Konten dari Pengguna

Presumptive Tax dalam PPh Final UMKM

Agung Ramadhan
Praktisi Perpajakan, ASN Kementerian Keuangan, Tulisan merupakan opini pribadi dan tidak mencerminkan pandangan Instansi.
8 Februari 2025 19:15 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agung Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seorang pengusaha yang melakukan perhitungan keuangan (sumber: freepik)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang pengusaha yang melakukan perhitungan keuangan (sumber: freepik)

Pendahuluan

ADVERTISEMENT
Presumptive tax merupakan penggunaan metode tidak langsung untuk menghitung kewajiban perpajakan yang berbeda dengan perhitungan menggunakan tarif umum (Thuronyi, 2004). Presumptive tax digunakan untuk menederhanakan pemungutan pajak pada sektor-sektor tertentu yang sulit untuk dipajaki menggunakan tarif umum. Contoh penggunaan presumptive tax di Indonesia adalah pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Final atas penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tertentu. Hal tersebut diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Tujuan penggunaan pendekatan presumptive tax adalah untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak UMKM, menyederhanakan administrasi perpajakan, dan mendorong kontribusi Wajib Pajak UMKM dalam struktur penerimaan perpajakan nasional.
ADVERTISEMENT
Meskipun memberikan berbagai kemudahan kepada Wajib Pajak, penerapan presumptive tax di Indonesia juga memberikan berbagai tantangan bagi sistem perpajakan di Indonesia terutama terkait potensi ketidakadilan beban pajak dan pengawasan perpajakan. Ketidakadilan beban pajak ditunjukkan dari pengenaan PPh Final yang dikenakan berdasarkan penghasilan bruto dan menggunakan tarif tunggal 0,5%. Adapun terkait pengawasan perpajakan adalah pentingnya memastikan Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya berdasarkan data yang sebenarnya dan ketersediaan data bagi petugas pajak untuk dapat memeriksa kebenaran pemenuhan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak. Oleh karena itu, diperlukan analisis untuk mengukur manfaat dan dampak atas penerapan kebijakan presumptive tax di Indonesia.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan presumptive tax di Indonesia atas Penerapan PPh Final atas penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tertentu di indonesia dengan berfokus pada aspek implementasi, tantangan, dan potensi perbaikan melalui mekanisme yang lebih adil seperti penggunaan tarif progresif dan kewajiban penggunaan transaksi secara digital. Penggunaan tarif progresif dapat meningkatkan keadilan pengenaan beban pajak dibanding tarif tunggal. Adapun penggunaan transaksi secara digital dapat meningkatkan ketersediaan data pembanding bagi petugas pajak untuk memeriksa pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak.
ADVERTISEMENT

