Korupsi, Politik Dinasti, dan Sindrom Negara Lembek

Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang
Konten dari Pengguna
30 April 2024 17:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Israr Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Walaupun pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sudah ditetapkan KPU sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, tetapi isu politik dinasti sebagai bagian dari aneka bentuk kecurangan pemilu lalu tetap akan hidup dan aktual. Bukan hanya karena Gibran akan menjabat wapres untuk lima tahun ke depan, tetapi juga karena isu ini dianggap krusial dan harus menjadi “PR” bangsa.
ADVERTISEMENT
Masalah politik dinasti merupakan puncak gunung es dari penyakit klasik bangsa kita sejak lama, yakni KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Masalah krusial ini tak kunjung terjawab secara memuaskan, bahkan terasa makin mengkhawatirkan. Dimensi lemahnya penegakan hukum dan kekacauan pelaksanaan sistem politik dominan dalam menjelaskan kesulitan negeri ini keluar dari jeratan gurita korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sejatinya hambatan hukum dan politik hanyalah “hilir” dari segala kompleksnya persoalan KKN yang mendera negara bangsa Indonesia. “Hulu” dari aneka persoalan itu terkait dengan involusi kebudayaan yang membuat sistem nilai yang berlaku di masyarakat dan pemerintahan menjadi kedodoran.
Pada tahun 1970-an, budayawan Mochtar Lubis secara satiris pernah menyebut aji-mumpung sebagai salah satu ciri manusia Indonesia. Kalau di masa otoriter saja kondisi karakter sosial masyarakat kita sudah sedemikian rapuh, apalagi di zaman serba-materialistik dewasa ini.
ADVERTISEMENT
Kalau gejala involusi kebudayaan ini tak dipecahkan, sulit berharap Indonesia bakal menjadi negara demokrasi dengan peradaban lebih maju, sekalipun memiliki potensi besar untuk semua pencapaian itu. Potensi dimaksud antara lain terkait status Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan posisi alamiahnya sebagai negara dengan wilayah darat dan laut yang luas serta kekayaan alam luar biasa.
Pokok masalahnya, karena elite yang diberi otoritas menyelenggarakan negara dan aktor-aktor demokrasi tak kunjung mampu menyelaraskan potensi besar itu dengan peningkatan kapasitas-kapabilitas negara dan pemerintahan. Indonesia malah cenderung terjebak dalam spiral – meminjam kembali istilah ekonom peraih Hadiah Nobel Gunnar Myrdal (1970) – “negara lembek” (soft state).
Negara lembek terkait absennya disiplin sosial dalam pemerintahan dan bahkan masyarakat. Gurita korupsi di republik ini merupakan implikasi logis lemahnya disiplin sosial. Masalahnya kini, “status” Indonesia pada awal 1970-an itu belum beranjak jauh. Gurita korupsi dan praktik mafia bahkan kian kompleks, mencemaskan dan bahkan mengancam kelangsungan negara bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT

Pelemahan Negara

Negara lembek tentu saja tak optimal menjalankan fungsinya, khususnya dalam melindungi kepentingan warga, keutuhan wilayah dan sumber-sumber kekayaan negara. Negara lembek juga tak kuasa menolak hegemoni kekuatan-kekuatan non-negara yang berdampak sistemik pada kemampuan negara dan pemerintahan menjalankan tugas dan fungsinya.
Dalam sistem demokrasi, keberadaan elemen non-negara yang kuat merupakan pilar penting untuk mengimbangi kekuatan negara. Tapi praktiknya, demokrasi kerap dibajak kekuatan-kekuatan hegemonik tertentu yang cenderung melemahkan fungsi negara dan masyarakat. Elemen non-negara dimaksud bisa dalam wujud kekuatan ekonomi, politik atau gabungan keduanya.
Dari sisi ekonomi, misalnya, dominasi kapitalis besar (asing dan domestik) dalam perekonomian nasional masih terlalu tangguh untuk dikendalikan. Kini ekspansi asing malah kian leluasa merasuk ke sektor-sektor ekonomi strategis atau berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Pemerintah berdalih perihal keniscayaan modal luar menggerakkan ekonomi domestik, tapi faktanya justru lebih menguntungkan asing dan para kolaborator domestiknya.
ADVERTISEMENT
Sementara kepentingan terbesar rakyat kian tenggelam. Kemiskinan, disparitas sosial dan wilayah serta buruknya pelayanan publik tak kunjung terselesaikan. Negara dalam sejumlah kebijakannya malah kian membebani rakyat, seperti pengurangan berbagai subsidi.
Celaka lagi, negara juga gagal mengatasi kekuatan-kekuatan non-negara di dalam negeri yang merusak dan bahkan “merampok” sumber-sumber ekonomi negara, seperti tercermin dari kebijakan “sumir” privatisasi BUMN dan eksploitasi sumber-sumber daya alam. Mendapat peluang, para pemburu rente itu tidak segan-segan merusak atau “mengobral” aset negara demi kepentingan pribadi dan kelompok sendiri.

