Jejak Harimau Jawa di Tanah Jawa: Diburu Belanda dan Warga hingga Punah

26 Maret 2024 20:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Harimau Jawa. Foto: Sigit Adhi Wibowo/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Harimau Jawa. Foto: Sigit Adhi Wibowo/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penemuan rambut hewan diduga milik harimau jawa di Sukabumi Selatan, Jawa Barat, membuka kembali tabir kelam pembantaian predator puncak di pulau Jawa pada abad ke-17 hingga ke-20.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum harimau jawa dinyatakan punah oleh IUCN pada 1980-an, Pulau Jawa dihuni oleh sejumlah predator buas yang berkeliaran di hutan belantara, di antaranya macan tutul jawa, macan kumbang, dan harimau jawa. Namun, ketiganya dihadapkan pada kenyataan: Manusia tidak suka mereka karena dianggap hewan pengganggu.
Dikutip dari Mongabay, sebelum harimau jawa dianggap sebagai hewan pengganggu, petani atau peladang menganggap hewan buas ini sebagai sahabat. Macan –sebutan untuk harimau jawa, macan kumbang, dan macan tutul jawa– telah membantu mereka mengurangi keberadaan hewan merugikan, seperti babi hutan, rusa, dan monyet.
Sesekali, hewan buas ini juga memangsa hewan ternak, karena habitat mereka bersinggungan dengan lahan warga. Menurut Robert Wessing, antropolog dan peneliti dari Universitas Leiden, Belanda, hubungan manusia dan macan terlihat ambigu. Kadang bersekutu, tapi kadang jadi sumber bencana.
ADVERTISEMENT
Malapetaka harimau jawa dimulai pada abad ke-17, ketika manusia terus berkembang dan memaksa pembukaan lahan guna keperluan pemukiman dan pertanian. Harimau mulai diburu untuk dibunuh karena menjadi ancaman penduduk. Pemerintah kolonial memimpin pembantaian besar-besaran harimau di Jawa dan Bali.
Ilustrasi pohon di hutan Foto: Dok. KLHK
Historia melansir VOC di Batavia mengadakan sayembara berhadiah bagi penduduk yang berhasil menangkap atau membunuh hewan buas tersebut. Pemberian hadiah ini dilakukan sejak tahun 1640-an. Hadiah yang dijanjikan juga dinilai sangat besar, cukup untuk memenuhi kebutuhan berasnya selama satu tahun.
Akibat perburuan besar-besaran ini, menurut sejarawan Peter Boomgard, sekitar 26 ekor harimau telah dibunuh di daerah yang berdekatan dengan Batavia antara pertengahan Oktober 1746 hingga akhir Agustus 1747.
Sementara itu, periode September 1747 hingga 1748, sekitar 80 ekor harimau yang dibunuh. Tak hanya harimau, lebih dari 500 ekor badak menjadi sasaran buruan karena dianggap sebagai hewan pengganggu dalam rentang waktu tersebut.
ADVERTISEMENT
Boomgaard mengatakan masa itu terjadi perubahan pandangan budaya. Raja-raja Jawa disebutnya kerap memiliki kandang harimau dalam istana. Keberadaan kandang ini berkaitan dengan ritual yang dikenal rampogan sima atau macan .
Dalam tradisi rampogan macan, seekor harimau jawa akan disimpan di sebuah kandang. Harimau jawa tersebut merupakan hasil buruan di hutan sekitar Kediri, Blitar, dan Tumapel. Saat ia keluar, di hadapannya ada seekor kerbau besar. Sementara itu, manusia berdiri melingkar di sekeliling keduanya membentuk arena duel.
Kedua hewan itu biasanya dipaksa mengamuk. Kerbau disiram air cabai, sementara harimau disundut besi panas. Kerbau tidak selalu sendiri saat menghadapi harimau. Apabila ukuran tubuh kerbau yang akan bertarung terbilang kecil, maka harimau dipaksa menghadapi beberapa kerbau sekaligus. Keduanya diadu sampai salah satu kalah atau mati. Harimau jawa yang gesit dan ganas tak selalu keluar sebagai juara.
Ilustrasi harimau. Foto: Arif Firmansyah/Antara Foto
Pertarungan ini mulai berubah bentuk memasuki abad ke-18. Harimau bukan hanya diadu dengan kerbau tapi juga dengan manusia.
ADVERTISEMENT
Rampogan di Kesultanan Yogyakarta digelar secara berkesinambungan sejak 1791 kala perayaan Idul Fitri dan Tahun Baru Islam. Waktu ini dipilih karena umat Muslim tengah memulai hari baru dalam siklus hidupnya. Dosa-dosa di masa lalu dianggap telah gugur. Di sisi lain, harimau disimbolkan sebagai dosa-dosa itu.
Sebagai perwujudannya, harimau jawa diadu sampai mati dengan manusia. Masyarakat tetap diizinkan menyaksikan acara itu. Bahkan acara ini terkadang dihelat secara khusus untuk menyambut tamu-tamu asing sultan. Perhelatan di hadapan orang asing ini merupakan simbolisasi kekuatan militer Kesultanan Yogyakarta.
Selain semacam uji nyali dan unjuk gigi prajurit istana, ini juga disebut sebagai simbol penjajahan. Sialnya, macan ditaruh sebagai manifestasi bangsa penjajah. Di Yogyakarta, acara itu kian kehilangan makna pentingnya. Sementara Kasunanan Surakarta masih menggelar rampogan sampai abad ke-19.
ADVERTISEMENT
Sekitar ratusan harimau jawa disebut dibunuh di kawasan Brebes, Tegal, dan Pemalang (Jawa Tengah) pada 1860-1890. Perburuan itu berlanjut hingga masa orde baru. Pada 1999-2002, ketika pergantian penguasa Orde Baru ke Orde Reformasi, banyak hutan yang dibabat dengan dalih pembangunan dan perluasan perkebunan.
Bagaimanapun, perburuan di masa kolonial dan rampogan macan memainkan peran penting dalam kepunahan harimau jawa. Berdasarkan cacatan, Hewan jawa terakhir kali muncul di Meru Betiri Taman Nasional, Jawa Timur, pada 1976. Sebelumnya akhirnya dinyatakan punah pada 1980-an.
Penemuan rambut diduga harimau jawa di Sukabumi membawa harapan baru tentang keberadaannya yang masih menjadi misteri. Meski rambut yang ditemukan mirip 98,23 persen dengan harimau jawa, ilmuwan BRIN belum bisa memastikan apakah spesies yang dinyatakan punah selama 43 tahun itu masih hidup di alam liar atau tidak. Wirdateti, peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi di BRIN, dan tim mengatakan butuh studi genetik dan lapangan lanjutan untuk mengonfirmasinya.
ADVERTISEMENT