Sejauh Mana Demokrasi Membatasi Kita?

Maria Zagitha Aerogya Japira
Mahasiswi S1 Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Satya Wacana
Konten dari Pengguna
4 Agustus 2023 18:21 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maria Zagitha Aerogya Japira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Demokrasi. Foto: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Demokrasi. Foto: Pexels

Esensi dari Demokrasi

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam proses bernegara, diperlukan sebuah sistem yang dapat memberikan arahan dalam penyelenggaraan sebuah negara. Meskipun banyak aspek yang menganggap bahwa demokrasi adalah sistem yang ‘cacat’, namun tidak dapat dipungkiri bahwa demokrasi masih dianggap sebagai salah satu sistem yang paling baik. Keterlibatan masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya dan bagaimana demokrasi mengolah suara rakyat dalam lembaga perwakilan dianggap sebagai salah satu cara terbaik dalam sistem politik.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan perjalanan sejarah yang ada, demokrasi dikatakan telah hadir sejak zaman Yunani Kuno atau sekitar tahun 508-507 SM. Pada zaman tersebut, muncul istilah polis atau negara kota. Istilah ini menjadi istilah pertama yang menggambarkan bentuk demokrasi. Dalam bukunya berjudul Funeral Oration, Pericles menyatakan bahwa Pemerintah Athena dikatakan sebagai bentuk demokrasi karena administrasinya yang dipegang oleh banyak pihak. Di sisi lain, Aeschylus yang merupakan seorang ahli drama juga menyatakan bahwa tidak ada pemerintahan di Athena karena masyarakat Athena dikatakan sebagai pemerintah (Yunus, 2015).
Dalam perkembangannya, pengertian mengenai demokrasi juga hadir melalui beberapa tokoh. Menurut Aristoteles, demokrasi adalah sebuah negara dengan sebuah kebebasan karena melalui kebebasan yang dimiliki, setiap masyarakat yang ada di dalam negara tersebut dapat saling berbagi kekuasaan di dalamnya. Kemudian menurut Sidney Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang di mana keputusan-keputusan di dalamnya secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan secara mayoritas yang diberikan oleh masyarakat dewasa secara bebas (Lutpiani, 2021). Di sisi lain, menurut Abraham Lincoln selaku Presiden Amerika Serikat ke-16, demokrasi dikatakan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Yunus, 2015).
ADVERTISEMENT
Setiap negara tentu memiliki sebuah sistem demokrasi yang diterapkan guna untuk memberikan arahan dalam penyelenggaraan negara tersebut. Sistem demokrasi sendiri dirasa menjadi sistem pilihan terbaik untuk saat ini bagi sebuah negara. Hal ini tentu dilakukan oleh Negara Indonesia. Sebagai negara kepulauan yang memiliki pluralitas dan multikulturalitas, Indonesia menerapkan sistem demokrasi dalam kehidupan bernegaranya. Walaupun demikian, Indonesia mengalami beberapa kali perubahan dalam sistem demokrasinya.

Sejarah Demokrasi di Indonesia

Demokrasi di Indonesia telah diterapkan sejak kemerdekaan Indonesia itu sendiri. Mulai dari kepemimpinan presiden pertama Indonesia yakni Presiden Soekarno hingga saat ini yang dipimpin oleh Presiden Jokowi. Berbeda presiden maka berbeda kepentingan dan sistem demokrasi yang mereka terapkan. Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno serta Presiden Soeharto, sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia memberikan sepenuhnya kekuasaan pada presiden atau dapat dikatakan adanya sentralisasi kekuasaan yang hanya dipegang oleh presiden saat itu.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi adanya batasan terhadap masyarakat yang diberikan oleh pemerintah membuat masyarakat pada saat itu tidak memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat sebagai salah satu proses demokrasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya upaya dari pemerintah yang akan mengincar serta menangkap masyarakat yang menentang pemerintah. Selain itu, pemerintah pada saat itu juga membatasi atau mengontrol media massa untuk menghindari adanya upaya penentangan yang disebarkan melalui media oleh masyarakat dan pihak penentang.
Lengsernya Presiden Soeharto dan adanya proses pemilihan presiden yang melibatkan masyarakat dalam pemilihannya pada saat itu menunjukkan adanya transisi proses demokrasi yang terjadi di Indonesia. Kebebasan masyarakat dalam memilih dan mulai diperbolehkannya proses kebebasan dalam berpendapat dapat dijadikan bukti adanya perubahan dalam sistem demokrasi yang ada di Indonesia. Proses perubahan ini tentu berjalan hingga saat ini dengan salah satu buktinya adalah pernyataan dari presiden saat ini yakni Presiden Jokowi.
ADVERTISEMENT
Pada puncak peringatan Hari Pers Nasional 2019, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pemerintah akan menjamin prinsip kemerdekaan pers dan kebebasan berpendapat, kebebasan yang yang dipimpin oleh tanggung jawab moral, kebebasan yang beretika dan bertata krama, dan kebebasan seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Penyiaran (Kominfo, 2019).
Dengan pernyataan yang telah diberikan, Presiden Jokowi memberikan ruang kepada masyarakat dan media massa dengan kebebasan secara penuh untuk menyuarakan pendapat, kritikan yang kritis serta membangun, dan saran terkait dengan pemerintah yang ada. Namun, adanya hal ini juga berpotensi memberikan tantangan bagi pemerintah karena dapat menimbulkan efek negatif seperti adanya penyebaran ujaran kebencian yang diberikan oleh masyarakat.