Tanggung jawab Pemimpin

Kualitas hubungan negara dengan rakyat juga dapat mencerminkan lembeknya negara. Dalam banyak nestapa rakyat, respons negara kalah cepat dibandingkan kepedulian elemen-elemen di luar negara, seperti LSM. Bahkan, dalam beberapa hal, kehadiran dan perlindungan negara tidak terasa.
ADVERTISEMENT
Kita bisa menunjuk pada rendahnya apresiasi negara atas siklus nestapa TKI di luar negeri, tebang pilih penegakan hukum, lemahnya penanganan bencana alam atau juga kegagalan mengatasi berbagai kekerasan, termasuk atas kelompok minoritas.
Dalam menghadapi bencana, umpamanya, lemahnya kapabilitas-kapasitas negara memang ironis. Indonesia merupakan “langganan” bencana alam, tapi manajemen mitigasi dan birokrasi penanganan bencana tak pernah benar-benar direformasi. Realitas ini turut menyumbang pada kegagalan mengurangi potensi dampak bencana.
Kelanjutan korupsi, kolusi, nepotisme dan lemahnya penegakan hukum merupakan “cermin retak” negara lembek yang merugikan kepentingan rakyat dan masa depan bangsa. Gurita korupsi bukan hanya masalah buruknya pemerintahan, tapi juga masyarakat yang terkesan “toleran” terhadap perilaku aji-mumpung: mumpung berkuasa, mumpung ada kesempatan, termasuk dan terutama di era reformasi.
ADVERTISEMENT
Celakanya, keadaan bertambah buruk karena tak ada antisipasi serius. Para elite pemimpin justru terlibat dalam proses pelemahan negara secara sistematis. Demokrasi elektoral hingga ke daerah-daerah tak kunjung memperkuat bangunan sistem politik dan ekonomi yang pro kepentingan publik.
Masalahnya tentu tidak pada demokrasi itu sendiri, melainkan aktor-aktor politik yang tak bertanggung jawab yang bersemayam di berbagai lembaga demokrasi, seperti parpol, parlemen, birokrasi, dan lembaga-lembaga penegak hukum.
Bung Hatta, salah satu simbol pemimpin antikorupsi dalam sejarah Indonesia itu, pernah mengatakan, demokrasi tanpa pemimpin-pemimpin capable, kredibel dan bertanggung jawab justru menjadi kuburan bagi demokrasi itu sendiri.
Paling tidak, kepercayaan publik pada sistem demokrasi bisa memburuk ketika pelaksanaan “pemerintahan daripada yang diperintah” ini tak kunjung melahirkan lapisan pemimpin amanah untuk memperbaiki kondisi rakyat dan negara.
ADVERTISEMENT
Tak ada pilihan lain, para pemimpin sekarang harus menorehkan sejarah baru, berani melancarkan terobosan dalam upaya-upaya pembaruan sistem dan terutama pelaksanaan demokrasi secara fundamental, yang juga akan berdampak positif pada sistem sosial dan budaya masyarakat. Tujuannya supaya pembajakan atas sistem politik maupun ekonomi yang berdampak sistemik bisa dihentikan demi kelangsungan negara bangsa ini.