Pembahasan

Konsep Presumptive Tax

Presumptive tax adalah bentuk pendekatan perhitungan pajak secara tidak langsung dengan menggunakan perkiraan yang menjadi dasar penetapan pajak. Presumptive tax menjadi suatu alternatif skema pemajakan yang tidak memerlukan pembukuan keuangan yang kompleks karena presumptive tax menggunakan indikator sederhana seperti omzet, aset, atau faktor-faktor lainnya sebagai dasar perhitungan pajak (Thuronyi, 2004). Dengan pendekatan yang lebih sederhana, beban administratif pemajakan diharapkan akan berkurang dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak diharapkan akan meningkat. Beban administratif Wajib Pajak akan berkurang karena Wajib Pajak diberikan fasilitas untuk cukup melakukan pencatatan sederhana tanpa perlu melakukan pembukuan secara rinci. Dengan beban administratif yang lebih rendah tersebut diharapkan Wajib Pajak akan mudah untuk memenuhi kewajiban perpajakannya dan diharapkan memberikan hasil pada peningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, Pemerintah telah menerapkan sistem presumptive tax yang salah satunya adalah kebijakan PPh Final atas penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak dengan omzet hingga Rp 4,8 miliar dalam satu tahun. Dengan adanya kebijakan tersebut, Wajib Pajak memiliki pilihan untuk menggunakan tarif pajak final 0,5% dari omzet atau menggunakan tarif umum pajak penghasilan. Apabila Wajib Pajak memilih untuk menggunakan skema presumptive tax maka Wajib Pajak tidak perlu menyusun pembukuan melainkan cukup melakukan pencatatan. Adapun pengenaan pajaknya juga lebih sederhana karena cukup mengenakan tarif final 0,5% terhadap omzet setiap bulan. Dengan ksederhanaan dan kemudahan yang disediakan oleh kebijakan tersebut, diharapkan Wajib Pajak yang menggunakan fasilitas tersebut dapat patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sehingga petugas pajak dapat memfokuskan alokasi sumber daya yang ada untuk melakukan pengawasan terhadap jenis usaha atau jenis pemajakan lain yang lebih kompleks.
ADVERTISEMENT
Presumptive tax dapat dihitung menggunakan berbagai variasi metode perhitungan, seperti berbasis omzet, aset, jumlah karyawan, atau indikator-indikator lainnya (Thuronyi, 2004). Pendekatan presumptive tax berdasarkan omzet atau peredaran bruto merupakan pilihan yang digunakan pada PP 55 Tahun 2022 karena mudah untuk diimplementasikan dan mengurangi beban administratif dari sisi Wajib Pajak dan sisi petugas pajak. Akan tetapi, penerapan kebijakan tersebut tidak hanya memberikan manfaat, melainkan juga memberikan tantangan dan juga dampak atas penerapan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan adanya perbaikan atas penerapan kebijakan presumptive tax di Indonesia.

Tantangan Implementasi di Indonesia

Implementasi presumptive tax PPh Final atas penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tertentu di Indonesia dihadapkan atas sejumlah tantangan. Tantangan tersebut berupa ketidakadilan beban pajak, kurangnya data pengawasan, pergeseran perilaku atas insentif.
ADVERTISEMENT
Ketidakadilan beban pajak berpotensi muncul akibat penerapan kebijakan PPh Final atas penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tertentu di Indonesia. Pengenaan PPh Final menggunakan konsep presumptive tax akan mengenakan tarif yang sama dengan hanya berdasarkan peredaran bruto. Akibatnya, usaha dengan margin laba rendah akan menghadapi beban pajak yang lebih besar dibandingkan usaha dengan margin laba tinggi dengan jumlah peredaran bruto yang sama (Bird & Wallace, 2004). Misalnya sebuah toko ritel yang memiliki margin keuntungan 10% dan rumah makan yang memiliki margin keuntungan 50% akan dikenakan tarif pajak yang sama 0,5% berdasarkan peredaran bruto usaha yang diperoleh. Selain itu, perbedaan kondisi ekonomi juga tidak diperhitungkan dalam skema tarif saat ini. Contohnya Wajib Pajak yang memiliki aset bersih yang tinggi akan dikenakan tarif pajak yang sama dengan Wajib Pajak yang memiliki aset rendah selama kedua Wajib Pajak tersebut melakukan usaha dan memenuhi kriteria PPh Final atas penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto teretentu.
ADVERTISEMENT
Kurangnya data untuk tujuan pengawasan berpotensi muncul akibat penerapan kebijakan PPh Final atas penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tertentu di Indonesia. Fasilitas untuk melakukan pencatatan dibanding pembukuan akan memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak. Akan tetapi hal tersebut juga masih menjadi tantangan terhadap Wajib Pajak yang belum melakukan pencatatan usaha secara memadai sehingga kesulitan untuk menghitung besaran pajaknya. Selain itu, pencatatan yang kurang memadai juga akan menjadi tantangan kepada petugas pajak untuk melakukan pengawasan atas pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak karena kurangnya data pembanding atau ukuran untuk memastikan keakuratan dan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak.
Pergeseran perilaku atas insentif berpotensi muncul akibat penerapan kebijakan PPh Final atas penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tertentu di Indonesia. Insentif berupa kemudahan pencatatan dan skema yang sederhana berpotensi untuk mengarahkan perilaku Wajib Pajak agar membatasi ekspansi usahanya agar tetap dalam batasan sehingga tetap dapat menggunakan skema PPh Final dibandingkan menggunakan tarif umum. Contohnya adalah Wajib Pajak yang sengaja untuk menahan laba usahanya tetap tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun atau melakukan pencatatan tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun dengan sengaja agar tetap dapat menggunakan fasilitas PPh Final. Selain itu, penggunaan skema PPh Final dalam jangka waktu lama juga akan berpotensi menyebabkan ketergantungan kepada Wajib Pajak untuk menggunakan skema pemajakan yang sederhana untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
ADVERTISEMENT

