Media dan Politik: Transparansi Sebagai Upaya Membangun Kepercayaan Publik

Didit Prananda
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin
Konten dari Pengguna
11 Februari 2024 6:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Didit Prananda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari Pers Nasional, yang diperingati setiap tahun pada tanggal 9 Februari, menjadi momentum refleksi kebebasan pers. Sebagai Pilar keempat yang disebut sebagai "Anjing Penjaga Demokrasi", bagaimana sebenarnya media menjaga independensinya?
ADVERTISEMENT
Sejak Pemilu 2014 hingga 2019, kita dapat melihat bagaimana media memiliki afiliasi yang kuat pada politik. Misalnya, grup media Indonesia yang dimiliki oleh Surya Paloh, pendiri Partai NasDem; Viva Grup yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie, yang pada saat itu adalah Ketua Umum Partai Golkar; atau MNC Grup milik Hary Tanoesoedibjo yang pada saat itu baru merintis karir politiknya dengan mendirikan Partai Perindo.
Apakah media boleh mendukung kandidat?
Media memang selalu memiliki keberpihakan, kadang-kadang disengaja karena kepentingan ekonomi politik pemiliknya. Selain di industri televisi, hal ini juga terjadi di media daring. Media Asumsi, misalnya, sejak CEO-nya menjadi Jubir pasangan nomor urut tiga, Asumsi sering mempromosikan program-program Ganjar – Mafud di Pilpres 2024. Selain faktor kepemilikan, bias-bias yang dimiliki oleh wartawan juga bisa menyusup ke produk media, terutama ketika pengawasan yang dijalankan oleh editor atau pemimpin redaksi tidak teliti.
Ilustrasi
Kuatnya hubungan media dengan kepentingan politik ini telah menjadi perhatian banyak pihak, terutama dalam sepuluh tahun terakhir. Ada tiga kekhawatiran yang muncul terkait hal ini.
ADVERTISEMENT
Pertama, Persaingan Politik yang tidak adil. Media bisa mempengaruhi pilihan publik, dan keberpihakan media pada satu kandidat bisa menciptakan persaingan yang tidak adil. Kandidat yang didukung media biasanya lebih sering ditampilkan secara positif dan memiliki citra yang baik di mata publik, dibandingkan dengan kandidat yang tidak didukung media. Hal ini memberikan keuntungan besar dalam pertarungan politik, dan menjadi kekhawatiran tersendiri, tetapi hal ini juga biasanya ditanggapi atas kondisi kepemilikan media di Indonesia yang relatif beragam.
Kita mungkin bisa melihat di dua pemilu terakhir pada tahun 2014 dan 2019, di mana Jokowi mendapat dukungan dari Metro TV dan Prabowo mendapat dukungan dari TV One. Dengan demikian, banyak pihak yang berargumen bahwa hal tersebut sah-sah saja dan adil karena keduanya sama-sama memiliki media sebagai corongnya. Tetapi kondisi ini memunculkan kekhawatiran yang kedua, yaitu Polarisisasi dalam Politik.
ADVERTISEMENT
Perlu di ketahui otak manusia memiliki kecenderungan untuk menyaring dan menilai informasi berdasarkan pengalaman, kepercayaan, dan preferensi pribadi, fenomena ini biasa disebut sebagai bias kognitif. Selain itu, manusia juga memiliki kecenderungan untuk menyukai orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya sendiri, hal ini disebut dengan bias kedekatan atau bias Afinitas, dan keberpihakan media bisa mengamplifikasi dua bias manusia ini, sehingga melahirkan polarisasi di masyarakat, di mana masyarakat terpecah dalam kubu masing-masing, hanya mengonsumsi informasi yang memperkuat kepercayaan masing-masing dan tidak berusaha memahami perspektif yang berbeda. Polarisasi juga membuat orang-orang lebih rentan percaya pada misinformasi dan Hoaks karena lebih digerakkan oleh keinginan mendukung kepercayaan pribadi masing-masing ketimbang mendapatkan informasi yang akurat. Polarisasi politik yang diperkuat oleh media ini menciptakan kekhawatiran ketiga dengan masalah yang lebih besar, yaitu demokrasi semu.
