi-pundi pendapatan bagi institusi pendidikan termasuk individu-individu di dalamnya.
Menggunakan kategori Max Weber tentang kapitalisme politik, Jessop (2017, 2018) menganalogikannya dengan kapitalisme di dunia akademis, yang salah satu bentuknya adalah aktivitas predatoris, selain dua yang lain: penggunaan kuasa dan dominasi; serta hubungan tidak biasa dengan otoritas politik. Dalam dunia akademis, aktivitas predatoris dapat berbentuk korupsi baik berskala kecil maupun besar, penyalahgunaan dana publik, calon peserta didik palsu (false prospectus), pembebanan biaya berlebih, kecurangan oleh peserta didik, tenaga pendidik, tenaga kependidikan, dan peneliti yang mengarah pada reputasi atau pendapatan.
ADVERTISEMENT
Bentuk lain dari aktivitas predatoris (Jessop merujuk pada Ezell dan Bear, 2006) adalah bermunculannya “pabrik gelar” yang mengobral ijazah, gelar, dan doktor palsu. Tidak kalah pentingnya adalah penerbitan predatoris baik dengan publikasi berbayar atau eksploitasi tenaga penulis, pengulas, dan penyunting.
Kita menyadari bahwa fenomena ini telah menjadi fenomena global, bukan hanya di Indonesia. Satuan pendidikan berada di tengah prahara komodifikasi, sehingga akan terdesak jika tidak memenuhi berbagai kriteria pada aktivitas-aktivitas yang dikategorikan predatoris tadi.
Bagaimanapun, dari sisi antikorupsi demarkasinya jelas: jangan sampai integritas yang tergadai, sebagai budaya inti dari dunia akademik, terlebih jika disertai dengan perbuatan melanggar hukum. Oleh karena itu, menjadi refleksi dan evaluasi bagi berbagai pemangku kebijakan dan kepentingan, bahwa perlu direvitalisasi kembali tujuan pendidikan yang tidak hanya menciptakan pengetahuan (berbasis ekonomis dan penyerapan pasar) semata, tetapi harus tetap diiringi juga dengan etika-etika tertinggi dunia akademis. Kedua hal tersebut seharusnya bisa berjalan beriringan, tanpa mempertentangkan juga antara keduanya.
ADVERTISEMENT
Lagipula, jika dikaitkan dengan kebijakan nasional, menurut ahli ekonomi Ha-Joon Chang (2010) hubungan antara pendidikan, terutama pendidikan tinggi, dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak selalu berbanding lurus. Tanpa mengabaikan pentingnya pendidikan untuk peningkatan kualitas kehidupan, kesejahteraan nasional menurutnya lebih ditentukan oleh kemampuan mengorganisir individu-individu kepada unit-unit usaha dengan produktivitas yang tinggi dibandingkan tingkat dan gelar pendidikan semata.
Dari perspektif strategi antikorupsi, selain dengan peningkatan kualitas implementasi dan internalisasi pendidikan karakter dan antikorupsi, fenomena-fenomena ini seharusnya menjadi titik tolak pembenahan ekosistem tata kelola sektor pendidikan. Tentu saja hal ini membutuhkan penerapan konsekuensi (reward and punishment atau penegakan hukum dan etika profesi) baik bagi yang menjadi teladan maupun yang melanggar.