Perempuan Merdeka di Mata Masyarakat

Hartono
Mahasiswa - Sastra Indonesia - Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
16 Oktober 2022 17:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Feminisme. Artnoe. Foto : Galeri Hartono
zoom-in-whitePerbesar
Feminisme. Artnoe. Foto : Galeri Hartono
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Apa yang terlintas di kepala ketika mendengar kata perempuan makhluk yang lemah, suka bergalau, mood-moodan, ribet karena dandanan, cerewet, dan masih banyak lagi. Jika kita mengingat kembali dalam sejarah manusia yang terdapat dalam kitab suci, perempuan pertama di bumi ini adalah Siti Hawa atau disebut dengan Ummul Basyar yang berarti “Ibu umat manusia” diciptakan oleh Allah setelah diciptakannya Nabi Adam A.S. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa perempuan memiliki hati yang lembut dan sensitif. Hal itu karena perempuan adalah perasa yang baik, memiliki insting yang kuat, terutama bagi seorang ibu terhadap anaknya.
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang kemerdekaan, yang kita dan banyak orang tahu kemerdekaan adalah kebebasan. Namun, jika makna kemerdekaan dari perspektif perempuan, meredeka bagi perempuan berarti sejajar atau setara antara perempuan dan laki-laki. Sebagaimana tercatat dalam 75 tahun Indonesia merdeka. Perempuan memiliki hak konstitusi yang sama dengan warga negara lainya. Tercatat terdapat 40 hak konstitusional perempuan yang terdiri dari 14 rumpun yang harus mendapatkan perlindungan.
Mengutip perkataan tokoh revolusioner apartheid Afrika Selatan, Nelson Mandela, pernah menyatakan "To be free is not merely to cast off one’s chaines, but to live in a way that respects and enhances the freedom of other." Untuk mendapatkan kemerdekaan kita juga harus menghormati dan mengembangkan kemerdekaan orang lain.
ADVERTISEMENT
Secara universal Mandela mengatakaan bahwa perjuangan kemerdekaan berarti tidak hanya memerdekakan untuk kaumnya sendiri. Paham kemerdekaan kemanusian yang universal ini mengembangkan pemahaman bahwa setiap orang berhak untuk mengembangkan kemerdekaannya sendiri.
Lalu, apakah perempuan di Indonesia sudah merdeka? Melihat masih kuatnya budaya patriarki yang ada dalam budaya masyarakat kita. Dalam banyak literatur-literatur perempuan selalu dianggap kelas dua dibandingkan pria. Hal ini dapat dipahami pada saat masa sekolah. Pada saat pelajaran bahasa Indonesia tentunya terdapat cerita dalam sebuah kalimat:
Bapak pergi kerja sedangkan Ibu ke pasar.
Bapak membaca koran sedangkan Ibu memasak di dapur.
Secara paham feminisme kalimat di atas seolah legitimasi bahwa tanggung jawab seorang laki-laki hanya sebatas mencari nafkah, dan sedangkan perempuan hanya mengurus rumah.
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab pertanyaan di atas, apakah perempuan di indonesia sudah merdeka? Agar lebih spesifik dan akurat supaya tulisan ini tidak dikatakan sebagai sebuah karangan penulis saja. Di sini saya mengambil data dari penelitian kesenjangan gender di antara negara-negara di Asia Tenggara, dan dalam kesepuluh peringkat, Indonesia berada di peringkat sepuluh. Ini artinya, dalam hal kesetaraan gender Indonesia masih tertinggal dibanding negara berkembang lain seperti Laos, Filipina, Vietnam dan Thailand.
Jika kita melihat berdasarkan pertumbuhan penduduk Badan Perencanaan Pembangunan (Bappenas), Badan Pusat Statistik (BPS) dan United Netion Population Fund (UNPA) jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2018 sebanyak 265 juta jiwa. Dari jumlah ini sebanyak 131.88 juta jiwa berjenis kelamin perempuan. Artinya, dari separuh jumlah penduduk Indonesia adalah perempuan.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia pendidikan saat ini jumlah mahasiswi perempuan tidak sedikit, dan jika kita melihat lebih dalam lagi secara bidang, bidang farmasi dan keperawatan lebih banyak mahasiswi perempuan dari pada mahasiswa laki-laki. Sedangkan dari bidang teknik dan fisika terlihat masih sangat jarang mahasiswi yang menggeluti bidang sains, teknologi dan engineering. Padahal, dalam dunia pendidikan saat ini sudah sangat jelas bahwa jumlah mahasiswi perempuan tidaklah sedikit. Namun, secara tidak langsung ini turut mengurangi kepercayaan diri perempuan untuk melanjutkan pendidikan, melepaskan diri dari stigma-stigma perempuan soal pendidikan. Salah satunya, yang sering sekali saya mendengar kalimat “Perempuan ngapain sekolah tinggi-tinggi, nanti akhirnya juga cuma di dapur doang.”
Secara khusus, terlebih di Indonesia terkadang masih terdengar nyaring atas stigma-stigma terhadap perempuan. Perempuan-perempuan hidupnya tidak terlepas dari omongan-omongan dan komentar-komentar. Belum nikah dikomentarin “Kapan nikah? Umur segini kok belum nikah, mau jadi perempuan tua ya? Umur segitu nanti susah lho dapatin jodoh.” Terus udah nentuin jadi ibu rumah tangga dikomentarin lagi “Kenapa tidak kerja? Kasihan gelar sarjananya tuh.” Pas udah kerja masih dikomentarin lagi “Asik kerja saja mending jadi Ibu rumah tangga. Kasihan ya anaknya dititipin”
ADVERTISEMENT
Melihat omongan dan komentar-komentar di atas, tentu kita dapat mengetahui bahwa keputusan-keputusan hidup seorang perempuan banyak dipengaruhi oleh masyarakat kita yang mengkontruksikan bahwa jika menjadi perempuan harus seperti ini dan harus seperti itu. Oleh karena itu, menjadi perempuan merdeka adalah ketika perempuan bebas memilih keputusan, memimpin, dan berkarier. Inilah, makna kemerdekaan yang sesungguhnya.