ADVERTISEMENT
Demokrasi semu di dalamnya warga tampaknya memiliki pilihan dan berpartisipasi dalam politik untuk menentukan pilihannya dan nasibnya sendiri, tetapi pada kenyataannya, pilihan dan partisipasi publik lebih didominasi oleh agenda elite atau mereka yang telah mengakumulasi kekuatan politik dan ekonomi, sehingga apa pun pilihan kita pada akhirnya yang diuntungkan tetap para elit, bukan publik.
Noam Chomsky dan Edward S. Herman memiliki hipotesis bahwa media memiliki peran dalam "manufacturing Consent" dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai "merekayasa persetujuan". Mereka berargumen bahwa dalam sistem ekonomi politik kapitalistik, pilar-pilar dalam masyarakat, seperti bisnis, institusi media, pemerintah, dan institusi politik, pada pokoknya berorientasi pada keuntungan. Media merupakan salah satu bagian dari jaringan ini dan memiliki tugas yang penting untuk membuat publik menerima dan mengamini sistem ekonomi politik yang ada dan tidak bisa melihat adanya opsi lain atau alternatif lain, selain apa yang telah disediakan oleh para elit ini.
ADVERTISEMENT
Imaji yang digambarkan oleh Chomsky dan Edward S. Herman mungkin terkesan paranoid, namun kuatnya afiliasi media dengan jaringan ekonomi politik yang ada saat ini, membuat kekhawatiran ini terlihat seperti nyata.
Lihat saja, sangat jarang media yang mengambil perspektif dari masalah yang dihadapi oleh masyarakat secara umum, atau menekankan pada komitmen calon pejabat publik terhadap isu-isu tersebut.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa media seharusnya tidak memberikan dukungan kepada kandidat politik. Sebaliknya, media seharusnya mempertahankan agenda publik dan menguji apakah setiap kandidat memiliki komitmen terhadap agenda tersebut, baik melalui program kampanye maupun rekam jejak mereka.
Namun, dalam konteks yang realistis, tampaknya sulit untuk mewujudkan hal tersebut dalam waktu dekat. Di industri televisi, misalnya, protes publik dan teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia pada pemilu 2014 dan 2019 tidak direspon oleh para pemilik media.
ADVERTISEMENT
Kepentingan pemilik terlihat jelas dalam berbagai pemberitaan politik di televisi. Salah satu solusi yang mungkin adalah transparansi, di mana setiap media menyadari dan mempublikasikan potensi konflik kepentingan yang muncul akibat afiliasi politik. Misalnya, MNC Grup harus menyatakan bahwa pemiliknya, Hary Tanoesoedibjo, adalah Ketua Umum Partai Perindo yang mendukung pasangan nomor urut tiga, begitu juga dengan media Indonesia yang dimiliki oleh Surya Paloh sebagai pendukung kandidat nomor urut satu. Transparansi ini penting bagi para audiens karena media adalah bisnis kepercayaan. Jika publik mengetahui dan menyadari afiliasi politik dan ekonomi media, mereka dapat lebih cermat dalam menilai potensi bias dalam pemberitaan tertentu.
Sebagai contoh, Jakarta Post pada pemilu 2014 memberikan contoh yang baik dengan menyatakan dukungannya pada Jokowi dalam salah satu kolom editorialnya. Dengan menunjukkan posisi editorial seperti ini, publik atau audiens dapat menilai apakah pemberitaan Jakarta Post cukup adil atau tidak. Hal ini berbeda dengan media lain yang bersembunyi di balik kesan "Netral" namun sebenarnya digunakan sebagai alat oleh kepentingan politik pemiliknya.
ADVERTISEMENT
Meskipun opsi ini jauh dari kata ideal dan tampaknya sulit diterapkan pada pemilu 2024, transparansi dapat menjadi langkah awal yang penting. Dengan demikian, di tengah kongkalikong antara media dan politik yang terus berlanjut, publik dapat memiliki akses ke informasi yang lebih jelas dan memahami dinamika yang terlibat dalam liputan politik.