RUU Kementerian Negara Dinilai Komoditas Transaksi Politik Presiden & Partai

16 Mei 2024 13:51 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peneliti Formappi Lucius Karus di diskusi 'Nasib Murung Bangsa atas Kebijakan RUU KPK dan RKUHP' di Ciputat, Tangerang Selatan, Minggu (22/9/291). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Peneliti Formappi Lucius Karus di diskusi 'Nasib Murung Bangsa atas Kebijakan RUU KPK dan RKUHP' di Ciputat, Tangerang Selatan, Minggu (22/9/291). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
RUU Kementerian Negara jadi perbincangan karena jadi pintu masuk untuk menambah jumlah kementerian di era Prabowo-Gibran nanti. Wacana penambahan kementerian saat Prabowo-Gibran yang terus bergulir memang terkendala aturan.
ADVERTISEMENT
Namun, penambahan kementerian ini dinilai jadi salah satu cara untuk berbagai kekuasaan lebih luas. Mengingat, koalisi Prabowo-Gibran juga terbilang gemuk.
"Mimpi presiden terpilih untuk melibatkan semua kelompok kepentingan dalam kabinetnya jelas berimplikasi pada kapasitas kursi kekuasaan yang ingin dijadikan komoditas dalam transaksi politik antara presiden dan partai ataupun kelompok kepentingan," kata Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Lucius Karus, saat dihubungi, Kamis (16/5).
Rapat Panja Baleg Lanjutkan Pembahasan RUU Kementerian Negara. Foto: Paulina Herasmaranindar/kumparan
UU Kementerian Negara mengamanatkan presiden hanya boleh membentuk 34 kementerian. Lucius juga menilai, putusan MK sebagai alasan DPR "menghidupkan" lagi revisi undang-undang yang "tidur" lebih dari 10 tahun lalu. DPR bahkan bisa memproses RUU itu tanpa harus mengikuti prosedur standar pembentukan undang-undang karena berangkat dari putusan MK.
ADVERTISEMENT
"Padahal tanpa DPR ngeles juga, kita semua tahu bahwa saat ini presiden dan wakil presiden terpilih sedang mempersiapkan kabinet mereka. Keinginan merevisi UU Kementerian itu pasti munculnya dari kebutuhan Presiden dan wapres terpilih menjelang pembentukan kabinet. Alasan ini lebih masuk akal ketimbang melempar ke keputusan MK tahun 2011," jelas dia.
Calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto bersama Gibran Rakabuming Raka bersiap mengikuti rapat pleno terbuka penetapan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih Pemilu 2024 di depan Gedung KPU, Rabu (24/4/24). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Lucius menilai, tak perlu lagi bicara soal etika politik sejak konstelasi Pemilu 2024 bergulir. Langkah ini makin menunjukkan regulasi dibuat memang untuk kepentingan elite saja.
Di sisi lain, Lucius menyebut, makin banyaknya kementerian tidak secara otomatis membuat Prabowo-Gibran lebih leluasa menentukan siapa di posisi mana. Bahkan, bisa jadi yang terjadi sebaliknya.
"Kabinet yang efektif itu jika jumlahnya tak terlalu banyak tetapi tugas dan perannya dibuat sejelas mungkin. Selain itu kualitas pejabat menteri yang akan menduduki posisi menteri juga sangat menentukan," kata dia.
ADVERTISEMENT
"Kalau penentuan figur semata-mata karena kompromi politik, ya maka jumlah kementerian yang semakin banyak tak akan berdampak positif. Justru akan membuat kepala presiden pusing dalam melakukan koordinasi," ucap dia.