Konten dari Pengguna

Warung Kopi: Kampus Mini sang Penjaga Iklim Demokrasi

Fatih Al Khodhi'
Pekerja Teks Komersil & Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang
26 Februari 2023 20:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fatih Al Khodhi' tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi warung kopi. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi warung kopi. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Entah kalian berpikir dengan pandangan yang sama atau tidak, saya menganggap bahwa warung kopi merupakan sebuah kampus mini, tempat orang-orang yang jenuh dengan suasana kelas/kampus mencari pelarian.
ADVERTISEMENT
Agar saya dapat memahami materi yang saya dapatkan di dalam kelas secara komprehensif, terkadang saya perlu mencari ilmunya di luar kelas, warung kopi merupakan tempat andalan yang saya sebut sebagai kampus mini, tempat saya berdiskusi dan mengulas materi yang saya dapatkan di kampus.
Di dalam kelas, mungkin saya merasa memiliki opini yang dimarjinalkan karena dihantui dengan rasa takut apabila berselisih paham dengan dosen yang gaya mengajarnya cukup otoritatif, bukan main hal yang harus saya korbankan, hanya karena berselisih paham terkadang nilai akhir mata kuliah menjadi taruhan.
Tapi, di sebuah sudut warung kopi, opini itu bebas saya sampaikan dan diskusikan dengan sekelompok kawan sambil menyeruput secangkir kopi dan membakar sebatang rokok bahkan hingga fajar telah tiba, opini yang melanglang buana sejauh fantasi pemikiran ini membawanya.
ADVERTISEMENT
Di warung kopi juga, saya menemukan makna demokrasi yang sebenarnya, opini yang berasal dari riset mendalam hingga opini yang disusun bermodalkan membaca judul berita saja mudah saya temukan, celotehan dari masing-masing isi kepala tersebut disampaikan dengan tenang, tanpa takut akan hadirnya hujatan bahkan makian.
Pun juga, tanpa harus menanggung rasa malu karena kita berdiskusi dengan kawan sejawat. Bayangkan, jika isi kepala saya tuangkan di dalam kelas atau media sosial. Banyak sekali yang harus saya pertimbangkan. Di dalam kelas misalnya, diberangus oleh dosen otoritatif yang memaksakan opini dan menutup ruang diskusi.
Apalagi di media sosial, kesehatan mental menjadi taruhannya. Tentu kita tidak jarang menemui makian dan umpatan terlontar dengan mudah hanya karena kita berbeda paham dengan yang lain, sebuah hal yang cukup ironi.
ADVERTISEMENT
Kembali lagi ke kampus yang saya rasa sudah sedikit kehilangan pamornya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Warung kopi memberi fasilitas yang sedikit menjanjikan daripada kampus sendiri. Peraturan jam malam yang terdapat di dalam kampus adalah musuh bagi para pemikir andal dengan fantasi yang terkadang nyeleneh.
Terkadang, belum hadir sebuah kesimpulan di dalam sebuah diskusi yang seru, otoritas kampus telah memperingatkan bahwa jam malam akan segera berlaku yang artinya saya sebagai mahasiswa tidak boleh berlama-lama untuk berada di kampus.
Fenomena seperti ini yang membuat warung kopi sekejap dapat berubah menjadi kampus mini, bermodalkan lima ribu rupiah yang dapat ditukarkan dengan teh/kopi panas, mahasiswa seperti saya sudah mendapatkan fasilitas yang cukup seperti jaringan internet untuk kembali memikirkan hal-hal nyeleneh seperti kenapa ormas Pemuda Pancasila isinya para orang tua atau kenapa bentuk negara ini tidak federal saja?
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, sayang seribu sayang, kita sebagai mahasiswa membayar mahal fasilitas kampus, tetapi warung kopi terkadang mengambil peran tersebut dengan lebih baik. Sebagai institusi yang menyediakan sarana produksi keilmuan, bagi saya, sudah seharusnya kampus melonggarkan berbagai macam regulasi seperti aturan jam malam agar para pemikir-pemikir yang terdapat di dalam kampus mendapatkan sarana yang mumpuni dalam aspek durasi dalam berdiskusi.
Pun juga, kampus harus menyediakan sarana bagi mahasiswa untuk mengevaluasi para tenaga pengajar yang bersikap otoritatif, yang memberi nilai secara subjektif sesuai dengan kehendaknya.
Ah, sebenarnya organisasi-organisasi kampus seperti Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau apapun organisasi sejenis yang memiliki sebutan yang berbeda di kampus yang lain dapat menyediakan sarana evaluasi terhadap tenaga pengajar tersebut lalu disampaikan kepada otoritas kampus yang berhak menerima evaluasi dari para mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Hal ini akan membuat kalian menjadi organisasi yang berguna di mata mahasiswa yang tidak tergabung dengan organisasi kalian tersebut. Ide ini menurut saya patut kalian pertimbangkan dan terapkan di dalam program kerja organisasi, agar kerjaan kalian tidak terlihat mengumpulkan duit dengan cara danusan saja.
Terjaminnya akses dalam mendapatkan ilmu dan kebebasan dalam menyampaikan ekspresi/opini merupakan hal yang harus diperjuangkan oleh kampus. Jangan sampai kalah dengan eksistensi warung kopi yang telah mengambil perannya sebagai sebuah kampus mini, tempat para pemikir berimajinasi.
Penyederhanaan regulasi dan penertiban oknum pengajar yang bersifat otoritatif di dalam kelas merupakan sebuah langkah sederhana yang dapat diterapkan kampus agar dapat memberikan sarana keilmuan yang mumpuni.
Pun juga, penyederhanaan izin penggunaan fasilitas kampus untuk menyelenggarakan agenda diskusi juga harus dilakukan agar para mahasiswa tidak sibuk mencari opsi warung kopi yang mumpuni untuk dijadikan sebagai wadah penyelenggaraan diskusi, kampus harus menjadi otoritas pertama sebagai penyedia ketersediaan fasilitas agenda berdiskusi tanpa adanya birokrasi yang rumit dan berbelit-belit.
ADVERTISEMENT
Saya masih yakin bahwa kampus dapat menjaga iklim demokrasi dengan melakukan hal-hal yang sederhana tadi, dan menjadi pencetak pemikir-pemikir revolusioner yang melegenda. Namun, yang menjadi pertanyaan di dalam benak saya adalah saya tidak tahu keyakinan tersebut akan bertahan berapa lama di dalam pemikiran saya.
Karena faktanya, warung kopi semakin ramai akan mahasiswa yang berdiskusi, sementara suasana kampus? Ah, saya rasa teman-teman bisa menilai sendiri. Jika fenomena tersebut terus terjadi, maka saya tidak akan heran ketika mendengar sebuah opini nyeleneh yang sedikit saya benci yang mengatakan “Sekolah sebaiknya dibubarkan saja”.