Konten dari Pengguna

Pembajak Buku: Maling Intelektual dan Parasit di Dunia Literasi Indonesia

Fatih Al Khodhi'
Pekerja Teks Komersil & Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
26 Agustus 2023 18:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fatih Al Khodhi' tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buku. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
“Sudah jatuh, tertimpa tangga pula”, peribahasa tersebut mungkin sangat cocok untuk menggambarkan kondisi dunia literasi di Indonesia. Bukan menjadi sebuah hal yang baru untuk didengar, masing-masing dari kita mungkin pernah mendengar betapa rendahnya peringkat minat baca masyarakat Indonesia. Fenomena tersebut telah dibuktikan dari berbagai macam riset yang pernah mengemuka, riset tersebut menunjukkan bahwa Indonesia selalu berada di barisan paling bawah dalam peringkat literasi dari berbagai macam negara.
ADVERTISEMENT
Salah satu riset yang menunjukkan minat baca masyarakat Indonesia rendah adalah riset dari Program for International Student Assesment (PISA), lembaga tersebut menunjukkan bahwa tingkat literasi Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara yang ada di dunia. Sebuah prestasi yang cukup menjijikkan untuk negara yang luas dan besar ini.
Namun, menjadi hal yang cukup aneh, ketika berbagai macam riset menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara dengan tingkat literasi yang rendah, tetapi disisi lain negara ini juga merupakan sebuah negara yang penduduknya gemar mengkonsumsi bahan bacaan bajakan. Bahkan, maling-maling intelektual (para pembajak) tersebut kehadirannya difasilitasi oleh pemerintah.
Coba perhatikan dengan saksama, pasar-pasar buku bajakan yang terdapat di kota-kota besar di Indonesia, mereka hadir karena fasilitas dari pemerintah, tokonya berdiri di atas lahan milik pemerintah, dan dibina oleh pemerintah. Melihat sederet fakta tersebut, lagi-lagi, saya terkadang jijik mendengar politisi yang berbicara tentang mutu pendidikan di Indonesia, sementara ia tidak memperhatikan salah satu sumber fundamental dari pendidikan, yakni bahan bacaan.
ADVERTISEMENT
Lebih menjijikkannya lagi, buku-buku bajakan yang beredar di pasaran mayoritas memiliki konsumen langganan dari kalangan mahasiswa, kalangan (yang katanya) merupakan kalangan terdidik dan menjadi tulang punggung harapan bangsa di masa yang akan datang. Salah satu alasan para mahasiswa gemar membeli buku bajakan adalah harga buku original yang mereka anggap mahal.
Namun, melihat gaya mahasiswa masa kini yang gemar nongkrong di coffee shop atau hang-out dengan koleganya dan menghabiskan uang yang tidak sedikit untuk hal tersebut merupakan sebuah fakta yang lagi-lagi menjijikkan bagi penulis ketika mereka harus membeli buku yang sifatnya bajakan untuk menunjang kegiatan akademik perkuliahan mereka.
Lebih lanjut, profesi pembajak buku sama halnya dengan profesi koruptor, sama-sama mencuri yang bukan haknya. Bedanya, koruptor identik dengan uang, sementara pembajak buku identik dengan ide intelektual seseorang yang dibajak. Pada intinya, keduanya adalah hal yang sama, sama-sama parasit yang terdapat di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menjadi seorang pembajak buku merupakan hal yang menggiurkan, bagaimana tidak, seorang pembajak buku tidak perlu mengurus ISBN, membayar editor, mempersiapkan bahan promosi penerbitan buku, hanya dengan simsalabim, bermodal tinta print dan lem yang jelek, dan jadilah buku bajakan tersebut, mereka tidak akan dipusingkan dengan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sementara itu, penulis dan penerbit yang menerbitkan sebuah buku harus bergelut dengan tingginya biaya produksi, lebih miris lagi seorang penulis, 15% merupakan angka royalti paling tinggi yang pernah dibagi oleh sebuah penerbit kepada seorang penulis, hal tersebut disebabkan oleh tingginya biaya produksi dan distribusi buku yang meliputi aspek marketing, editor, distributor, dan lain sebagainya.
Jika fenomena ini terus dibiarkan dan pejabat yang berwenang tidak menaruh hal ini sebagai suatu hal yang serius, maka hanya soal waktu dunia literasi di Indonesia akan terus merosot kualitasnya, baik dari segi peminat maupun kualitas bacaan. Para penulis pasti akan berpikir ulang untuk menerbitkan sebuah karya, menghabiskan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk menghasilkan sebuah buku, namun pada akhirnya jerih payah tersebut dicuri oleh kelompok-kelompok parasit yang saya yakin mereka pun tidak paham isi buku yang mereka dagangkan.
ADVERTISEMENT
Pun juga, hanya soal waktu penerbit-penerbit di Indonesia mulai muak untuk mendistribusikan karya-karya penulis di Indonesia, tidak ada upaya serius dari pemerintah sampai hari ini untuk memberantas distribusi buku bajakan yang pergerakannya semakin masif, bahkan merambah ke sektor e-commerce.
Oleh karenanya, political will merupakan sebuah hal penting bagi seorang pemimpin untuk memberantas permasalahan ini. Mungkin, penghapusan pajak yang berkaitan dengan penerbitan dan produksi buku bisa dihapuskan untuk menekan harga buku yang dianggap mahal oleh sebagian kalangan. Belum terlambat untuk memberantas permasalahan ini, hanya soal waktu dan kemauan seorang pemimpin yang bisa mengubahnya. Salam literasi.