Dampak Kebijakan di Indonesia

Penerapan kebijakan presumptive tax PPh Final atas penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tertentu di Indonesia berdampak pada aspek perpajakan di Indonesia. Dampak tersebut berupa peningkatan basis pajak dan penyederhanaan administrasi pajak.
Peningkatan basis pajak terwujud akibat keikutsertaan Wajib Pajak yang menggunakan PPh Final. Wajib Pajak yang sebelumnya tidak terdaftar kemudian mendaftarkan diri menjadi Wajib Pajak dan menggunakan fasilitas skema presumptive tax yang sederhana. Dengan meningkatkan partisipasi Wajib Pajak, basis pajak menjadi lebih luas dan partisipasi masyarakat pun meningkat, khususnya dari perpajakan sektor informal.
Penyederhanaan administrasi pajak terwujud bagi Wajib Pajak yang menggunakan PPh Final. Dengan menggunakan pendekatan presumptive tax, kewajiban perpajakan menjadi lebih sederhana dari sisi Wajib Pajak dan dari sisi petugas pajak. Dari sisi Wajib Pajak, menggunakan pencatatan akan lebih sederhana dibandingkan melakukan pembukuan secara rinci. Selain itu, Wajib Pajak yang menghitung pajaknya secara langsung dengan mengalikan penghasilan bruto dengan tarif final lebih sederhana dibandingkan melakukan perhitungan penghasilan neto dan mengalikan dengan lapisan tarif umum. Adapun dari sisi petugas pajak, pengawasan akan lebih sederhana karena cukup menentukan basis data peredaran bruto yang tepat kemudian menjadi dasar pengenaan pajak yang akan dikalikan dengan tarif pajak final.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, dampak positif tersebut perlu diseimbangkan dengan usulan perbaikan kebijakan agar kebijakan yang ada memberikan manfaat yang maksimal bagi semua pihak dan tidak merugikan pihak-pihak tertentu. Penerapan kebijakan presumptive tax memerlukan evaluasi secara berkelanjutan agar dapat tetap sesuai dengan perkembangan dinamika perekonomian yang terus berkembang (Bird & Wallace, 2004).

