Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Konten dari Pengguna
Pendidikan Tanpa Kekerasan atau Pendidikan Tanpa Kendali?
25 November 2024 11:59 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Husnul Khotimah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Guru saat ini menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan perannya sebagai pendidik. Ketika seorang guru memberikan punishment atau hukuman, bahkan dalam bentuk sederhana seperti teguran tegas atau hukuman ringan karena siswa tidak mengerjakan tugas atau melanggar kedisiplinan tindakan tersebut bisa saja dianggap melampaui batas. Tidak jarang, orang tua melaporkan guru kepada pihak berwenang yang dalam beberapa kasus dapat berujung pada proses hukum dan bahkan lapas. Peristiwa semacam ini menjadi sorotan publik dan bahan refleksi bagi dunia pendidikan.
ADVERTISEMENT
Perubahan zaman membawa ekspektasi baru dari masyarakat terhadap cara mendidik. Jika dulu tindakan fisik seperti pukulan ringan atau hukuman fisik lainnya sering dianggap sebagai metode yang efektif untuk mendisiplinkan siswa, kini pendekatan tersebut dianggap melanggar hak asasi manusia dan berdampak negatif terhadap kesehatan mental siswa.
Perubahan paradigma ini membuat guru berada dalam posisi yang sulit. Di satu sisi, mereka dituntut untuk mendisiplinkan siswa agar tercipta suasana belajar yang kondusif. Di sisi lain, mereka harus berhati-hati agar tidak melanggar batasan yang dapat dianggap mencederai hak siswa. Akibatnya, banyak guru merasa tidak berdaya dalam menjalankan tugasnya karena takut tindakan mereka disalahartikan atau dilaporkan kepada pihak berwenang.
Namun, penting untuk diingat bahwa tindakan kasar dalam bentuk apa pun memang tidak boleh dilakukan, terutama di era modern yang menekankan pendidikan tanpa kekerasan. Guru perlu memahami bahwa setiap siswa memiliki kebutuhan emosional yang berbeda dan kesehatan mental mereka harus menjadi prioritas utama. Menurut survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), kasus mental di Indonesia diukur dari jumlah remaja yang mengalami kasus gangguan mental ketika berada pada usia sekitar 10-17 tahun. Survei tersebut menunjukkan bahwa 1 dari 3 remaja memiliki masalah kesehatan mental, sementara 1 dari 20 remaja memiliki gangguan mental. Hal tersebut setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, dunia pendidikan harus bergerak maju dengan memberikan pelatihan bagi guru tentang metode pengajaran yang lebih ramah dan efektif. Guru bisa menggunakan pendekatan disiplin yang tegas namun humanis, seperti konseling, diskusi, atau pemberian tanggung jawab khusus.
Selain itu, pemerintah dan institusi pendidikan juga harus memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi guru yang bertindak sesuai dengan kode etik, sehingga mereka dapat mendidik dengan percaya diri tanpa takut dirugikan. Dengan demikian, keseimbangan antara disiplin dan perlindungan hak siswa dapat tercapai dengan menciptakan lingkungan belajar yang sehat dan mendukung perkembangan semua pihak.