Sejauh mana Demokrasi Membatasi Kita?

Melihat adanya potensi tersebut dan kondisi nyata yang ada di Indonesia saat ini, masih adanya batasan yang diberlakukan oleh pemerintah dan hal ini ditunjukkan melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE telah diberlakukan sejak tahun 2008 yang memiliki tujuan utama untuk mengatur penggunaan teknologi dan transaksi elektronik.
ADVERTISEMENT
Kebebasan akan berpendapat juga menjadi salah satu kajian yang tertuang dalam undang-undang tersebut. Namun di satu sisi, terdapat aspek yang dirasa akan membatasi adanya kebebasan berpendapat dan aspek tersebut adalah dilarang adanya penghinaan dan/atau pencemaran nama baik seseorang.
Pada tanggal 31 Juli 2023 yang lalu, ramai pemberitaan akan salah satu akademisi yang dilaporkan atas anggapan melakukan penghinaan terhadap Presiden Jokowi oleh beberapa relawan Jokowi. Akademisi tersebut adalah Rocky Gerung yang merupakan seorang pengamat sekaligus aktivis politik yang kini aktif menyuarakan pendapatnya melalui pembuatan konten di kanal YouTube pribadinya yang bernama “Rocky Gerung Official”.
Pernyataan yang diungkapkan dirinya melalui video Aksi Aliansi Sejuta Buruh telah dianggap oleh beberapa masyarakat terkhususnya para relawan Jokowi menghina Presiden Jokowi. Hal ini juga dikarenakan adanya kata atau kalimat kasar yang dilontarkan oleh beliau dalam video tersebut.
ADVERTISEMENT
Menanggapi isu yang dilakukan oleh Rocky Gerung melalui video tersebut, banyak pandangan yang dapat dilihat terkait dengan kebebasan berpendapat sebagai komponen dalam mencapai sebuah demokrasi seutuhnya. Merujuk pada kesesuaian dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Presiden Jokowi, beliau memperbolehkan adanya kebebasan dalam mengutarakan pendapat.
Beliau juga menekankan kepada pemerintah untuk membuka diri seutuhnya terhadap kritikan serta saran yang diberikan oleh masyarakat dalam bentuk apa pun. Pandangan ini kemudian menunjukkan bahwa hal yang dilakukan oleh Rocky Gerung adalah benar terkait dengan kebebasan berpendapat yang menjadi hak setiap masyarakat Indonesia di negara demokrasi ini.
Tetapi, apakah dengan melontarkan kata-kata kasar termasuk ke dalam proses demokrasi? Perlu diketahui bahwa ada beberapa hal yang kemudian harus diperhatikan dalam kebebasan berpendapat agar kebebasan yang dijalankan pun penuh pertanggungjawaban. Salah satunya adalah hak asasi serta martabat manusia dan batasan hukum yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam menyatakan sebuah pendapat, seorang individu memang memiliki sebuah hak untuk berpendapat tetapi harus dilakukan dengan menghormati hak asasi individu lainnya dan menjaga martabat yang dimiliki oleh seluruh manusia yang ada. Melihat hal yang dilakukan oleh Rocky Gerung tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu tindakan yang mengarah pada adanya unsur penghinaan melalui kata-kata kasar yang dilontarkan dalam video tersebut. Tentu tindakan tersebut dikategorikan sebagai tindakan yang mengarah pada merendahkan atau menjatuhkan martabat seorang individu yang di mana dalam kasus ini adalah Presiden Jokowi itu sendiri.
Tindakan yang mengarahkan pada adanya unsur penghinaan tentu tidak diperbolehkan di dalam undang-undang yang mengatur perihal kebebasan berpendapat. Seperti yang telah tercantum UU ITE Pasal 27 ayat (3) yang menyatakan “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik” memperlihatkan bahwa adanya batasan hukum dalam berpendapat secara bebas.
ADVERTISEMENT
Melihat tindakan yang dilakukan oleh Rocky Gerung tentu dapat dikatakan sebagai tindakan yang melanggar UU ITE tersebut karena muatan kata-kata kasar yang termasuk dalam unsur penghinaan dilontarkan oleh dirinya. Hal ini dapat saja berujung pada tindakan dalam merendahkan martabat dari Presiden Jokowi sebagai representasi dari Negara Indonesia.
Perlu diingat bahwa tindakan kebebasan berpendapat yang mengarah pada merendahkan dan atau menjatuhkan martabat seorang individu bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang dimiliki oleh demokrasi. Sistem demokrasi menghargai hak-hak asasi manusia, persamaan derajat, dan toleransi.
Masyarakat yang hidup dalam negara demokrasi diharapkan dapat menjalankan kebebasan berpendapat secara bertanggung jawab dengan menghormati hak-hak dan martabat yang dimiliki oleh setiap individu tanpa adanya unsur merendahkan dan juga merugikan siapa pun. Dengan demikian, diharapkan bahwa seluruh masyarakat dapat menjalankan hak dan kewajibannya tersebut secara bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT