Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Perlukah Menikah, Jika Bisa Hidup Mandiri?
4 November 2024 17:05 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Defania Hellen Farlina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini sedang muncul tren di X (Twitter) isu mengenai "Marriage is scary" yang berarti "Pernikahan itu menakutkan". Pernyataan ini menimbulkan pro dan kontra oleh berbagai pihak. Tetapi yang menarik adalah isu ini direspon oleh sebagian besar kaum perempuan. Dahulu, menikah dianggap sebagai sebuah impian bagi kebanyakan orang. Ada yang tidak sabar untuk segera menikah atau bahkan memilih menikah di usia yang terbilang masih dini.
ADVERTISEMENT
Namun, semenjak tren tersebut muncul, semakin banyak mendatangkan perspektif baru tentang pernikahan di pikiran orang-orang khususnya para perempuan. Kini menikah menjadi suatu fenomena menarik untuk dikaji, mengingat banyaknya anggapan yang menyebutkan bahwa menikah nantinya hanya menyebabkan kerugian atau menghilangkan kebebasan.
Kali ini menyoroti isu "Marriage is scary" dari sudut pandang sebagai seorang perempuan. Mengapa harus perempuan? Mengapa bukan laki laki? Sederhana saja, karena melihat isu ini banyak dikomentari dan ditanggapi oleh kalangan perempuan pada media sosial.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nikah diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi) atau pernikahan. Pernikahan adalah perjanjian antara dua pihak, laki-laki dan perempuan. Dalam sebuah hubungan pernikahan sudah seharusnya kedudukan antara suami dan istri setara, tidak ada yang menjadi atasan atau bawahan. Bahkan semestinya tidak ada yang berlagak jadi raja dan pengurus rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan pernikahan, bukankah sebenarnya laki-laki dan perempuan harus saling melengkapi? Tidak ada yang saling mendominasi dan merasa paling berkuasa dalam kehidupan rumah tangga. Namun hal tersebut hanya basa basi semata, masih banyak kehidupan pernikahan yang menempatkan posisi perempuan dan laki-laki tidak sejajar. Laki-laki biasanya akan duduk di kursi, lalu membiarkan istrinya duduk di lantai.
Dengan kata lain, suami biasanya akan merasa bahwa dirinya lah yang berkuasa dalam rumah tangga, sehingga memperlakukan istrinya dengan semena mena, memerintah dengan seenaknya, atau bahkan enggan mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan menganggap bahwa semua tugas rumah tangga adalah kewajiban istri. Ketidaksetaraan dan dominasi dalam kehidupan pernikahan inilah yang menjadi alasan besar mengapa isu "Marriage is scary" menjadi tren hangat saat ini.
ADVERTISEMENT
Patriarki dalam Kehidupan Rumah Tangga
Isu ini juga terkait budaya patriarki yang masih kental di Indonesia. Bahkan sebagian besar kehidupan rumah tangga mengadopsi nilai-nilai ini. Pelaku patriarki adalah laki laki, yang menganggap bahwa dialah yang memegang otoritas atas istri dan anak anaknya. Patriarki merupakan sebuah sistem yang sudah mendarah daging menyebabkan ketidakseimbangan posisi antara perempuan dan laki-laki. Siapa yang dirugikan oleh sistem ini? Sudah jelas adalah kaum perempuan, sehingga menyebabkan tren ini menjadi sebuah solusi atas berbagai pengalaman buruk perempuan korban patriarki dalam rumah tangga.
Perempuan biasanya diminta mengerjakan urusan rumah tangga sedangkan lelaki pergi bekerja mencari nafkah. Perempuan disuruh untuk menjaga anak padahal itu adalah tanggung jawab bersama. Bahkan ditempat umum atau transportasi umum, sering kali kita melihat para perempuan yang kesusahan dalam mengurus anak balita nya, sedangkan sang suami hanya diam saja. Dan yang lebih tidak masuk akal, perempuan diperlakukan seenaknya layaknya pembantu rumah tangga yang digaji oleh nafkah suami.
ADVERTISEMENT
Dan yang lebih parah adalah, banyak perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akibat sosok laki laki yang menganggap dirinya adalah sosok pemimpin dan dominan dalam pernikahan. Sehingga sesukanya main tangan dengan perempuan. Hal ini bahkan terjadi pada banyak publik figur. Seperti yang dialami oleh Cut Intan Nabila, seorang selebgram yang telah mengalami KDRT sejak tahun 2020. Dari pengakuan si pelaku, dia sudah melakukan KDRT sebanyak 5x. Dengan kata lain, walaupun sebaik, secantik dan se-high value apapun kelihatannya, tidak menjamin akan memiliki suami yang baik dan tidak kasar.
Berdasarkan data dari Simfoni PPA 2024 korban KDRT laki-laki pada angka 4.452 sedangkan perempuan 17.640. Bentuk kekerasan itu bisa saja fisik, psikis, seksual, eksploitasi. Sebanyak 3. 165 kasus adalah korban suami/istri.
ADVERTISEMENT
Jika dipikir-pikir, mengerikan sekali bukan? Bayangkan ketika menikah, dirasa akan bahagia menjalankan hidup bersama, ternyata suami adalah sosok yang kasar baik secara fisik atau verbal. Pernikahan dapat menjadi mimpi buruk bagi perempuan.
Perselingkuhan dalam Rumah Tangga
Selain KDRT, mungkin hal ini menjadi salah satu yang begitu dikhawatirkan dalam rumah tangga. Perselingkuhan sebenarnya bukan masalah yang baru, namun dalam hal ini, lagi lagi yang menjadi korban kebanyakan adalah perempuan. Jika sudah mengalami isu perselingkuhan dalam rumah tangga, tentu perempuan akan merasa sangat dirugikan. Yang pertama pasti karena trauma. Kedua, karena perempuan biasanya memiliki banyak pertimbangan. Tidak jarang seorang istri memilih diam dan bertahan ketika suami nya berselingkuh, dengan salah satu alasan agar anaknya tidak kehilangan sosok ayah, atau mungkin karena takut terjadi kekerasan apabila sang istri bereaksi yang berlebihan.
ADVERTISEMENT
Rasanya, ini menjadi fenomena yang rasional jika melihat dari banyaknya kasus KDRT dan perselingkuhan dalam rumah tangga. Kembali lagi, semua ini disebabkan oleh sistem patriarki yang mengedepankan posisi laki-laki dibanding perempuan. Perempuan-perempuan saat ini bisa dikatakan sebagai sosok yang berpikiran maju, berpikiran kedepan, dan modern. Mengapa demikian? Karena dewasa ini sudah banyak perempuan yang memilih hidup mandiri, dengan karir dan penghasilan sendiri. Tidak mau bergantung pada laki-laki dan merasa bahagia dengan kehidupan pribadinya.
Tentu, banyak perempuan kontemporer saat ini yang berpikir rasional dengan memperhitungkan masa depannya. Jika sudah memiliki penghasilan sendiri, pekerjaan yang cemerlang, dan bisa menikmati hidup tanpa sosok suami, lantas untuk apa menikah? Jika ujung-ujungnya diperintah ini itu, disuruh meninggalkan karir, mengurus rumah tangga, atau justru dikasari oleh suami?
ADVERTISEMENT
Tetapi agaknya, fenomena ini bisa disikapi lebih kritis lagi. Perempuan dan laki-laki harus memiliki pandangan yang lebih terbuka menanggapi isu “Marriage is scary”. Mestinya ini menjadi peringatan, bahwa pernikahan itu dibangun antara dua orang, laki-laki dan perempuan. Laki-laki harus sadar bahwa hak dan peran antara mereka adalah setara dan tidak seenaknya dalam mengatur urusan rumah tangga. Sedangkan perempuan harus membangun kesadaran bahwa ia berhak bersuara, berpendapat, dan bertindak setara dengan suaminya.