Usulan Perbaikan Kebijakan

Untuk meningkatkan efektivitas dan kualitas penerapan kebijakan presumptive tax PPh Final atas penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tertentu di Indonesia, Pemerintah Indonesia dapat mempertimbangkan beberapa langkah perbaikan. Langkah perbaikan tersebut berupa penggunaan tarif progresif, pengutamaan transaksi berbasis digital, dan transisi sistem tarif umum.
Penggunaan tarif pajak progresif dalam kebijakan PPh Final atas penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tertentu. Penggunaan tarif pajak progresif dapat menjadi pertimbangan untuk menciptakan keadilan vertikal yaitu dengan mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi terhadap Wajib Pajak yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih tinggi. Dasar pengenaan tarif dapat ditentukan berdasarkan total kekayaan bersih yang dimiliki Wajib Pajak. Dengan pengenaan tarif progresif berdasarkan total kekayaan bersih, Wajib Pajak yang memiliki nilai kekayaan bersih lebih tinggi akan dikenakan tarif pajak final yang lebih tinggi dibandingkan Wajib Pajak yang memiliki nilai kekayaan bersih yang lebih rendah. Hal tersebut mewujudkan suatu sistem pajak yang lebih berkeadilan karena meskipun jenis usaha dan/atau jumlah omzet yang dihasilkan sama, beban pajak yang ditanggung Wajib Pajak akan berbeda terhadap Wajib Pajak yang memiliki kemampuan ekonomis tinggi dan Wajib Pajak yang memiliki kemampuan ekonomis rendah.
ADVERTISEMENT
Pengutamaan transaksi berbasis digital terhadap Wajib Pajak. Dengan berbasis digital, proses pencatatan oleh Wajib Pajak akan menjadi lebih mudah karena terotomatisasi sistem. Selain itu, proses pengawasan oleh petugas pajak juga menjadi lebih mudah karena ketersediaan data pembanding yang disediakan oleh sistem. Terlebih, perhitungan pajak bahkan penyetoran pajak juga dapat terotomatisasi apabila sistem yang mendukung telah tersedia. Akibatnya sistem pemajakan akan lebih transparan dan memudahkan semua pihak. Pemerintah juga dapat menyediakan insentif perpajakan kepada Wajib Pajak yang menggunakan pencatatan dan/atau metode pembayaran secara digital untuk mendorong Wajib Pajak agar menggunakan transaksi berbasis digital yang lebih mudah dan transparan.
Transisi dari skema presumptive tax menuju skema tarif pajak umum perlu untuk dipersiapkan oleh Pemerintah dan Wajib Pajak. Pemerintah perlu mengedukasi dan menekankan bahwa skema presumptive tax hanya bersifat sementara dan merupakan fasilitas yang terbatas. Adapun yang diharapkan pemerintah dalam jangka panjang adalah seluruh Wajib Pajak akan masuk ke dalam sistem menggunakan tarif pajak umum. Pemerintah juga dapat mulai mewajibkan masa percobaan metode pembukuan dan perhitungan tarif umum bagi Wajib Pajak yang peredaran brutonya telah mendekati batasan Rp 4,8 miliar atau Wajib Pajak yang waktu penggunaan fasilitas PPh Finalnya akan berakhir. Dengan begitu, Wajib Pajak akan lebih memahami dan lebih siap untuk menggunakan tarif pajak umum sesuai dengan yang diharapkan oleh Pemerintah.
ADVERTISEMENT
Negara Rusia dan Ukraina telah menerapkan presumptive tax dengan pendekatan yang lebih fleksibel menggunakan indikator eksternal seperti aset dan jumlah karyawan (Bird & Wallace, 2004). Hal tersebut menunjukkan pentingnya fleksibilitas dan perbaikan kebijakan secara berkelanjutan. Dengan penerapan skema kebijakan yang sesuai dengan kondisi negara, skema pemajakan yang efektif dan efisien dapat terwujud sehingga potensi penerimaan negara dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak diharapkan menjadi optimal.

Kesimpulan

Penerapan presumptive tax dalam bentuk PPh Final atas penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tertentu di Indonesia merupakan bentuk kebijakan perpajakan yang bertujuan untuk menyederhanakan sistem perpajakan. Dampak kebijakan tersebut adalah peningkatan basis pajak dan penyederhanaan administrasi perpajakan bagi Wajib Pajak dan petugas pajak. Dalam penerapannya, kebijakan presumptive tax di Indonesia menghadapi tantangan berupa ketidakadilan beban pajak, kurangnya data pengawasan, pergeseran perilaku atas insentif. Untuk menghadapi tantangan tersebut Pemerintah Indonesia dapat melakukan langkah perbaikan berupa penggunaan tarif progresif, pengutamaan transaksi berbasis digital, dan transisi sistem tarif umum. Dengan pendekatan kebijakan yang lebih fleksibel dan perbaikan kebijakan secara berkelanjutan, potensi penerimaan negara dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak diharapkan menjadi optimal melalui kebijakan perpajakan yang tepat.
ADVERTISEMENT

Daftar Pustaka

Bird, R. M., & Wallace, S. (2004). The Context and Role of Presumptive Taxes. In J. Alm et al. (Eds.), Taxing the Hard-to-Tax. Elsevier.
Indonesia. (2022). Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Jakarta: Kementerian Sekretariat Negara.
Thuronyi, V. (2004). Presumptive Taxation of the Hard-to-Tax. In J. Alm et al. (Eds.), Taxing the Hard-to-Tax. Elsevier.